Setelah menolak secara halus membayar utang Whoosh dengan APBN. Kini, Purbaya juga enggan membiayai berdirinya family office yang digagas DEN. Lantas untuk apa family office?
JERNIH – Ketika pemerintah kabinet Prabowo ingin memperkuat ekonomi nasional pasca-pandemi dan menghadapi ketidakpastian global, Luhut Binsar Pandjaitan kembali menggulirkan sebuah ide besar: pembentukan family office di Indonesia. Gagasan ini, menurut Luhut, bukan sekadar proyek keuangan eksklusif, tetapi langkah strategis untuk menjaga agar dana orang kaya Indonesia — dan investor besar asing — tetap berputar di dalam negeri.
“Kita ingin orang-orang kaya Indonesia tidak lagi menitipkan dananya ke Singapura atau Swiss. Mereka harus merasa aman menaruh kekayaannya di negeri sendiri,” ujar Luhut dalam sebuah forum Dewan Ekonomi Nasional (DEN) pada pertengahan 2024.
Namun, di balik semangat nasionalisme ekonomi itu, muncul kontroversi besar: rencana penggunaan dana APBN untuk membiayai kajian dan operasional awal proyek tersebut. Ide inilah yang kemudian memantik penolakan keras, salah satunya dari Menkeri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang tegas menyatakan, “Saya sudah dengar lama isu itu, tapi biar saja. Kalau DEN bisa bangun sendiri, ya bangun saja sendiri. Saya anggarannya nggak akan alihkan ke sana.”
Istilah family office di dunia keuangan global, ini bukan hal baru. Family office adalah lembaga atau entitas profesional yang bertugas mengelola kekayaan ultra-kaya — mulai dari investasi, warisan, hingga urusan pribadi.
Ada dua jenis family office, yakni Single Family Office (SFO) — melayani satu keluarga besar atau konglomerat tunggal, seperti keluarga Walton (pemilik Walmart) di AS. Kedua, Multi Family Office (MFO) — melayani beberapa keluarga kaya secara bersamaan, biasanya dengan skema berbagi sumber daya profesional.
Di dalamnya, terdapat tim lengkap yang terdiri dari manajer investasi, penasihat pajak, pengacara, hingga konsultan warisan. Mereka mengatur portofolio aset miliaran dolar, mengelola properti lintas negara, dan memastikan setiap keputusan finansial aman serta efisien pajak.
Luhut berpendapat bahwa model seperti ini bisa membuat Indonesia bersaing dengan pusat keuangan regional seperti Singapura dan Hong Kong. “Kita harus punya tempat seperti itu di sini, agar uang tidak terus keluar negeri. Family office bisa jadi instrumen strategis untuk menarik modal asing dan menjaga devisa,” katanya.
Tujuan besar dari proyek ini tampak jelas: menjadikan Indonesia sebagai destinasi baru bagi pengelolaan kekayaan global. Pemerintah menargetkan dana kelolaan hingga USD 500 miliar (sekitar Rp 8.000 triliun) dalam jangka panjang — angka yang bisa memperkuat cadangan devisa dan pasar keuangan nasional.
Selain itu, kehadiran family office diyakini akan membuka lapangan kerja bagi para profesional keuangan, memperkuat ekosistem jasa hukum dan investasi, serta meningkatkan reputasi Indonesia sebagai pusat keuangan yang modern dan terpercaya.
Bahkan, Luhut berharap proyek ini sudah mulai berjalan pada Februari 2025, dengan dukungan regulasi dan insentif fiskal yang kompetitif. Beberapa kawasan ekonomi khusus (KEK) seperti Bali dan Batam bahkan disebut-sebut potensial menjadi lokasi pilot project karena fasilitas dan daya tariknya bagi ekspatriat serta investor asing.
Masalah muncul ketika muncul usulan agar pendanaan awal family office diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Logika di balik usulan itu, menurut pihak pendukung, adalah agar pemerintah bisa menjadi fasilitator awal — menyediakan studi kelayakan, kerangka hukum, dan infrastruktur yang diperlukan.
Namun, bagi banyak pihak, ide itu justru menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa uang rakyat digunakan untuk proyek yang hanya menyasar individu superkaya?
Purbaya Yudhi Sadewa menjadi suara yang paling keras menentang. Dalam pernyataannya kepada media, ia menlak secara halus. Pandangan ini mendapat dukungan luas, terutama karena secara etika dan keadilan sosial, pendanaan publik untuk proyek elitis semacam ini bisa menimbulkan kesan bahwa negara berpihak hanya pada kalangan atas.
Kementerian Keuangan sendiri menyatakan belum ada rencana resmi mengalokasikan APBN untuk proyek ini, meskipun tim lintas kementerian tetap melakukan kajian regulasi. Artinya, jika family office jadi dibangun, pembiayaan kemungkinan besar akan bersumber dari kemitraan swasta atau investor langsung, bukan dari kas negara.(*)
BACA JUGA: Bom Waktu Utang Whoosh, Purbaya Tolak Bayar Pakai APBN