Bila kehidupan negeri ini serba kekurangan, bukan karena kurang memiliki, melainkan miskin semangat berbagi. Kalangan yang berkecukupan justru pihak yang tak kenal henti mengambil hak yang berkekurangan.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, jika kau berharap menjadi mutiara, jadikan kedalaman hatimu lautan ketulusan pelayanan. Jangan jadikan dalaman perutmu jadi kuburan bagi sesama.
Bila kehidupan negeri ini serba kekurangan, bukan karena kurang memiliki, melainkan miskin semangat berbagi. Kalangan yang berkecukupan justru pihak yang tak kenal henti mengambil hak yang berkekurangan.
Betapa banyak kuasawan dan hartawan yang berperangai bak pengemis. Di dalam mentalitas pengemis, tak akan pernah ada kecukupan, tak akan bersemi jiwa pengorbanan.
Elit negeri kurang terbiasa meletakkan tangan di atas, terlanjur nyaman membubu di bawah. Mereka mengalami kemiskinan permanen karena tak pernah merasa cukup menimbun dan mengambil hak orang banyak.
Dalih ketidakcukupan dijadikan alasan untuk terus menggelembungkan aneka tunjangan dan penyalahgunaan wewenang.
Tabiat demikian melenceng jauh dari kesadaran etis pendiri bangsa. Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata: “Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.”
Bangsa Indonesia telah lolos dari berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan. Daya hidup dan karakter keindonesiaan itu justru goyah saat kerakusan menari di atas penderitaan rakyat banyak.
Pengemban amanat rakyat harus menjunjung cita-cita moral rakyat yang luhur. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan dan kepatutan sebagai laku hidup. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus.
Terhadap elit negeri yang tak kenal cukup, rakyat harus berhenti menanti iming-iming. Seseorang datang hendak memberi uang kepada sufi Ibrahim bin Ad-ham.
”Aku tak mau terima sesuatu pun dari pengemis,” ujar Ibrahim. ”Tetapi aku seorang yang kaya,” ujar orang itu. ”Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari yang telah engkau timbun sekarang?,” tanya Ibrahim. ”Ya”, jawabnya. ”Bawalah kembali uang ini! Engkau adalah pemimpin dari para pengemis.”
[ ]