Professor emeritus Ohio University dan Indonesianis terkemuka, R. William Liddle, menyatakan bahwa legitimasi demokrasi Orde Baru dibangun, bahkan sejak awal kelahirannya, lewat suatu “fiksi yang berguna” (a useful fiction). Tampaknya ada kesamaan dengan pemerintahan saat ini. Pada buku bunga rampainya yang terbit 2021,”Dua Negeri Empat Pemimpin”, Liddle juga menulis soal pemerintahan Jokowi.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Alhamdulillah, akhirnya keluar juga permintaan maaf dari Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono, terkait pernyataannya kepada jajaran TNI dalam penanganan kasus Pulau Rempang. Panglima TNI yang sebelumnya sempat menginstruksikan anak buahnya untuk ‘memiting’ warga dalam menangani urusan Rempang itu, meminta maaf bila pernyataannya bikin gaduh.
Pernyataan Panglima TNI dalam sebuah video yang beredar Jumat (15/9) lalu memang sempat mengundang rasa heran warga. “…Masyarakatnya seribu, kita keluarkan seribu. Satu miting satu itu, kan selesai. Tidak usah pakai alat, dipiting saja satu-satu,”kata Laksamana Yudo, dalam video itu. Ibarat menyiramkan bensin kepada unggun yang menyimpan bara menyala, pernyataan itu memang sontak bikin gaduh ruang wacana. Dengan keluarnya permintaan maaf itu, wacana Rempang memang kini tak lagi terarah ke TNI dan panglimanya.
Sebelum keluarnya permintaan maaf Panglima pun, sebenarnya jajaran TNI sudah mulai mencari cara untuk mendinginkan wacana yang tentu merugikan TNI itu. Melalui keterangan tertulis yang diterima banyak redaksi media massa, pada Ahad (17/9/2023) Kapuspen TNI, Laksda TNI Julius Widjojono, mencoba menjelaskan. Sayangnya, alih-alih mencapai tujuan, klarifikasi itu belakangan justru seolah jadi bahan olok-olok publik, terutama di media sosial. Aneka meme pun bermunculan merespons klarifikasi Laksda Julius. Mungkin, selain karena menilai ada kesalahpemahaman masyarakat atas pernyataan Panglima TNI, Julius pun mengatakan bahwa yang dimaksud ‘memiting’ oleh Panglima itu sejatinya ‘merangkul’ warga. Pernyataan itu bagi sebagian publik (terutama warganet) tak lebih dari kilah yang mengesankan rendahnya penilaian TNI terhadap intelektualitas penduduk Indonesia.
Langkanya “intellectual in uniform”
Bagi generasi ‘rembang petang’—baik itu generasi baby boomers (lahir 1946-1964), generasi x (1965-1980) atau bahkan generasi millennials (1981-1996)—yang sempat mengecap suasana Indonesia di saat tentara berjaya, kenyataan betapa ringkihnya wacana kaum militer yang terungkap dari ‘polemik’—katakan saja begitu, biar gagah—ini sungguh bikin prihatin.
Terkesan kuat bahwa TNI tengah mengalami kelangkaan intelektual di dalam dirinya. Apalagi bila dibenturkan dengan fakta bahwa di masa lalu tentara Indonesia pernah memiliki jajaran intelektualnya sendiri. Hal itu memang terkait erat dengan sejarah kelahiran TNI.
Penelitian Pusat Penelitian Politik dan Kewilayahan (PPW) Lembaga Ilmu Penge-tahuan Indonesia (LIPI), yang kemudian didokumentasikan menjadi banyak buku, pada satu di antaranya, “Tentara Mendamba Mitra” (Mizan,1999) menulis bahwa hal itu tak lepas dari fakta bahwa pada periode 1952-1954 TNI mengadopsi model dinas ketentaraan Amerika Serikat dalam melakukan kegiatan sosial bersama rakyat, yang disebut civic mission. Meski kemudian dalam praktiknya disalahguna-kan dan diplesetkan menjadi “nyivik,” yang semata-mata bersifat ekonomi alias “ngobyek”, pada sisi lain ada hal yang positif, yakni bermunculannya para intelektual tentara atau saat itu lazim disebut “intellectual in uniform”.
Lebih jauh, dalam bukunya, “Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983“, David Jenkins menyebut beberapa di antara mereka. Selain AH Nasution dan TB Simatupang di awal-awal perkembangan TNI, ada pula nama-nama seperti Komandan Seskoad Bandung, Mayjen Soewarto, yang sukses mengge-lar Seminar Angkatan Darat II pada 25-31 Agustus 1966, yang fenomenal itu. Pimred terakhir media terkemuka pendorong munculnya Orde Baru, “Mahasiswa Indonesia”, Rum Aly, menulis bahwa Mayjen Soeharto—belakangan berkuasa sebagai presiden selama 32 tahun—boleh dibilang adalah ‘murid’ Mayjen Soewarto itu, sebelum akhirnya lebih cenderung masuk katagori jenderal pemulih ketertiban dibanding intellectual in uniform (IU).
Seiring waktu, Letjen H.R. Dharsono, belakangan Letjen Sayidiman Suryohadiprojo, dan di akhir-akhir ABRI, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen Agus Widjoyo, juga sering disebut-sebut sebagai seorang IU.
Namun, langkanya IU setelah terpinggirkannya peran militer dalam politik Indonesia pun sebenarnya bisa dimengerti. Munculnya IU pada masanya tampaknya merupakan ‘keharusan sejarah’. Di era 1960-an karena tekanan keadaan yang menuntut adanya stabilitas yang bisa memungkinkan berjalannya pembangunan. Sementara di era-era akhir ABRI tentu sebagai para avant garde yang harus mencari jalan agar lembaganya itu bisa berkiprah optimal di masa-masa perubahan yang tengah menjelang.
Selain itu, secara pragmatis barangkali terpinggirkannya para militer IU itu pun terjadi sebagai hal yang wajar di saat para perwira bertipe “pemulih ketertiban” kian jadi trend setelah berkuasanya Orde Baru. Kelompok perwira jenis terakhir, yang bila berkuasa akan berkecenderungan menjalankan kekuasaan represif, otoriter, dan diktatorial itu, dalam bahasa Rum Aly dalam “HR Dharsono, Kisah Seorang Jenderal Idealis”, “…memang lebih pandai melakukan konspirasi, sementara perwira intelektual menganggap konspirasi adalah cacat dalam integritas.”
Peran TNI dalam kasus Rempang
Banyak cendikiawan yang mulai mempopulerkan pemerintahan saat ini sebagai “Orde Baru Jilid 2”. Lepas dari setuju-tidaknya kita dengan sikap sebagian cendikiawan tersebut, secara teoritis memang ada beberapa kesamaan di antara kedua ‘orde’ ini.
Misalnya bila mengambil konstatasi professor emeritus Ohio University dan Indonesianis terkemuka, R. William Liddle, bahwa legitimasi demokrasi Orde Baru dibangun bahkan sejak awal kelahirannya lewat suatu “fiksi yang berguna” (a useful fiction), tampaknya begitu pula dengan pemerintahan saat ini. Bila propaganda Orde Baru dan para pendukungnya menyatakan bahwa orde tersebut adalah sistem politik demokratis, bukankah banyak pula hal-hal yang bersifat fiksi dalam era ini? Sementara pernyataan—untuk tak menyatakan propaganda—pemerintah menegaskan “A”, yang terjadi adalah “B” bahkan tak jarang “A aksen”.
Sebagai contoh, misalnya lontaran mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, yang kemudian diamplifikasi penyanyi Iwan Fals pada pertengahan Februari 2019 lalu. Itu hanya contoh mudah sebagai bukti kuatnya sifat fiksi tersebut.
Saat itu Iwan mengingatkan soal 10 hal bersifat fiksi yang disampaikan Jokowi dalam debat capres 2019 putaran II. Ada 10 hal yang disebutkan, misalnya,
1. Tahun 2018 total impor jagung 180.000 ton, padahal data impor jagung tahun 2018 sebesar 737.228 ton.
2. Total produksi beras tahun 2018 sebesar 33 juta ton dan total konsumsi 29 juta ton. Realitasnya, konsumsi beras nasional 2018 sebesar 33 juta ton dan data produksi plus impor sebesar 46,5 juta Ton.
3. Jokowi menyatakan telah membangun lebih dari 191.000 km jalan desa, padahal itu adalah total jalan desa yang dibangun sejak Indonesia merdeka.
4. Jokowi menyatakan bahwa kolam bekas galian tambang sebagian telah dialih-fungsikan di antaranya untuk kolam ikan. Padahal, berbagai literatur menunjukkan bahwa area bekas tambang tidak bisa digunakan untuk apapun, karena terpapar radiasi, itu kolam di daerah tambang yang tak jelas lokasinya.
5. Jokowi menyatakan telah membangun infrastruktur internet jaringan 4G, 100 persen di wilayah barat, 100 persen di tengah dan 90 persen di timur. Padahal, data menunjukkan kurang dari 20 persen kabupaten dan kota bisa mengakses signal 4G.
6. Akses internet sudah sampai ke desa-desa, banyak produk pertanian memiliki market place sehingga mendapat harga yang bagus karena memotong rantai distribusi. Itu dianggap informasi yang tak jelas.
7. Jokowi mengklaim bahwa pemerintah memenangkan gugatan Rp18-Rp19 triliun akibat kerusakan lahan, namun Greenpeace meluruskan bahwa tak satupun dari gugatan itu dibayarkan.
Dan sebagainya, termasuk tentu saja yang paling diingat public adalah soal adanya Rp 11 ribu triliun dana Indonesia di luar negeri itu.
Barangkali dalam hubungan dengan pendapatnya tentang Orde Baru itu pula, dalam buku bunga rampainya yang terbit 2021,”Dua Negeri Empat Pemimpin” Liddle menulis sampai saat itu ada tiga keputusan Jokowi yang melemahkan alat-alat akuntabilitas pemerintah, yaitu pelumpuhan oposisi berdasarkan partai-partai, penyempitan kompetisi elektoral, serta pelanggaran batas kekuasaan otonom.
Pada sisi penggunaan alat-alat negara, misalnya aparat keamanan, baik Polri maupun TNI, terasa bahwa aparat tak jarang melakukan “excessive force” alias berlebihan (lebay kata anak zaman now). Tak hanya secara aksi, misalnya dengan gemar banget melempari pendemo dengan gas air mata, melainkan juga secara verbal, seperti keseleo lidahnya Panglima TNI. Hal itu sejatinya rawan membuat negara kembali menjadi “state of fear” dan Anxiety, seperti era Orba.
Jika kita mau menghitung, sejatinya tak hanya warga Rempang yang merasakan dampak peminggiran, yang di dalamnya dipentaskan state violence. Kasus yang dialami masyarakat Rempang dan Air Bangis, misalnya, gampang mengingatkan kita kepada hal yang disebut Anthony Giddens dalam “The Fhird Way: The Renewal of Social Democracy” sebagai proses exclusion. Hal itu merujuk kelompok masyarakat yang tak punya akses kepada mainstream sosial, karena disingkirkan melalui proses peminggiran (marginalisasi) sehingga mereka tidak lagi punya akses kepada sumber daya sosial.
Apa yang mesti dilakukan TNI dalam kasus Rempang? Saya setuju dengan pernyataan Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Addin Anton Aliabbas, yang menyarankan agar Panglima TNI tidak perlu banyak berwacana, memberikan tanggapan atau bahkan mengeluarkan instruksi apa pun. Kata Addin, demonstrasi adalah hal biasa dalam alam demokrasi.
Selebihnya, kalaupun pada saatnya ada hal yang urgen untuk direspons secara verbal, tampaknya TNI harus benar-benar mempertimbangkan prinsip-prinsip komunikasi yang Islami, mengingat mayoritas orang Riau adalah Muslim. Prinsip-prinsip itu, antara lain, qawlan sadiidan (benar, jujur, straight to the point); qawlan balighan (efektif, tidak bertele-tele, menyentuh); qawlan maysuran (mudah dicerna, mudah dimengerti, dipahami); qawlan layyinan (lemah lembut, sopan,beradab); qawlan kariman (berkomunikasi dengan keutamaan, kemuliaan); dan qawlan ma’rufan (layak, pantas untuk pihak komunikan). [ Inilah.com]