Jernih.co

Leo Tolstoy, Sufisme dan Misteri Kemusliman Dirinya

Tolstoy dan salah satu magnum opusnya, 'War and Peace'

Tolstoy memuji Nabi Muhammad sebagai sosok yang bijak dan patut menjadi contoh terbaik bagi umat manusia, karena memerintahkan pencarian ilmu tanpa henti, penyucian jiwa, dan kekuatan ikhtiar fisik untuk menunjang perjuangan batin melalui doa kepada Allah

Oleh : H.Usep Romli HM

Leo Tolstoy adalah salah seorang sastrawan terbesar Rusia abad 19.  Paling unik dan paling menonjol di antara sastrawan-sastrawan terbesar Rusia pada zamannya, dan zaman-zaman sesudahnya, berkat karya-karya dan perjalanan hidup pribadinya. Khazanah sastra dunia mencatat karya-karya Leo Tolstoy dengan tinta emas. Terutama “Voina i mir” (Perang dan Damai), “Anna Karenina”, dan “Sonata Kreutzer”.

Tolstoy lahir di Yasnaya Polyana, sebelah selatan Moskow, 9 September 1828. Setelah gagal menyelesaikan kuliahnya di Universitas Kazan, pada usia 19 tahun, ia merambah berbagai bidang kehidupan. Antara lain menjadi tentara, sehingga beberapa kali ikut terjun ke medan perang. Selama ikut bertempur, ia tak berhenti menulis. Bahkan menyelesaikan novel otobiografi “Masa Kanak-Kanak” (1852), diikuti “Masa Remaja” (1854), dan “Masa Muda” (1856). Melalui tiga karyanya ini, Tolstoy mulai terkenal sebagai sastrawan.

Usep Romli HM

Para pengamat sastra Rusia klasik mengungkapan, Tolstoy mendapat kecaman dari pemerintah dan gereja Rusia karena ketertarikannya pada mistik dan moralitas. Padahal ketika namanya menjulang tinggi berkat karya-karya besarnya, Tolstoy dianggap “tiga serangkai” terpenting di Rusia, bersama Tsar (Kaisar) dan Gereja Ortodoks.

Kemungkinan besar Tolstoy mengalami guncangan mental sejak menjadi tentara di Kaukasus. Ketika itu, pasukan Rusia berhadapan dengan rakyat Dagestan dan Checenia (Chechnya) yang berpenduduk mayoritas bergama Islam. Perang Kaukasus berlangsung kurang lebih 30 th (1830-1859)

Rakyat Dagestan dan Checenia dipimpin oleh Imam Syamil, tokoh sufi aliran Naqsabandiyah. Untuk menangkap Imam Syamil Rusia menggunakan taktik licik: perundingan dan penyergapan. Setelah tertangkap, Imam Syamil dibuang ke Saudi Arabia, hingga wafat 4 Februari 1871 di Madinah.

Sejak peperangan itu, Leo Tolstoy jadi sering berinteraksi dengan umat Islam. Corak Islam di pelosok Rusia dan Asia Tengah, semasa Tolstoy hidup, cenderung sufistik. Banyak aliran tarekat sufi lahir di sana. Leo Tolstoy yang punya pengalaman langsung menyaksikan penindasan umat Islam oleh pemerintah Rusia di Kaukasus, juga punya pengalaman langsung dengan kehidupan umat Islam dan para “darwis” Asia Tengah, yang kemudian dicaplok Rusia zaman Uni Sovyet, pada 1922.

Walaupun secara de facto ia tetap menganut ajaran Gereja Ortodoks Rusia, namun secara de jure Tolstoy seorang “Muslim” sufistik yang mengutamakan pengalaman mistik-spiritual.

Pengalaman di medan perang Kaukasus, menjadi latar belakang dan tema novel “Haji Murat”. Sebelumnya, th.1853-1856, Tolstoy pernah menjadi prajurit sukarelawan Perang Krim, tatlala Rusia melawan Turki, dan menulis buku “Sebastopolskiye rasskazi” (Kisah-Kisah Sebastopol).  

Ada beberapa pendapat yang menunjukkan kecenderungan kemusliman Tolstoy. Menurut Muhammad Azzat Ismail ath Thahthawi, dalam bukunya “At Tabsyir wal Istisyraq Ahqad wa Hamlat” (1974), hlm. 59-62, Tolstoy tersentuh hatinya tatkala menyaksikan perlakuan aniaya Rusia, terhadap umat Islam. Ia menyatakan, Islam adalah ajaran yang sempurna. Menyuruh umatnya beribadah untuk kepentingan akhirat serta beramal saleh untuk kepentingan dunia. Melarang umatnya melakukan kerusakan di muka bumi. Ia mengagumi sosok Nabi Muhammad saw yang dianggapnya sebagai juru damai, penegak nilai-nilai kemanusiaan, dan penjunjung tinggi nilai-nilai moralitas keilahian.

Tolstoy memuji Nabi Muhammad sebagai sosok yang bijak dan patut menjadi contoh terbaik bagi umat manusia, karena memerintahkan pencarian ilmu tanpa henti, penyucian jiwa, dan kekuatan ikhtiar fisik untuk menunjang perjuangan batin melalui do’a kepada Allah.

“Perang dan Damai” mengisahkan patriotisme rakyat Rusia melawan serangan Napoleon Bonaparte (1805-1814). Sedangkan “Anna Karenina”, dan “Sonata Kreutzer” merupakan potret asli kehidupan masyarakat aristokrat Rusia abad 19, yang didominasi kekuasaan Tsar dan Gereja Ortodoks. Tapi setelah menulis “Sebuah Pengakuan”, tema dan visi karya-karya Tolstoy menjadi sangat sufistik. Walaupun masih menggunakan setting bernuansa gereja, unsur-unsur sufisme Islam mulai masuk. Bahkan pada beberapa cerpennya, tampak jadi semacam adaptasi dari kisah-kisah sufisme.

Cerpen “Ziarah”, misalnya (terdapat dalam kumpulan cerpen Leo Tolstoy, berjudul “Ziarah”, terjemahan Anton Kurnia, Jalasutra Yogyakarta, September 2002). Sangat mirip dengan kisah “ziarah” lain yang sangat terkenal dalam literatur sufi. Yaitu kisah Abdullah bin Mubarak (hidup abad 10) dengan Ali al Muwaffak yang dituturkan kembali oleh Fariduddin Attar(abad 13) dalam buku “Tazkiratul Aulia”, Abu Nuaim (abad 11) dalam “Hilyatul Aulia”, dan penulis-penulis kisah sufi lainnya.

Pada cerpen-cerpen lainnya yang terkumpul dalam “Ziarah” tampak sekali kecenderungan sufistik Tolstoy. Banyak tokoh-tokoh yang dilukiskan berwatak “zuhud” (sederhana) dan “wara” (apik) dalam bicara, makan-minum, dan bertingkah laku.

Nasib tragis Tolstoy pada akhir hayatnya (meningal di stasiun kereta api), mungkin akibat konflik batin berkepanjangan. Ia tak mampu melepaskan diri dari kungkungan lingkungan Gereja Ortodoks dan sistem feodalistik-tirani kekaisaran Rusia. Padahal hasrat dan semangat hidupnya dipenuhi gagasan-gasan yang bebas dan terbuka. Ia sangat mencintai manusia dan kemanusiaan, di tengah kekerasan serdadu Rusia, dengan restu gereja, membunuhi orang-orang Muslim Kaukasus Utara. Ia  sangat mengutamakan nilai-nilai kebenaran, pahala, dan siksa serta kekuasaan Allah SWT di segala bidang kehidupan.

“Berbuatlah kejahatan sesuka hatimu, kelak Tuhan akan menghukummu sesuka hati-Nya,” demikian salah satu kalimat dalam sebuah cerpen Tolstoy. [  ]

Exit mobile version