Muslih, salah satu peternak di sana mengakui bahwa sepanjang karirnya memelihara ayam petelur, baru kali ini harga jual di kandangnya bisa menyentuh angka Rp 30 ribu perkilogram.
JERNIH- Tengah malam, satu jam setelah pergantian tahun dari 2021 ke 2022, istriku mulai ngedumel lantaran sejak jauh hari sebelum perayaan Natal tiba hingga tahun berganti, harga cabai, telur ayam dan minyak goreng, tak juga kembali ke posisi semula. Dia, masih bertengger di atas harga biasanya.
Terus terang saja, sebagai orang yang juga berprofesi sebagai pedagang dengan membuka kedai kopi kecil plus mie instan, termasuk bir pletok, kenaikan harga itu betul-betul bikin pusing. Bayangkan, tukang keripik singkong yang biasa menitipkan barang dagangannya di warung saya, sudah mulai cerewet minta harga naik.
Dia bilang, harga minyak goreng yang tinggi memaksanya melakukan itu kalau usahanya mau tetap jalan. Sedangkan saya dan istri yang berada di garda terdepan menghadapi pembeli, tak mungkin ikut-ikutan mendongkrak harga demi menjaga keseimbangan. Akhirnya, mengalah merupakan jalan terbaik ketimbang kehilangan pelanggan.
“Ada ga sih yang bisa menurunkan harga telur, cabai dan minyak goreng?” tanya istriku.
Sambil memegang kemudi sepeda motor menuju rumah, saya terdiam sejenak.
“Tidak ada,” kata saya.
“Lho, kok bisa?” tanya istriku lagi mulai mengejar.
“Ya memang ga ada. Buktinya, setiap kali harga naik, penguasa selalu lempar batu sembunyi tangan. Entah siapa yang tega-teganya menaikkan harga, kemudian para politisi saling lempar peluru. Ini udah sering terjadi setiap kali menjelang hari besar. Dari dulu,” jawab saya mulai agak emosi.
Seperti misalnya kemarin, ketika menulis berita tentang seorang politisi dari Partai Gerindra yang minta agar Bareskrim Polri dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), menelusuri siapa yang menaikkan harga seenak jidatnya, saya mulai terpancing dan pening kepala. Padahal sebelumnya, politikus itu sudah menghimbau Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi agar betul-betul menjaga stabilitas harga menjelang Natal dan Tahun Baru.
Entah jurus apa yang dilancarkan Kementerian Perdagangan, nyatanya, harga tetap naik, dan naik ke puncak gunung.
Dalam pandangan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, kenaikan harga bahan pokok tersebut masih dalam koridor yang tepat, sebab sebagian besar harga masih dalam kondisi stabil. Hanya beberapa komoditas seperti minyak goreng, cabai dan telur ayam saja yang naik.
Menurut dia, kenaikan harga telur ayam merupakan koreksi harga menuju normal setelah beberapa waktu lalu sempat anjlok.
Kenaikan harga telur ayam, menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan, dipicu program bantuan sosial dengan alokasi 2 kilogram perkeluarga selama empat bulan sejak September hingga Desember 2021. Akibatnya, peternak lebih memilih fokus memenuhi kuota kebutuhan bansos dan berimbas pada suplay ke pasar yang berkurang.
Selain itu, produksi juga disebutkan belum pulih akibat banyaknya peternak yang melakukan afkir dini ayam petelur pada saat harga turun. Sehingga, mereka butuh waktu untuk recovery, sementara permintaan telur ayam meningkat lantaran adanya pelonggaran mobilitas masyarakat menjelang Natal dan Tahun Baru 2022.
Oke juga bilang, kalau tingginya harga jagung sebagai pakan ayam petelur, menjadi salah satu biang kerok tingginya ongkos produksi telur.
Sementara kenaikan harga cabai, dipicu berkurangnya pasokan sebab panen mulai memasuki fase akhir. Ditambah, kondisi cuaca ekstrim yang membuat tanaman cabai menjadi mudah busuk.
Soal harga minyak goreng yang juga turut serta naik sampai hampir dua kali lipat, Oke bilang lantaran harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit dunia mengalami peningkatan sangat tinggi. Pada minggu IV saja mencapai Rp 12.041 perliter. Harga ini, lebih tinggi 42,28 persen ketimbang Desember 2020.
Masyarakat macam saya ini, nampaknya kudu benar-benar bersabar. Meski harga CPO dunia sudah mulai mengalami penurunan, diperkirakan harga minyak goreng curah baru bakal turun pada minggu ke 2 bulan Januari 2022.
Sambil menulis naskah ini, saya juga menimpali istri yang masih saja ngomel soal kenaikan harga tersebut. Apalagi, kecoa juga mulai mengganggu kenyamanan rumah tangga kami dengan ikut-ikutan masuk ke dalam rumah, entah dari mana.
Pada 28 Desember 2021 lalu, Oke bilang, stok dan pasokan barang kebutuhan pokok cukup untuk menghadapi Natal 2021 dan Tahun Baru 2022, dengan rata-rata kecukupan di atas 1,5 bulan. Sehingga, dia meghimbau agar masyarakat tak melakukan panic buying.
Bagi kalangan bergaji cukup, bisa jadi ada panic buying melihat perkembangan harga-harga tanpa menelusuri informasi akurat. Tapi untuk golanpas (golongan penghasilan pas-pasan) macam pedagang kecil atau pegawai rendahan pada usaha kecil yang tak begitu mempedulikan soal upah minimum yang ditetapkan pemerintah, era pandemi yang tak juga usai ini, sudah cukup membuat mereka betul-betul mengencangkan ikat pinggang.
Bahkan tali gesper, makin diikat lebih kencang lagi sebab harga bahan kebutuhan pokok paling sederhana macam minyak goreng dan telur ayam saja sudah melambung. Jadi, serahkan pada nasib saja. Toh engga mungkin juga Tuhan tak memberi rejeki.
Syukurlah Kalau Peternak Senang
Melihat kenaikan harga telur ayam yang sudah masuk ke wilayah tak wajar di tingkat eceran hingga Rp 33 ribu perkilo, memang sungguh menyebalkan. Tapi ketika mengetahui ada peternak yang begitu mensyukuri kenaikan harga ini, rasanya penting juga menahan emosi. Demi rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia-lah.
Di Kabupaen Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kenaikan harga ini merupakan rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada Jumat 31 Desember 2021 lalu saja, sudah tiba di posisi Rp 30 ribu perkilogram.
Muslih, salah satu peternak di sana mengakui bahwa sepanjang karirnya memelihara ayam petelur, baru kali ini harga jual di kandangnya bisa menyentuh angka Rp 30 ribu perkilogram.
Kenaikan harga ini, dia bilang sudah terlihat sejak dua pekan ke belakang. Dari kisaran Rp 20 ribu perkilo, menanjak secara bertahap hingga Rp 30 ribu perkilogram.
Seirama dengan keterangan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan, Muslih bilang, dia sampai kewalahan memenuhi permintaan telur dari pemerintah untuk keperluan bansos. Akibatnya, stok di kandangnya menipis, dan di sisi lain harus memenuhi permintaan pasar yang juga cukup tinggi menjelang pergantian tahun.
“Kemarin dapat banyak permintaan untuk paket bansos, jadi stok kami menipis, bahkan sampai kurang-kurang. Kemudian di akhir tahun ini permintaan telur dari pasaran juga naik,” ucapnya.
Hingga saat ini, Muslih bilang, kandangnya mampu menyediakan 5 kwintal telur yang biasanya diambil pengepul. Meski harga terbilang tinggi, tengkulak pantang mundur mengambil telur-telur yang diproduksi ayam miliknya untuk dijual ke sejumlah wilayah di Kulon Progo dan Yogyakarta.
“Benar-benar laris manis sekarang, sekali panen langsung habis mas, saya aja sampe kewalahan memenuhi permintaan pasar. Seneng banget kalau kondisi kaya gini, enggak kaya pertengahan 2021 lalu, harganya anjlok sampai Rp15.000 per kg, dari harga normal Rp20.000 an. Saat itu banyak (peternak) yang nyaris kukut (bangkrut),” kata Muslih menuturkan.
Terkait melejitnya harga minyak sawit dunia atau CPO, sudah disikapi pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dengan menggelontorkan 11 juta liter minyak goreng supaya daya beli masyarakat tercapai. Mendag Lutfi bilang, pihaknya bakal berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menyalurkan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Sementara terkait harga telur, berdasarkan catatan otoritas perdagangan, harga telur sepanjang tahun 2021 memang berada di bawah harga acuan rata-rata Rp 24 ribu perkilogram.
“Sekarang naik karena jumlah akhir tahun ini, hotel, restoran buka. Jadi supply mengecil dan kedua dipake bansos. Ini yang penting karena bantu petani juga. Sekarang ini yang kita sedang kerjakan jadi nanti bulan Januari akan normal lagi,” kata Lutfi menjanjikan.[]