Jernih.co

Mampukah Kepresidenan Prabowo Melawan Mafia Pangan?

Kita tentu berharap Prabowo konsisten dengan pendiriannya yang mulia tersebut. Bila tidak, nasibnya mungkin akan setali tiga uang dengan banyak pemimpin yang hanya mengutamakan janji ketimbang punya rasa malu untuk memenuhinya.   Pemimpin jenis ini, entah dia sadar atau tidak, pada saatnya akan diludahi sejarah.

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH–“Who controls the food supply, controls the people…; Barang siapa mengontrol pangan, ia mengontrol rakyat.” Konon, pernyataan itu keluar dari lisan Henry A. Kissinger, mantan menteri luar negeri AS.

Namun bukan karena ia mantan menlu, atau tersebab tercatat sebagai penasihat dua presiden negara adidaya itu, Richard Nixon dan Gerard Ford. Kissinger direken orang tampaknya lebih sebagai analis kebijakan dan seorang strategist–bahkan hingga akhir hayatnya. Apalagi ia pun seorang Yahudi. Orang banyak percaya bahwa orang-orang  Yahudi dengan sendirinya memiliki pemikiran seorang stategist–meski kadang kata keren itu hanya bermakna “licik”. Jadi bayangkan legitimasi yang dimiliki seseorang manakala ia merupakan gabungan keduanya, seorang Yahudi plus seorang strategist!

Darmawan Sepriyossa

Tapi tampaknya sebagian besar kita memang tak keberatan dengan kebenaran apa yang Kissinger ucapkan. Secara common sense pun, memang masuk akal.

Bagi kita warga Indonesia, pernyataan masuk akal itu akan terasa benar-benar menjadi masalah kalau ingat apa yang pernah dikatakan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Lima tahun lalu, Januari 2019, Novel Baswedan mengatakan dirinya mendapat informasi dan fakta bahwa  sektor pangan telah lama menjadi lahan korupsi dalam jumlah besar. “Setiap bahan makanan, tak pernah lepas dari jejaring mafia,”kata Novel.

Dari pihak eksekutif, di tahun yang sama Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Justan Riduan Siahaan, mengatakan bahwa selain ada dua pejabat eselon I yang terindikasi korupsi, ada pula lebih dari 497 kasus pangan tengah diproses hukum. “Ada 850 aduan berkaitan dengan komoditas pertanian strategis,”kata Direktur Litbang KPK, Wawan Wardiana, ikut menimpali. Wawan mengatakan hal itu dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pembangunan Pertanian 2019 di Jakarta. Yang dimaksud komoditas pertanian-pangan strategis itu melipui antara lain, impor daging sapi, alat sistem pertanian, pupuk, lahan, impor, gula, dan banyak lagi.

Masih saat itu, ekonom terkemuka dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, bicara tentang kuatnya bau sangit yang mengindikasikan adanya korupsi pada impor pangan. Ia menjelaskan data yang menunjukkan tendensi tersebut, dengan mewanti-wanti bahwa impor beras sudah 1,1 juta ton, hanya selama enam bulan (Januari-Juni). Izin yang sudah dikeluarkan Kementerian Perdagangan sebesar 2 juta ton, sementara waktu itu Bulog mengaku baru mengimpor 500 ribu atau setengah juta ton. Lalu siapa yang mengimpor sisanya?

Belum lagi temuan Menko Perekonomian (saat itu), Darmin Nasution. Pada Oktober 2018 Darmin menyatakan kecurigaan dengan meningkat tajamnya impor berbagai komoditas. Menurut Darmin saat itu, bukan tak mungkin ada korupsi berupa state capture pada komoditas-komoditas yang mengalami peningkatan impor itu.

Indikasi terjadinya hal itu kian menguat saat Rizal Ramli (kini almarhum), mantan menko perekonomian, menunjuk ketidakberesan tata niaga impor di beberapa kementerian tertentu. Menurut Rizal, banyak praktik impor yang tidak didukung analisis kebutuhan, tidak memenuhi persyaratan impor atau melampaui batas persyaratan, tanpa rekomendasi kementerian terkait, atau tidak sesuai dan tidak didasarkan pada rapat kordinasi.

Sudah berakhirkah praktik-praktik hitam seperti itu? Bila melihat dua hal saja, yakni kasus dugaan mark-up impor beras sebesar sekitar Rp 2,7 triliun, plus kasus demurrage yang merugikan negara sebesar Rp 294 miliar, jelas praktik ala mafia dalam impor pangan itu belum terganggu. Belum lagi fakta akan terciptanya rekor baru impor beras tahun 2024, saat Plt Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas) Sarwo Edhy, yang dalam Rakor Pengendalian Inflasi Daerah, akhir Juni lalu, bilang bahwa selama 2024 ini impor beras akan berkisar sekitar 5,18 juta ton! Buat apa? Jawabannya pun mungkin saja masih dicari.

‘’Negara lunak’’ dan komitmen Prabowo

Sudah jadi rahasia umum, entah pula untuk keberapa (ribu) kali masing-masing kita telah mendengar bahwa dalam kriteria ekonom penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1974, Gunnar Myrdal, Indonesia tergolong negara lunak (soft state). Dalam kriteria yang ditulis dalam magnum opusnya, “Asian Drama” tersebut, istilah ‘Negara Lunak’ menunjukkan negara tersebut minim disiplin sosial, ditandai dengan banyak kelemahan seperti kurangnya legislasi, minimnya kepatuhan dan penegakan hukum; seringnya terjadi kolusi antara para pejabat negara dengan orang-orang atau kelompok tertentu, serta korupsi yang marak di setiap tingkatan.

Sejak buku itu pertama kali terbit pada 1968, Indonesia telah digolongkan ke dalam “negara lunak”. Merujuk banyak berita dan realitas sehari-hari, juga pernyataan Novel Baswedan lima tahun lalu bahwa “Setiap bahan makanan, tak pernah lepas dari jejaring mafia”, membuktikan negara ini tak banyak berubah. Mafia pangan, sebagai wajah telanjang bukti “negara lunak”, masih menguasai negara. Di sisi lain, presiden terpilih Prabowo Subianto seharusnya adalah orang yang memahami betul pentingnya kedaulatan dan ketahanan pangan. Ia adalah ketua umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sejak Munas ke-6 tahun 2004. Pada Munas ke-7 untuk periode 2010-2015 pun Prabowo kembali terpilih. Dengan posisinya itu, sikap dan pendirian Prabowo alam soal ketahanan pangan jelas sudah.

“Saya bertekad untuk membangun pondasi itu (kesejahteraan rakyat—red). Fokus utama saya adalah ketahanan pangan,” ujar Prabowo saat menjawab pertanyaan Haslinda Amin, kepala koresponden internasional Asia Tenggara untuk Bloomberg, Mei lalu. Prabowo menyebut tiga prioritas pembangunan Indonesia dalam kebijakan pemerintahannya, yakni  kemandirian pangan, kemandirian energi, serta hilirisasi industri. Hal itu ia sebut saat dialog di acara Forum Ekonomi Qatar, 14 hingga 16 Mei 2024, di Doha, Qatar.

“Fokus utama saya adalah ketahanan pangan. Indonesia harus swasembada pangan, saya bertekad untuk menghilangkan kelaparan di rakyat kami,” ujarnya.

Kita tentu berharap Prabowo konsisten dengan pendiriannya yang mulia tersebut. Mengingat ‘mafia pangan’ yang disebut-sebut Novel itu tampaknya sudah berlangsung berpuluh tahun dan berakar kuat di berbagai Kementerian/Lembaga, tak ada pilihan bagi Prabowo kecuali menuntaskan dan mencabut habis masalah ‘mafia pangan’ itu hingga akar-akarnya. Bila tidak, nasibnya mungkin akan setali tiga uang dengan banyak pemimpin yang hanya mengutamakan janji ketimbang punya rasa malu untuk memenuhinya.   Pemimpin jenis ini, entah dia sadar atau tidak, pada saatnya akan diludahi sejarah. [INILAH.Com]  

Exit mobile version