“Engkau sangat benar, Habib,”Hasan al Bashri beristigfar berkali-kali. Kemudian membaca ayat 70-71 Quran, Surat al Ahzab, tentang “qawlan syadida” (berkata benar), yang membawa kepada “fawzan adzima” (keunggulan hebat)
Oleh : Usep Romli HM
Kata “bohong” cukup populer. Bahkan mudah dan sering dilaksanakan oleh hampir semua orang, untuk kepentingan tertentu. Tidak afdol rasanya, jika sesuatu perkara tidak dibumbui kebohongan, baik tersirat maupun tersurat, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Padahal bohong merupakan salah satu tanda orang munafik. Nabi Muhammad Saw menyatakan, tiga ciri orang munafik, adalah jika berkata bohong, berkhianat kepada amanat, dan mengingkari janji.
Itu berlaku umum bagi semua orang , baik tokoh elit, maupun kaum alit. Bagi seseorang berstatus pemimpin yang beragama Islam, berlaku ketentuan khusus, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw : “Ayyuma walin bataghatsan li ra’iyyatihi haramallahu alaihil jannata”. Setiap pemimpin ingkar janji, membohongi rakyat, tak akan diizinkan oleh Allah SWT untuk memasuki surga.” (hadits Ibnu Majah).
Atau, apakah kebohongan memang sudah menjadi kebiasaan semua manusia sejak dulu hingga sekarang? Sehingga Hamka (1908-1980) menulis sebuah buku laris berjudul “Bohong di Dunia” (1950). Termasuk para pemimpin? Dimulai dari masa kampanye dengan mengumbar janji-janji, hingga masa akhir jabatan, tak peduli kepada pembuktian janji-janji itu.
Catatan sejarah menunjukkan, sejak awal kemerdekaan, belum pernah satu pun janji para pemimpin terealisasi. Teks proklamasi 17 Agustus 1945, jelas-jelas menyatakan “hal-hal yang berhubungan dengan peralihan kekuasaan dan lain-lain, akan diselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya”.
Kapan “tempo sesingkat-singkatnya” itu? Entahlah. Yang jelas, tujuan kemerdekaan RI, hingga usia kemerdekaan menjelang 77 tahun, belum berhasil menciptakan masyarakat adil makmur. Adil tak pernah terbukti. Sebab terhalangi berbagai ketidakadilan yang berlaku di segala bidang : hukum, ekonomi, politik, dsb.
Makmur juga terkendala korupsi di berbagai lapisan dan tingkatan. Para aparat yang mendapat amanat mengurus rakyat, lebih mendahulukan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Mengangkat sanak saudara, kroni, sejawat satu kelompok atau satu golongan dengan alasan untuk memperlancar dan memperkuat kinerja, daripada berbakti membela kepentingan rakyat. Padahal 77 tahun jelas bukan “tempo sesingkat-singkatnya”.
Orde Lama pimpinan Presiden Sukarno (1945-1966), jatuh. Digantikan rezim Orde Baru pimpinan Jendral Suharto (1966-1998). Pada awal pemerintahannya, Pak Harto mencanangkan slogan “the rule of law”. Penegakan hukum. Juga slogan “pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen”. Slogan-slogan tersebut berkehendak mengubah kondisi rezim Orde Lama yang “mempermainkan hukum” dan “memutarbalikkan” Pancasila, demi kepentingan kekuasaan.
Namun slogan-slogan itu tak pernah terwujud. Tinggal slogan “bohong dan bodong”. Karena perilaku rezim Orde Baru, tidak menegakkan hukum dan tidak melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen.
Hal itu, berlanjut pada rezim-rezim selanjutnya, sejak awal Reformasi hingga sekarang. Bahkan mungkin lebih parah lagi.
Menutup tulisan tentang “bohong” ini, ada baiknya mengutip kisah dari kitab “Tazkiratul Awlia” karya Fariduddin Attar (abad 13), yang mengungkapkan , kejujuran dan keterus-terangan membawa keselamatan. Sedangkan kebohongan akan membawa malapetaka.
Hasan al Bashri (21 H/642 M- 110 H/728 M), sedang bersama muridnya, Habib al Ajami, duduk-duduk di tepi Sungai Tigris. Memperbincangkan beberapa masalah agama dan kemasyarakatan. Tiba-tiba dari arah kejauhan tampak sepasukan tentara menuju arah mereka. Hasan Bashri segera mafhum. Beberapa bulan yang lalu, ia mengirim surat “amar ma’ruf nahyi munkar” (ajakan kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran), kepada Gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf (meninggal 95 H/714 M). Mengeritik beberapa tindakannya yang menyimpang dari amanah sebagai pemimpin. Hajjaj sangat marah atas isi surat itu, dan memerintahkan agar Hasan Bashri ditangkap.
Mau lari ke mana? Sepanjang tepi Sungai Tigris, adalah padang pasir terbuka. Tak ada tempat persembunyian. Menyeberangi sungai sangat mustahil, mengingat Sungai Tigris amat lebar dan berarus deras. Sekadar untuk bertawakal, Hasan al Bashri masuk ke dalam gubuk tempat tinggal Habib al Ajami.
Begitu tiba, komandan pasukan Hisyam langsung menginterogasi Habib. Menanyakan ke mana dan di mana Hasan al Bashri. “Ada di dalam gubuk, “ kata Habib, menunjuk arah gubuk kecil dan kumuh.
Namun pasukan Hisyam sia-sia menemukan Hasan al Bashri di situ. Padahal gubuk sudah dihancurkan. Bilah-bilah kayu penyangganya dilemparkan ke sana ke mari. Akhirnya, pasukan itu pulang dengan tangan hampa.
Hasan al Bashri ke luar dari puing-puing gubuk yang sudah porak poranda. “Habib,”kata Hasan. “Lain kali jika ada musuh bertanya kepadamu tentang aku, cobalah sedikit berkelit. Cari alasan apa saja. Mungkin gubukmu tidak akan rata dengan tanah, dan aku tidak akan ketar-ketir, karena beberapa kali ujung pedang dan tombak menggores tubuhku.”
“Guru,”jawab Habib penuh kerendahan. ”Seandainya tadi aku berbohong, menyebutkan engkau mencebur ke sungai atau lari ke gunung, mungkin Allah SWT tidak akan melindungi kita berdua. Engkau tidak akan disembunyikanNya sedemikian rupa. Hanya karena aku berkata benar, jujur dan ikhlas, maka Allah SWT memberi kita kemenangan. Terbebas dari penangkapan pasukan Hajaj.”
“Engkau sangat benar, Habib,”Hasan al Bashri beristigfar berkali-kali. Kemudian membaca ayat 70-71 Quran, Surat al Ahzab, tentang “qawlan sadida” (berkata benar), yang membawa kepada “fawzan adzima” (keunggulan hebat) :
“Hai orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar, maka amalan-amalan kalian akan diperbaiki, dan dosa-dosa kalian akan diampuni. Barang siapa ta’at kepada Allah dan rasulNya, niscaya mendapat keunggulan luar biasa.”
Berkata benar artinya tidak bohong. [ ]