Para koruptor, apakah mereka tergolong “miyuni ucing”, “ngabudi ucing”, “ucing budug di jarian” atau “ucing gering”? Yang jelas mereka semua adalah tipe “ucing garong”pembawa musibah, karena suka “ucing-ucingan” (berkelit dari tanggung jawab).
Oleh : Usep Romli H.M.
Banyak perbedaan juga persamaan, antara tabiat kucing dengn manusia. Misalnya dalam masalah pelampiasan syahwat. Manusia yang melakukan hubungan seks terbuka, terang-terangan, disebarluaskan melalui video porno, disebut “miyuni ucing”. Menyerupai watak tabiat kucing.
Sebab kucing jika sedang melepas syahwat berahi, selalu ribut. Mengeong-eong keras, saling kejar, saling cakar dan saling gumul. Adegan mereka dapat disaksikan orang banyak. Tapi ketika melahirkan, diam-diam. Tahu-tahu ada saja “bilatung” (bayi kucing) muncul entah dari mana.
Jadi berbeda dengan manusia yang baik, benar, punya moralitas terpuji dan punya rasa malu. Ketika melakukan hubungan intim, yang sah terikat pernikahan, selalu memilih tempat tersendiri. Jauh dari saksi mata, dari saksi telinga.
Tetapi ketika melahirkan, selalu saja menggemparkan. Semua anggota keluarga sibuk memperhatikan. Panggil “paraji”, panggil bidan atau dokter. Yang melahirkan akibat hubungan gelap, sami mawon. Orang-orang riuh bertanya, siapa suaminya, kapan nikahnya? Masih untung daripada bayi tak berdosa masuk kantong keresek atau kardus, dibenamkan ke tong sampah. Itu lebih kejam daripada kucing yang suka telaten memelihara dan menjaga bayi-bayinya.
Manusia bermoral, menempatkan “sapatemon” (hubungan suami istri) sebagai bagian kehidupan yang cukup sakral. Tidak boleh sembarangan dibicarakan. Apalagi dilakukan dengan bebas tanpa sarat ketat pernikahan sah. Kata “pamali” dapat dijadikan peredam. Tak ada orang yang ingin mendapat predikat “miyuni ucing” dalam soal ini.
Juga tak ada orang yang ingin mendapat predikat “ngabudi ucing”. Padanannya dalam kiasan bahasa Indonesia, adalah “diam-diam menghanyutkan”. Jauh dari sangkaan. Jauh dari perkiraan lahiriah. Seseorang yang lugu, pendiam, juga terhormat, terkenal, tiba-tiba berlaku ganjil, melabrak tatakrama moral dan sosial, baik dalam hal seksual-– mau menjadi pelaku adegan porno yang direkam dan disebarluaskan–maupun tindakan lain semisal korupsi. Karena ternyata, banyak koruptor benar-benar “ngabudi ucing”. Punya akal pikiran waras, berpendidikan tingi, berkedudukan strategis, bernampilan meyakinkan. Tahu-tahu, nyolong. Begitulah “ngabudi ucing” suka memanfaatkan peluang sekecil apa pun untuk melakukan tindakan egois demi kepentingan perut sendiri, serta kroni dan sejawat koalisinya.
Padahal sebenarnya, bagi masyarakat kebanyakan, yang mayoritas petani, peran dan fungsi kucing cukup berjasa. Paling tidak dalam membasmi hama tikus. Kucing juga cukup mengenal halal-haram lebih baik daripada manusia. Coba saja, kucing diberi kepala ikan oleh pemiliknya. Ia akan mempertahankan kepala ikan itu, jika akan diambil oleh pihak lain. Kalau bisa bicara, mungkin kucing itu akan berkata “ini halal sekali pemberian dari induk semangku, tak boleh diganggu gugat”.
Tapi kalau kucing akan mencuri sesuatu dari meja makan, mendengar ada yang masuk rumah, ia segera loncat. Meminggalkan apa saja yang sudah digigitnya. Seolah-olah ia tahu, itu barang haram, hasil curian. Bukan haknya sehingga tak perlu dipertahankan mati-matian. Sudah lepas saja, dan cari lagi yang halal. Barang yang sekiranya tidak akan mengundang masalah dikemudian hari, baik bagi diri sendiri, sanak keluarga, dan lingkungan.
Memang cukup banyak idiom negatif yang berasal dari kucing. Orang yang sudah hilang kehormatan akibat kelakuan yang bertentangan dengan hukum, norma, dan tatakehidupan masyarakat, suka dinamakan “ucing budug di jarian”. Kucing berlumur kudis terlempar ke parit berlumpur busuk. Terpencil di situ menempuh sisa-sisa hidup yang sudah tak berharga. Tak berani menampakkan wajah ke tengah pergaulan masyarakat yang sedikit banyak masih mempertahankan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Sedangkan bagi orang-orang yang menjual kehormatan, baik karena “iseng”, maupun karena desakan kebutuhan ekonomi, digelari “ucing gering”. Kucing penderita sakit. Yang sakit mungkin jiwanya, karena jasmaninya sehat wal afiat.
Berdasarkan warna bulunya, kucing suka dianggap membawa berkah. Ada “candramawat”, ada “bulu hiris”. Juga yang putih bersih, dan hitam legam. Masing-masing punya ciri dan pembawaan masing-masing yang mengundang kesukaan pemiliknya.
Termasuk kategori “kucing” manakah para pelaku video mesum penghacur ahlak generasi bangsa? Para koruptor, para elit poltik dan birokrat pengatasnama rakyat? Apakah “miyuni ucing”, “ngabudi ucing”, “ucing budug di jarian” atau “ucing gering”? Yang jelas mereka semua adalah tipe “ucing garong” pembawa musibah, karena suka “ucing-ucingan” (berkelit dari tanggung jawab). Bukan “candramawat” dan “bulu hiris” pembawa berkah. [ ]