Selain menghancurkan semua infrastruktur sipil vital, situs-situs warisan peradaban, membinasakan 80 persen rumah penduduk, dan membunuh lebih dari 40 ribu rakyat Gaza, Israel juga menjadikan kelaparan sebagai senjata untuk menghukum seluruh orang Palestina di sana.
Oleh : Smith Alhadar*
JERNIH– Perang Hamas-Israel telah memasuki bulan keenam, tapi tak ada indikasi Hamas yang memerintah Gaza akan menyerah. Di pihak lain, pemerintahan ekstrem kanan Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu ngotot melanjutkan perang sampai tujuan perangnya tercapai, yaitu membasmi Hamas, di Tengah kecaman internasional mengingat tragedi kemanusiaan yang dialami rakyat Gaza tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Selain menghancurkan semua infrastruktur sipil vital, situs-situs warisan peradaban, membinasakan 80 persen rumah penduduk, dan membunuh lebih dari 40 ribu rakyat Gaza, Israel juga menjadikan kelaparan sebagai senjata untuk menghukum seluruh orang Palestina di sana.
Saat ini, di tengah tekanan internasional–termasuk dari sekutu AS dan Jerman–yang mendesak Israel mengurungkan niatnya menyerang Rafah, tempat lebih dari satu juta pengungsi Palestina hidup berdesak-desakan dalam tenda, Netanyahu tetap memerintahkan tentara Israel untuk melaksanakan rencana itu.
Ada yang berpendapat, rencana itu hanya bertujuan meningkatkan leverage Israeldalam perundingan dengan Hamas melalui perantara Qatar, Mesir, dan AS di Doha, Qatar. Namun, Netanyahu dikenal konsisten melakukan apa yang telah dikatakannya.
Manuver Hamas
Pada 15 Maret lalu, Hamas mengajukan proposal gencatan senjata baru yang terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, tentara Israel ditarik dari jalan al-Rashid dan Salah al-Din untuk memungkin kembalinya pengungsi ke rumah mereka dan masuknya bantuan kemanusiaan. Salah al-Din adalah jalan arterial utama yang membentang dari utara ke selatan Gaza. Sebagai imbalan, Hamas membebaskan sisa sandera Israel yang ditawan di Gaza menyusul serangan dadakan Hamas ke Israel pada 7 Oktober.
Tahap kedua, rencana gencatan senjata permanen harus dideklarasikan untuk setiap penukaran tentara yang ditawan.
Sementara pada tahap ketiga akan melibatkan proses rekonstruksi awal dan mengakhiri blokade atas Gaza. Masing-masing tahap ini berlangsung selama 42 hari.
Kendati menyatakan tuntutan ini tidak realistis, Netanyahu mengirim delegasi ke Qatar dipimpin David Barnea, direktur badan intelijen Mossad, untuk berunding. Sebenarnya, menjelang Ramadhan, telah terjadi negosiasi Hamas-Israel yang dimediasi Mesir, Qatar, dan AS untuk mengakhiri perang. Sayang perundingan itu tidak membuahkan hasil. Israel menuntut gencatan senjata hanya selama enam minggu, sementara Hamas menuntut , di antaranya, gencatan senjata permanen dan pasukan Israel ditarik dari Gaza.
Penolakan Israel didasarkan pada alasan bahwa tujuan perangnya membasmi Hamas belum tercapai. Bagaimanapun, tujuan ini tidak realistis. Nyaris mustahil Hamas akan kalah. Sebaliknya, populeritasnya kian meluas. Tidak hanya di kalangan Palestina, melainkan juga dunia Islam. Narasi Israel, AS, dan Uni Eropa bahwa Hamas adalah kelompok teroris untuk menjustifikasi agresi brutal Israel ke Gaza kehilangan moral dan dasar pijakannya. Hamas adalah bagian dari Palestina yang dijajah rezim Zionis, gerakan supremasi Yahudi, sejak 1967.
Netanyahu dan Biden
Sejatinya di balik tujuan menghancurkan Hamas adalah upaya Netanyahu mencegah berdirinya negara Palestina yang bahkan didukung komunitas global, terrmasuk AS, pelindung utama Israel. Memang ini satu-satunya solusi yang masuk akal untuk menciptakan Timur Tengah yang stabil, damai, dan Makmur tempat Israel hidup berdampingan dengan bangsa Arab.
Sesungguhnya persistensi Israel melanjutkan perang terkait dengan masa depan partai-partai kanan Israel. Bila perang diakhiri tanpa menundukkan Hamas, maka pemerintahan Netanyahu akan bubar. Bahkan, Netanyahu terancam dipenjarakan.
Di luar ketidakpuasan publik atas ketidakbecusannya menjaga keamanan negara, Netanyahu terlibat korupsi dan suap. Keluarga para sandera dan public Israel juga melihat ia tak berdaya membebaskan sandera. Tak heran, muncul tuntutan masyarakat agar ia mengundurkan diri dan pemilu dilaksanakan. Aspirasi ini didukung AS yang menginginkan munculnya pemerintahan baru yang lebih moderat sehingga memungkinkan solusi dua negara diwujudkan.
Dinamika internal Israel dan sikap pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden yang mengancam karier politik Netanyahu inilah yang membuat ia ngotot mempertahankan perang. Padahal, Hamas tidak mungkin dimusnahkan karena ia adalah ideologi yang kini nyaris dipeluk oleh seluruh masyarakat Palestina. Hal lain yang membuat Netanyahu mengabaikan desakan Biden adalah fakta bahwa Biden tak dapat menekan Netanyahu menjelang pemilu AS pada November mendatang.
Biden memerlukan dukungan lobi Yahudi (pendukung Israel) yang sangat berpengaruh dalam pemilu AS. Bagaimanapun, kontestasi Biden melawan mantan Presiden Donald Trump dipandang bakal ketat sehingga Biden memerlukan dukungan kaum Muslim AS dan kelompok anti-perang. Karena itu, untuk memenangkan hati mereka, Biden menawarkan gagasan menyalurkan bantuan pangan kepada rakyat Gaza yang kelaparan dengan membangun dermaga terapung di pantai Gaza sebagai akses bantuan itu.
Tapi banyak pihak yang pesimis terhadap rencana yang baru akan terwujud dalam waktu dua bulan, yang dilihat sebagai strategi Biden mengalihkan perhatian rakyat AS dan dunia atas konsistensinya memasok senjata dan uang ke Israel, serta memberi proteksi diplomatik kepada sekutunya itu.
Memang rencana itu tidak praktis karena akses darat jauh lebih cepat, efektif, dan efisien. Sekarang ini ratusan truk yang membawa bantuan kemanusiaan internasional antre di gerbang Rafah karena tak diizinkan masuk oleh Israel. Kalau mau, Biden tinggal menekan Israel untuk membuka gerbang Gaza tanpa perlu membangun dermaga.
Palestina pasca-perang
Terkait proposal gencatan senjata Hamas, AS menyambutnya. Kini muncul pertanyaan: bila perang berakhir tanpa kekalahan Hamas, akankah hal ini akan berujung pada kemerdekaan Palestina? Kalau pemerintahan Netanyahu runtuh, peluang itu terbuka.
Tetapi bagaimana bentuk negara Palestina yang diinginkan Israel? Tentu saja bukan seluruh wilayah Palestina –Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza – sesuai dengan resolusi-resolusi DK PBB.
Pada 2000, pemerintahan Partai Buruh Israel (partai yang membuat Kesepakatan Oslo dengan PLO) pimpinan PM Ehud Barack berunding dengan pemimpin PLO Yasser Arafat di Camp David, AS, yang dimediasi Presiden Bill Clinton. Sayang perundingan berhari-hari ini gagal karena Barack hanya menawarkan, di antaranya, Gaza, sebagian Tepi Barat tanpa Yerusalem Timur, pengungsi Palestina tak diizinkan kembali ke kampong halaman mereka di Israel, dan Palestina tak boleh memiliki angkatan bersenjata. Tentu saja Arafat menolak, yang menyebabkan munculnya Intifada jilid II. Dus, kalaupun terjadi perundingan perdamaian Israel-Palestina pasca perang, kecil kemungkinan Palestina akan merdeka penuh dengan seluruh wilayah yang diduduki Israel.
Selain kendala dari pihak Israel, muncul peretanyaan berikut: dengan siapa Israel akan berunding? Pada 15 Maret lalu, Otoritas Palestina (OP) pimpinan Presiden Mahmoud Abbas yang berbasis di Ramallah, Tepi Barat, melakukan reformasi sebagai respons atas tekanan AS terkait dengan masa depan Palestina pasca perang. PM Mohamad Shtayyeh digantikan oleh penasihat ekonomi Abbas, Mohamad Mustafa. Reformasi ini diperlukan untuk menguatkan OP yang telah kehilangan legitimasi disebabkan korupsi dan mandeknya proses perdamaian berdasarkan Kesepakatan Oslo yang diarsiteki Abbas sejak 2014. Kesepakatan
Oslo berpijak pada prinsip pertukaran tanah dengan perdamaian. AS berharap, bukan Hamas melainkan OP yang dijadikan mitra perundingan dengan Israel. Bagaimanapun, posisi OP terlalu lemah di saat populeritas Hamas melejit. Apalagi OP mengambil posisi defensif menyaksikan brutalis Israel atas Palestina. Isu Palestina hanya akan terselesaikan bila ada rekonsiliasi Hamas-Fatah di mana Hamas mengakui OP sebagai wakil Palestina dalam perundingan dan Israel memberi konsesi maksimal berupa berdirinya negara Palestina yang berdaulat penuh di atas tanah yang diakui DK PBB. Tentu ini sangat berat bagi Israel, tapi merupakan imperatif untuk menciptakan perdamaian yang adil. Tanpa itu, Israel akan terisolasi secara regional maupun internasional karena berdirinya negara Palestina merupakan desakan internasional.
Di pihak lain, negara Palestina tidak akan terwujud bila tak ada rekonsiliasi di internal Palestina dan Hamas tidak memberi mandat kepada Fatah untuk berunding. Apalagi bila Hamas tetap tidak mengakui eksistensi Israel. Dengan begitu, Israel punya alasan untuk tidak memerdekakan Palestina. Kalau demikian, hasil perang Hamas-Israel – dengan pengorbanan rakyat Gaza yang demikian besar — yang telah menciptakan momentum perdamaian akan lenyap sia-sia.
Hamas bukan saja tidak dikehendaki Israel, AS, dan Uni Eropa, tapi juga negara- negara Arab yang khawatir Hamas, proksi Iran, mendirikan negara Islam di Palestina. Hamas adalah Ikhwanul Muslimin (IM) cabang Palestina yang berafiliasi dengan seluruh IM di negara-negara Arab. [ ]
*Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)