Site icon Jernih.co

Memang Sulit, Tapi Jangan Sampai Mati

Penerbit tergagap-gagap menghadapi bencana ini. Kesiapan mereka menjalani bisnis di dunia online terbilang rendah

Oleh   : Anwar Holid*

Wabah covid-19 menyeret industri penerbitan Indonesia ke bibir kehancuran. Ia amat mengganggu ekosistem bisnis yang di awal tahun 2020 ditatap pelaku dengan optimistik. Penjualan terjun bebas, produksi sangat terbatas, cadangan dana menyurut, pekerja dirumahkan atau mengalami phk, toko buku tutup sementara, pembaca menahan belanja, dan mereka hanya bisa menilik-nilik lewat online.

Penerbit tergagap-gagap menghadapi bencana ini. Kesiapan mereka menjalani bisnis di dunia online terbilang rendah. Banyak penerbit belum mampu menjalani celah-celah bisnisnya. Contohnya melayani konsumen dengan optimal dan menghadapi penjualan buku bajakan (replika) di marketplace.

Penerbit harus adaptif menghadapi bencana yang berdampak serius dan mengubah banyak sekali aspek bisnis industri penerbitan. Ia perlu melihat lagi entitas bisnisnya seperti apa, lebih jeli mengolah data, terutama data kebutuhan konsumen. Penerbit dituntut kreatif menciptakan peluang, salah satunya giat mengenalkan buku dan ide-ide secara online dan menjual buku menggunakan pendekatan emosional (misalnya sekalian untuk amal).

Hikmat Kurnia — CEO Grup Gagas Media dan Ketua Ikapi Jaya — memaparkan situasi tersebut di seminar online ‘interupsi Covid-19 terhadap buku sebagai kebudayaan dan industri’ yang diselenggarakan Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD ITB, Rabu, (6/10).

“Covid-19 memang menyulitkan, tapi jangan sampai mematikan industri penerbitan,” demikian semangatnya. Karena itu penerbit perlu mengubah pola bisnisnya, seperti melakukan pre-order dan membina sebanyak mungkin reseller (contoh ke ibu-ibu yang rajin jualan).

Untuk buku berbobot yang kerap terbit tanpa mengabdi pada kepentingan pasar, negara harus hadir untuk menyelamatkan industrinya,  misalnya dengan mendirikan lembaga independen untuk mengurasi buku dan memberi apresiasi. Penerbit yang memang berorientasi pada kebudayaan mesti mengubah bentunya, misal jadi bersifat nirlaba. Acep Iwan Saidi dari FSK usul agar penerbit mau mem-branding dan tumbuh bareng penulis potensial, meskipun pola ini kurang popular karena butuh investasi dan ada risikonya.

Buku ialah perpanjangan dari gagasan, akal budi, dan imajinasi. Justru di masa seperti ini hindari buku ‘asal terbit,’ yang tidak jelas siapa pembacanya dan hadir cuma untuk memenuhi ego penulisnya sendiri. [ ]

*Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Exit mobile version