Membaca bukan soal menjadi sarjana. Ia adalah kebutuhan manusia biasa agar tidak menjadi korban informasi yang keliru. Masyarakat yang gemar membaca akan lebih tangguh terhadap manipulasi, lebih cerdas menghadapi janji-janji palsu, dan lebih terlatih menyaring fakta dari opini.
Oleh : Kang Thohir*
JERNIH — Membaca dan menulis bukan sekadar aktivitas sepi di sudut kamar atau pojok perpustakaan. Ia adalah tindakan perlawanan sunyi terhadap kedangkalan, terhadap arus zaman yang memuja kecepatan dan membenci kedalaman. Lewat membaca, manusia menyusun ulang pikirannya. Lewat menulis, ia mencatatkan jejak dan arah.
Sayangnya, di negeri ini, budaya membaca belum tumbuh menjadi kebutuhan. Banyak yang menganggap membaca buku sebagai pekerjaan membuang waktu, apalagi jika dilakukan tanpa guru, tanpa arahan, tanpa iming-iming gelar. Sebagian merasa cukup dengan sebaris caption, sepotong podcast, atau dua menit video viral. Padahal, tak ada ilmu yang tumbuh dari kilasan. Ilmu lahir dari pembacaan yang dalam, tekun, dan bertahap.
Membaca bukan soal menjadi sarjana. Ia adalah kebutuhan manusia biasa agar tidak menjadi korban informasi yang keliru. Masyarakat yang gemar membaca akan lebih tangguh terhadap manipulasi, lebih cerdas menghadapi janji-janji palsu, dan lebih terlatih menyaring fakta dari opini.
“Hidup tanpa membaca adalah hampa,” tulis seorang ulama.
“Tiada hari tanpa membaca,” kata yang lain. Kedua kutipan ini bukan basa-basi motivasional. Ia adalah seruan tentang sebuah urgensi.
Budaya membaca bukan datang begitu saja. Ia mesti dilatih. Dimulai dari niat yang kuat, lalu ditindaklanjuti dengan konsistensi. Satu halaman per hari. Satu bab per minggu. Bahkan satu paragraf pun, jika itu yang mampu. Seiring waktu, pengertian akan tumbuh. Dan dari pengertian itu, lahirlah tulisan.
Menulis adalah anak kandung dari membaca. Tanpa pembacaan yang luas dan mendalam, tulisan mudah terjerembab dalam kekosongan. Ia menjadi deretan huruf tanpa ruh, wacana tanpa arah.
Dalam proses itulah kosa kata kita diperkaya. Imajinasi diberi ruang. Nalar diasah. Bahkan, seperti kata pepatah Arab, “Menulis adalah membebaskan pikiran dari kepalanya.” Maka dari itu, membaca dan menulis bukan semata aktivitas pribadi, melainkan investasi sosial.
Pegiat literasi mesti menjadi mata air perubahan. Mereka harus hadir di tengah masyarakat—bukan hanya membawa buku, tapi juga membawa cara berpikir yang jernih, memotivasi anak-anak muda, memancing semangat teman-temannya, dan mengajak orang-orang biasa ikut mencicipi manfaat ilmu. Mereka harus mengajak semua orang—tak peduli pendidikannya apa—untuk menjadi bagian dari kebangkitan budaya membaca.
Kita bisa mulai dari hal yang paling sederhana. Membaca di waktu sore, atau malam, saat tubuh tak lagi disibukkan pekerjaan. Tak perlu terburu-buru mengkhatamkan buku. Yang penting adalah penghayatan. Baca perlahan, pahami isi, cerna makna. Biarkan isi buku menyusup ke sanubari, lalu menetes menjadi kesadaran.
Membaca adalah seperti menjaring ikan. Bila alatnya baik, waktu dan tekadnya pas, hasil tangkapan bisa luar biasa. Bila belum dapat banyak, jangan berhenti. Teruslah melempar jaring itu—sebab membaca yang sungguh-sungguh tak akan pernah sia-sia.
Akhirnya, budaya literasi bukan semata soal kertas dan huruf. Ia adalah tentang membangun bangsa yang tak mudah dibohongi. Bangsa yang pikirannya tajam, lisannya jernih, dan hatinya terbuka.
Salam budaya. Salam literasi anak bangsa. [ ]
* Muhammad Thohir atau Tahir, adalah petani yang kini menggeluti literasiu di Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah.