Jernih.co

Menakar Kebijakan Pengupahan Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2022, terdapat 26,42 juta perusahaan di Indonesia, yang terdiri atas usaha mikro, kecil, menengah, dan besar. Namun, hanya perusahaan menengah dan besar yang diwajibkan mematuhi regulasi ketenagakerjaan, dengan jumlah sekitar 17,11 juta. Dari jumlah ini, hanya 63.551 perusahaan atau 0,37 persen yang telah menyusun struktur dan skala upah.

Oleh : Subiyanto Pudin*
JERNIH– Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023, yang diumumkan pada 31 Oktober 2024, memberikan sembilan poin penting terkait kebijakan pengupahan di Indonesia. Beberapa poin utama meliputi perlunya upah minimum yang memperhatikan kebutuhan hidup layak pekerja dan keluarganya, keterlibatan Dewan Pengupahan Daerah dalam perumusan kebijakan, dan penyusunan struktur skala upah yang proporsional berdasarkan jabatan, masa kerja, pendidikan, serta kompetensi.

Selain itu, Gubernur diwajibkan menetapkan upah minimum sektoral di wilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Mahkamah juga menekankan pentingnya indeks tertentu sebagai variabel penghitungan upah minimum dan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Dikembalikan pula peran serikat buruh/serikat pekerja dalam perundingan upah. Penyusunan struktur skala upah ditegaskan kembali dan fungsi Dewan Pengupahan Daerah dikembalikan sebagai mitra pemerintah pusat.

Selanjutnya, implementasi kebijakan pengupahan di Indonesia terbagi dalam dua bagian. Pertama, penetapan upah minimum oleh pemerintah melalui keputusan gubernur, dengan proses yang melibatkan Dewan Pengupahan Daerah. Upah minimum ini dirancang sebagai jaring pengaman bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Kedua, penetapan upah pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun dilakukan oleh perusahaan berdasarkan struktur dan skala upah yang disepakati bersama antara pengusaha dan pekerja, baik individu maupun melalui serikat pekerja.

Evaluasi kebijakan pengupahan
Dalam mengevaluasi kebijakan pengupahan, keberadaan Dewan Pengupahan Daerah menjadi aspek penting. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan pada November 2023, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 250 daerah yang memiliki Dewan Pengupahan. Artinya, 48,6 persen daerah telah membentuk kelembagaan ini, sementara sisanya, yaitu 51,4 persen, belum melaksanakannya. Akibatnya, proses penetapan upah minimum di banyak daerah tidak berjalan sesuai mekanisme yang diatur.

No Tingkat Jumlah Realisasi % Realisasi %Tidak Terealisasi
1 Nasional 1 1 100% –
2 Provinsi 38 38 100% –
3 Kabupaten
/Kota 514 250 48,6% 51,4%
Total 553 289 52,3% 47,7%
Sumber: Buku Data Kemnaker November 2023

Selain masalah pembentukan kelembagaan, Dewan Pengupahan Daerah juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi upah minimum. Hal ini berimplikasi pada rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan dalam membayar upah sesuai ketentuan. Data menunjukkan bahwa penegakan hukum oleh instansi pengawasan ketenagakerjaan, yang berada di bawah Dinas Tenaga Kerja provinsi, masih lemah. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak hanya mengabaikan upah minimum, tetapi juga mengabaikan kewajiban menyusun struktur dan skala upah yang proporsional.

Evaluasi bagian kedua kebijakan pengupahan melibatkan kewajiban perusahaan untuk menyusun struktur dan skala upah sesuai regulasi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2022, terdapat 26,42 juta perusahaan di Indonesia, yang terdiri atas usaha mikro, kecil, menengah, dan besar. Namun, hanya perusahaan menengah dan besar yang diwajibkan mematuhi regulasi ketenagakerjaan, dengan jumlah sekitar 17,11 juta. Dari jumlah ini, hanya 63.551 perusahaan atau 0,37 persen yang telah menyusun struktur dan skala upah.

Selain itu, evaluasi kebijakan pengupahan juga mencakup penetapan upah di atas minimum berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Proses ini sangat tergantung pada keberadaan serikat pekerja di perusahaan. Namun, rasio perusahaan yang memiliki serikat pekerja sangat kecil. Data menunjukkan hanya 15.930 perusahaan atau 0,09% yang memiliki perjanjian kerja bersama (PKB). Hal ini menunjukkan rendahnya kepatuhan dalam implementasi kebijakan pengupahan yang ideal.

Ketidakpatuhan dalam kebijakan pengupahan menyebabkan upah minimum menjadi tumpuan utama pekerja dalam meningkatkan kesejahteraan. Akibatnya, setiap penetapan upah minimum selalu menjadi arena tarik-menarik kepentingan antara pelaku hubungan industrial. Fenomena ini dapat dilihat dari meningkatnya aksi unjuk rasa setiap tahun di kota-kota besar saat proses penetapan upah berlangsung.

Kebijakan pengupahan memiliki relevansi langsung dengan program jaminan sosial (Jamsos). Dalam sistem jamsos, tiga pilar utama yang mendukung keberlanjutan program ini adalah cakupan kepesertaan, besaran iuran, dan upah riil pekerja. Upah riil memiliki peran penting karena menjadi dasar perhitungan iuran serta daya beli pekerja. Oleh karena itu, kebijakan pengupahan harus selaras dengan pembangunan sistem jamsos yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan.

Sebagai ilustrasi, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memberikan subsidi berupa Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp42.000 per orang setiap bulan. Jika dalam satu keluarga penerima terdapat empat orang, maka nilai total iurannya Rp168.000. Jumlah ini setara dengan iuran pekerja penerima upah (PPU) sebesar 5% dari upah minimum Rp3.360.000. Ketika upah minimum berada di bawah angka ini, kontribusi pekerja penerima upah menjadi lebih kecil dibandingkan iuran PBI. Ketimpangan ini menunjukkan perlunya evaluasi terhadap kebijakan pengupahan untuk mendukung keberlanjutan program jamsos.

Tantangan dan solusi kebijakan pengupahan
Tantangan utama kebijakan pengupahan Indonesia terletak pada rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan dan lemahnya penegakan hukum. Selain itu, struktur dan skala upah yang tidak diterapkan secara konsisten menyebabkan kesenjangan pengupahan di berbagai sektor. Ketergantungan pada upah minimum juga menciptakan ketidakstabilan dalam hubungan industrial, yang sering kali memicu konflik antara pekerja dan pengusaha.

Untuk mengatasi permasalahan ini, kebijakan pengupahan perlu diletakkan dalam kerangka yang lebih holistik dan komprehensif. Pemerintah harus memastikan bahwa regulasi pengupahan tidak hanya menjadi sub-bagian dari regulasi ketenagakerjaan, tetapi memiliki status lex specialis yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan demikian, kebijakan ini dapat memberikan efek pengganda yang positif terhadap daya beli pekerja, pertumbuhan ekonomi, dan keberlanjutan program Jamsos.

Selain itu, pembentukan Dewan Pengupahan Daerah harus diprioritaskan di seluruh kabupaten/kota untuk memastikan mekanisme penetapan upah minimum berjalan sesuai aturan. Dewan ini juga harus diberikan kewenangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi kepatuhan perusahaan terhadap regulasi pengupahan. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas instansi pengawasan ketenagakerjaan di tingkat daerah agar mampu menegakkan hukum secara efektif.

Langkah lain yang perlu diambil adalah mendorong perusahaan untuk menyusun struktur dan skala upah yang proporsional. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi perusahaan yang mematuhi aturan ini, seperti pengurangan pajak atau kemudahan akses terhadap fasilitas pendukung bisnis. Selain itu, keberadaan serikat pekerja di perusahaan harus diperkuat untuk memastikan proses perundingan upah berjalan dengan baik.

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengupahan menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan di sektor ini. Dengan menetapkan regulasi khusus tentang pengupahan, Indonesia dapat menciptakan sistem pengupahan yang adil dan berkelanjutan. Upah yang layak tidak hanya meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas ekonomi nasional. Semoga langkah-langkah ini dapat membawa Indonesia menuju negara industri maju yang lebih sejahtera. [ ]

Exit mobile version