Bahkan persoalan kewenangan pun dinyatakan secara tegas dalam Pasal 18 ayat (5) yang berbunyi : Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Jelas dalam konstitusi persoalan kepala daerah merupakan hal yang tidak secara serampangan bisa ditabrak menggunakan pola pendekatan kekuaasaan.
Oleh : Giofedi*
JERNIH—Telah terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Covid 19 yang dibarengi dengan pernyataan sang menteri disertai emphasis kepada kepala daerah bahwa mereka yang melanggar akan diberhentikan sebagai kepala daerah.
Publik intelligite (paham—Latin, Red Jernih.co) kepada siapa ancaman tersebut ditujukan. Namun demi kredit point positif di hadapan Presiden, Mendagri Tito “seperti” mengabaikan peraturan-peraturan dasar yang berlaku dan digunakan sebagai pijakan dalam mengelola negara agak tidak ugal-ugalan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar pada hukum (rechtstaat) dan bukan negara yang berdasar kepada kekuasaan (machtstaat) hal ini jelas dinyatakan dalam Konstitusi kita Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi : Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pendekatan yang dilakukan oleh Mendagri Tito adalah pendekatan kekuasaan bukan pendekatan hukum. Mungkin Mendagri lupa bahwa beliau bukan lagi Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang dapat kapan pun mengganti Kapolres dan Kapolda menggunakan pendekatan kekuasaan.
Selain tentang pendekatan hukum, persoalan tentang daerah-daerah yang berada dalam wilayah NKRI juga diatur tersendiri dalam Bab VI tentang pemerintahan daerah dalam konstitusi kita. Konstitusi secara tegas menyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Bahkan persoalan kewenangan pun dinyatakan secara tegas dalam Pasal 18 ayat (5) yang berbunyi : Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Jelas dalam konstitusi persoalan kepala daerah merupakan hal yang tidak secara serampangan bisa ditabrak menggunakan pola pendekatan kekuaasaan.
Dasar hukum yang digunakan oleh Mendagri Tito dalam menerbitkan Instruksi Menteri sepanjang pemahaman saya tidak ada yang memuat ketentuan tentang pemberhentian kepala daerah, kecuali dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dan d juncto pasal 67 huruf b. Norma yang digunakan dalam pemberhentian kepala daerah adalah norma hukum yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) wilayah kepala daerah tersebut diberhentikan dan akhirnya akan diputuskan oleh melalui Mahkamah Agung, sedangkan pola pendekatan yang digunakan oleh Mendagri Tito adalah norma kekuasaan bahwa siapa pun kepala daerah yang menurut Mendagri Tito secara subjektif melanggar peraturan akan diberhentikan menggunakan dasar hukum aquo yang ditafsirkan secara ugal-ugalan.
Pun dalam praktiknya, pemberhentian kepala daerah yang menggunakan dasar Pasal 78 dalam berbagai yurisprudensi adalah akibat pelanggaran hukum pidana khusus dalam bentuk korupsi maupun suap.
Dalam konteks tersebut penerbitan Instruksi Menteri Dalam Negeri dan pernyataan Mendagri Tito memiliki potensi melanggar konstitusi dan tentunya merugikan Presiden Joko Widodo. Sudah selayaknya Mendagri Tito memberikan klarifikasi atas pernyataannya tersebut sebelum pada akhirnya bergulir menjadi persoalan hukum tersendiri yang akhirnya merugikan Presiden Joko Widodo. [ ]
*Ketua Umum Kahmi Muda