Di tengah gonjang-ganjing serangan virus Corona Covid-10, semakin tampak kelemahan dan kehinaan diri kita. Mahluk nanomikroskopik, sama-sama sebagai mahluk Allah, tapi dia mendapat izin menggunakan keperkasaannya, untuk menyerang manusia yang oleh Allah SWT dinyatakan sebagai “umat terbaik di antara manusia” (Q.s.Ali Imron : 110).
Oleh : H.Usep Romli HM
Syekh Bakir al Balkhi (1323-1403), seorang darwisy (sufi pengembara) dari Balkh, Afghnistan, menunaikan ibadah haji. Begitu memandang Ka’bah, terbit air matanya. Ia membaca do’a sambil tersedu:
“Ya Allah, tambahkan kemuliaan, kehormatan, keagungan dan kehebatan pada Baitullah ini. Dan tambahkan pula kepada orang-orang yang memuliakan, menghormati, dan mengagungkannya di antara yang berhaji atau yang berumrah, dengan kemuliaan, kehormatan, kebesaran dan kebaikan.”
“Jangankan di hadapanMu, ya Allah Kholiqul Azim, di hadapan mahlukMu, seperti Ka’bah ini, hamba tak berarti apa-apa. Hanya sebutir debu di antara jejalan manusia yang bertawaf di sini. Dengan penuh khusyuk dan rendah hati mereka mengumandangkan tasbih, tahmid dan takbir.”
“Hilang lenyap rasa “keakuan” hamba. Tak ada lagi tepuk dada “ini aku”. Semua tunduk patuh melebur dalam ketentuan syari’atMu. Mulai dari mengenakan kain ihram yang nyaris satu warna, satu bahan, satu kualitas. Tak ada kain ihram yang terbuat dari kain sutra atau wol yang mewah-mewah dan mahal-mahal.”
“Semua sama. Melaksanakan tawaf tujuh putaran. Tak ada dispensasi. Karena merasa kuat, lalu delapan atau sebelas putaran. Karena merasa lemah, cukup satu putaran saja. Demikian pula sa’i. Berjalan dari Safa ke Marwah, tujuh balik saja. Tidak kurang, tidak lebih.”
“Memang apa yang harus dibanggakan, ya Allah. Gelar, profesi, pangkat, kedudukan? Tak ada. Sama saja, semua berstatus ”tamu Allah”. Sedangkan kata Rasulullah Saw “adldlaifu kal mayyit.Tamu itu ibarat mayat. Tergantung bagaimana yang mengundang. Apalagi yang mengundang adalah Allah Yang Maha Hidup Yang Maha Mandiri (Al Hayyu al Qayyum). Semua harus mengikuti sarat dan rukun haji.”
“Bahkan jika membandingkan dengan jumlah kehadiran seluruh “tamu Allah” sebanyak kurang lebih sejuta orang, apa arti seorang hamba, ya Allah? Hanya sepersejuta saja. Amat amat terlalu kecil untuk berbuat ujub, ria, dan takabur dengan menepuk dada “ini aku”. Sebab yang berlaku, dalam kekerdilan dan kehinaan diri kita, cuma keimanan, ketakwaan dan amal saleh. Lain dari itu, nonsen.”
Demikian muhasabah (introspeksi) Syekh Bakir yang dicatat dalam beberapa literatur sufi klasik. Merupakan bahan berharga bagi siapa saja yang mau ber-muhasabah kapan saja, setiap saat. Akan ketahuan, siapa sebenarnya diri kita, dibandingkan dengan mahluk lain?
Ka’bah dan Hajar Aswad yang setiap saat dimuliakan orang berhaji dan umroh, jelas lebih populer, sepopuler apa pun diri kita. Dua mahluk Allah yang menjadi salah satu sarana ibadah wajib rukun Islam kelima itu, jelas peran dan fungsinya daripada kita yang sering merepotkan mahluk lain akibat ambisi dan egoisme yang kita bangga-banggakan.
Dengan hewan pun, jelas kita kalah telah. Dari perut lebah, keluar madu lezat yang berguna sebagai “sifaun lin nassi”, obat bagi manusia (Q.s.an Nahl : 69). Sedangkan yang keluar dari perut kita? Kotoran najis menjijikkan. Sutra dan wol yang menjadi bahan kemegahan pakaian manusia, dihasilkan dari kepompong ulat dan bulu domba. Tapi tak pernah lebah, ulat dan domba, menyombongkan diri, menepuk dada “inilah aku” seperti manusia.
Kini, di tengah gonjang-ganjing serangan virus Corona Covid-10, semakin tampak kelemahan dan kehinaan diri kita. Mahluk nanomikroskopik, sama-sama sebagai mahluk Allah, tapi dia mendapat izin menggunakan keperkasaannya, untuk menyerang manusia yang oleh Allah SWT dinyatakan sebagai “umat terbaik di antara manusia” (Q.s.Ali Imron : 110).
Tapi karena manusia tak mampu mempertahankan kemuliaan, sebagai “umat terbaik” dengan memperteguh keimanan dan memperbanyak amal saleh, serta melaksanakan “amar maruf nahyi munkar” (mengajak kepada kebaikan, mencegah dari kemunkaran), maka lunturlah kemuliaan itu.
Karena iman masing-masing semakin melemah, ditandai dengan kemalasan ibadah, kemerosotan ahlak dan kekacauan muamalah (amal sosial). Amar maruf nahyi munkar, mandeg. Kalah oleh egoisme dan individualisme. Ajakan kepada kebaikan, dilecehkan. Apalagi pencegahan dari kemunkaran dianggap melanggar hak asasi pribadi.
Ternyata, sebelum datang serangan Corona, banyak manusia telah menderita penyakit yang nyaris tak ada obatnya. Penyakit itu terletak di dalam hati. Penyakit mental spiritual. Yaitu penyakit “merasa paling benar sendiri”.
Tanda-tanda penyakit tersebut, gejala ingin menyerupai sifat Allah SWT (ar rububiyah). Kadang-kadang ada kecenderungan menyerupai sifat setan (asy syaitoniyah), sifat binatang buas (As sabu’iyyah).
Menyerupai sifat Allah SWT, menganggap diri sendiri paling hebat, paling mulia, paling kuasa. Mirip yang pernah dilakukan Fir’aun ketika memproklamasikan “ana robbakumul a’la”, akulah sembahan kalian paling tinggi (Q.s. an Naziyat : 24). Ia menganggap orang lain hanya kacung, petugas, bawahan, dll. yang rendah-rendah dan berada di bawah telunjuk perintahnya.
Padahal sifat besar, adigung adiguna, hebat tanpa tanding, hanya milik Allah SWT belaka.”Al kibriyau ridai”, kebesaran dan keagungan adalah pakaianKu (hadis Qudsi).
Ada pula manusia (ingin) menyerupai setan. Mengikuti ajakannya. Setelah terjerat, setan malah menyatakan lepas tangan, tak tahu menahu akibatnya. “Ana bariu minka” (Hikmah), aku tidak bertanggung jawab atas perbuatanmu (mengikutiku), kata setan.
Sejak awal, Allah SWT telah memperingatkan, perilaku setan amat buruk. Setan merupakan musuh nyata (aduwwum mubin) bagi manusia (Q.s. Al Baqarah : 208, Yasin : 60). Sifat setan yang menjadi penyakit manusia, adalah dusta, khianat, dengki, prasangka buruk, rakus, mudah marah, bertengkar, fitnah (mengada-ada), ghibbah (gosip), namimah (adu domba), dll.
Manusia juga ada yang (ingin) menyerupai binatang. Secara sadar atau tidak, melepaskan keimanan kepada Allah SWT, dan meninggalkan amal soleh kepada sesama manusia.Lalu berbuat seenak perut. Merasa bebas dari hukum. Bicara, makan, minum, tidur, tanpa aturan. Pantaslah, jika kelak menjadi penghuni neraka. Karena sesat dan menyesatkan (Q.s.Al A’raf : 79).
Malah lebih sesat lagi (balhum adldlol), karena dalam menempuh kehidupan, berperilaku mirip binatang buas. Mereka menganggap, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Homo homini lupus (Thomas Hobbes, 1588-1679). Maka terjadilah kezaliman, penganiaya, perbudakan, pembunuhan, pembantaian, dlsb. yang hanya pantas dilakukan hewan buas (sabu’iyyah).
Ajaran Islam melarang keempat perilaku di atas. Prinsip Islam adalah “rahmatan lil alamin” (Q.s. Al Anbiya : 107). Memanusiakan manusia, sebagai hamba Allah SWT yang beriman dan bertakwa kepadaNya, melarang penghambaan di antara sesama manusia, dan melarang penghilangan jiwa manusia, serta mengecam sifat sombong, keras kepala, egoistis, dan sejenisnya.
Islam mengajarkan keluasan wawasan dan saling harga menghargai dengan penuh kelembutan jiwa (al mutma’innah). Jenis manusia inilah yang akan diseru penuh keridaan oleh Allah SWT untuk memasuki surgaNya (Q..al Fajr : 27-30).
Mungkinkah, untuk membasmi penyakit terberat yang tak ada obatnya itu, Allah mengutus virus Corona Covid-19? Meruntuhkan kesombongan manusia, dengan mahlukkecil teramat kecil yang menggemparkan dunia? [ ]