Jika sentralisasi menguat,maka lembaga seperti GREAT perlu berdiri sebagai mitra kritis sekaligus
katalisator gagasan, bukan lawan. GREAT dapat dan harus menjadi lokomotif intelektual yang menyalurkan energi rakyat ke dalam desain kebijakan negara. Ia tidak menentang kekuasaan, ia mendampinginya—agar tetap berpijak pada penderitaan rakyat, bukan sekadar pada tabel Excel.
Oleh : M Shibghatullah
JERNIH–Di tengah gegap-gempita retorika Prabowonomics—yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi 8 persen, industrialisasi strategis, serta ketahanan nasional yang kokoh—Indonesia justru menghadapi satu kekosongan paling genting: absennya narasi besar yang berpihak secara ideologis kepada rakyat.
Hari ini, negeri ini tidak hanya butuh pertumbuhan, tetapi juga arah. Tidak cukup menggenjot infrastruktur atau memperbesar investasi jika semua itu tak diiringi dengan refleksi ideologis: untuk siapa pertumbuhan ini, dan bagaimana ia mengangkat martabat rakyat?
Di titik inilah, kehadiran sebuah lembaga riset seperti GREAT Institute menjadi sangat mendesak dan relevan.
Peta Lama dan Jalan Baru: Dari CSIS hingga GREAT Institute
Dalam lanskap lembaga riset dan pemikir kebijakan di Indonesia yang selama ini didominasi entitas-entitas besar seperti CSIS, SMERU, ICW, hingga ERIA, kehadiran GREAT Institute menandai babak baru: munculnya think-tank yang berani mengambil posisi ideologis, berpihak terang kepada rakyat, dan berakar pada semangat pembaruan sosial-politik.
CSIS, sejak 1971, telah menjadi pusat rujukan kebijakan luar negeri dan politik regional. SMERU menganalisis kemiskinan berbasis data. ICW mengawal isu antikorupsi. ERIA tampil di panggung Asia Timur dalam sektor industri dan inovasi. Namun, sebagian besar dari mereka berjalan dalam kerangka teknokrasi murni. Mereka kuat dalam data, namun lemah dalam narasi normatif: jarang sekali ada institusi yang secara terang berpijak pada kepentingan rakyat kecil sebagai fondasi ideologis.
GREAT Institute hadir bukan untuk menyaingi, melainkan untuk melengkapi dan melampaui: menyuntikkan nyawa ideologis ke dalam kebijakan yang selama ini dingin dan netral. Ia menjawab kekosongan narasi. Ia tidak lahir di ruang hampa. Ia muncul sebagai kebutuhan zaman.
Prabowonomics: Janji Besar yang Butuh Pengawal Ideologis
Forum-forum ekonomi seperti “Prabowonomics Roundtable” (Oktober 2024) telah mengartikulasikan strategi besar: menggenjot pertumbuhan hingga 8 persen, memperkuat ketahanan pangan dan energi, membangun zona ekonomi baru, serta mengamankan investasi asing di tengah turbulensi global.
Benar, bahwa Prabowo bagaimanapun harus melanjutkan sisa-sisa persoalan yang ditinggalkan Jokowi—persoalan yang oleh banyak pihak justru lebih dominan menjadi faktor penghambat pembangunan saat ini. Tetapi, analisis dari berbagai lembaga global seperti Chatham House dan Lowy Institute menyebut bahwa arah pembangunan Prabowo memiliki aksen yang lebih tegas, lebih jelas, dan lebih terarah. Memang, peninggalan-peninggalan busuk di masa lalu itulah yang memaksa pemerintahan Prabowo mengambil kontrol negara yang lebih kuat dan menjalankan agenda geopolitik yang lebih bersuara.
Namun kontrol dan ketegasan itu akan kehilangan daya legitimasi jika tak disertai narasi moral dan ideologis yang hidup. Prabowo bisa tampil sebagai pemimpin transformatif, justru jika didampingi oleh kekuatan-kekuatan pemikir rakyat yang tak sekadar menyajikan data, melainkan menggugat arah. Di titik inilah peran think-tank seperti GREAT Institute menemukan urgensinya: bukan untuk menyaingi kekuasaan, melainkan untuk memperdalam landasannya; bukan untuk melemahkan kendali negara, tetapi agar kendali itu berpijak pada akal sehat dan nurani rakyat.
Berbagai pengamatan lembaga dunia itu—alih-alih menjadi kritik—harus dibaca sebagai panggilan zaman. Jika sentralisasi menguat, maka lembaga seperti GREAT perlu berdiri sebagai mitra kritis sekaligus katalisator gagasan, bukan lawan. GREAT dapat dan harus menjadi lokomotif intelektual yang menyalurkan energi rakyat ke dalam desain kebijakan negara. Ia tidak menentang kekuasaan, ia mendampinginya—agar tetap berpijak pada penderitaan rakyat, bukan sekadar pada tabel Excel.
Mengapa Think-Tank Ideologis Pro-Rakyat Itu Urgen?
1. Menjaga agar pembangunan tetap punya arah moral
Pertumbuhan tidak boleh menjadi dewa baru. Seperti kata Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi: “Development is freedom.” Maka pembangunan yang tidak membebaskan rakyat dari kemiskinan, ketimpangan, dan keterpinggiran, sejatinya adalah kemunduran.
2. Mengisi kekosongan nilai dalam kebijakan negara
Selama ini, wacana negara terlalu kering dari nilai. Padahal, seperti kata Hannah Arendt: “Power without legitimacy is mere violence.” Rakyat butuh alasan untuk percaya bahwa negara berpihak, bukan sekadar membangun.
3. Menyalurkan aspirasi rakyat ke pusat kekuasaan
GREAT Institute berpeluang membentuk jaringan intelektual yang terhubung langsung dengan realitas rakyat. Sebuah jembatan antara teori dan penderitaan. Antara kekuasaan dan nurani.
4. Melawan kekuatan uang dengan kekuatan gagasan
Kapitalisme global menguasai dunia melalui produksi wacana. Lawannya bukan kekuatan lain, tetapi gagasan-gagasan yang berakar pada penderitaan rakyat. Di sinilah GREAT memainkan peran strategisnya: memproduksi nalar tanding, mempopulerkan ide-ide pembebasan, dan menekan negara agar tetap berpihak.
Agar tak terjebak dalam menara gading atau aktivisme simbolik, think-tank seperti GREAT Institute perlu memadukan tiga unsur utama:
-Jejak di akar rumput, agar tak tercerabut dari kenyataan rakyat.
-Produksi pengetahuan yang mudah dicerna, agar tak hanya dikonsumsi akademisi.
-Konektivitas strategis dengan lingkar kekuasaan, agar gagasan tidak berhenti di atas kertas.
Dengan tiga kaki ini, GREAT bisa menjadi rumah bagi para pemikir muda, para aktivis, dan para teknokrat dengan hati.
Bukan Sekadar Lembaga, Tapi Gerakan
Seperti dikatakan Ali Shariati, pemikir revolusioner Iran: “Jika agama hanya jadi ritual, dan ilmu hanya jadi data, maka dunia akan dikuasai oleh para teknokrat tanpa nurani.” Dan bangsa ini akan dikendalikan oleh tangan-tangan dingin yang tak tahu bagaimana rasanya lapar.
GREAT Institute, jika dikelola dengan visi dan keberanian, bisa melampaui sekadar lembaga riset. Ia bisa menjadi gerakan intelektual rakyat. Ia bisa menjadi fajar baru bagi Indonesia yang sedang mencari arah di tengah badai global.
Di era Prabowonomics, saat semua hal tampak dihitung dengan angka, kita butuh mereka yang bicara dengan jiwa. [ ]
