“Adalta fa amanta fanumta haitsu syi’ta, wa umarauna dlalmu fahtaju ilal husuni wal juyusyi”. Engkau berlaku adil sehingga merasa aman dan dapat tidur di mana saja engkau suka. Sedangkan para penguasa kami suka berbuat dzalim, sehingga mereka selalu berlindung di balik benteng yang dijaga kekuatan pasukan bersenjata.”
Oleh H. Usep Romli HM
Di tengah kecamuk serangan wabah Corona Covid -19, tiba-tiba ingatan melayang kepada sosok Umar bin Khattab (581-644 M). Sosok seorang pemimpin yang sangat perhatian kepada rakyat yang dipimpinnya. Sosok yang mengutamakan keselamatan jiwa raga rakyat daripada yang lain-lain.
Dikisahkan, Umar pernah menemukan seorang ibu tua dan anak-anaknya kelaparan. Anak-anaknya merengek minta makan. Sedangkan sang ibu sibuk menyalakan api dan menggodog sesuatu dalam panic. Umar yang sedang meronda, mengucap salam. Minta izin masuk ke dalam tenda. Lalu bertanya : “Mengapa anak-anakmu menangis?”
“Ia kelaparan, “jawab ibu itu terus terang. Ia tak mengetahui yang datang itu kepala Negara.
“Apa yang sedang kau masak?”
“Maaf. Itu butiran-butiran batu. Aku berharap, anak-anak segera tidur menyaksikan ibunya menyalakan api dan memasak. Kepada mereka dijanjikan, jika penganan sudah siap, akan dibangunkan. Namun rupanya, rasa lapar lebih hebat daripada rasa kantuk.”
Umar segera berlari ke gudang Baitul Mal. Meminta sekarung terigu kepada penjaga, dan memanggulnya sendiri ke gubuk orang-orang kelaparan itu.
“Biar aku yang memanggulnya, ya Amirul Muminin, “kata penjaga.
“Tidak ! Biar kupikul sendiri. Karena aku akan memikul sendiri dosaku di hadirat Allah kelak, karena sebagai pemimpin, aku telah membiarkan rakyatku kelaparan.”
Sebagai sahabat utama Nabi Muhammad Saw, Umar menjadi ‘Khalifah’ (Kepala Negara) kedua setelah Abu Bakar ash Shiddiq. Bergelar “Amirul Mukminin”, pemimpin orang-orang beriman, yang menguasai semua lapisan umat, dari berbagai agama, etnis, bahasa, budaya dan geografi. Pada zaman Umar memerintah, kekuasaan umat Islam tidak terbatas di jazirah Arab saja. Tapi mengalami perluasan amat signifikan. Sehingga disebut periode “Futuhatul Islamiyah” (perluasan wilayah Islam). Romawi, Mesir, Siria– termasuk kota Jerusalem — dan beberapa pusat kerajaan lain di barat dan utara, berhasil ditaklukan. Kerajaan Persia di sebelah timur, juga tunduk. Umar mengendalikan pemerintahan dan kekuasaan yang besar dan hebat, tanpa meninggalkan sikap moral rendah hati (tawadlu), sederhana (zuhud) serta apik (wara).
Pada masa pemerintahannya, Umar bin Khattab sangat memperhatikan aspirasi rakyat. Dalam sebuah pidato Umar menyatakan : “Wallahi, laumatat syatun fi sawadil Iraqi dli’atan lahiftullahi an yas-alaniy anha”. Demi Allah, seandainya seekor kambing saja mati sia-sia di negeri Irak, pasti aku gemetar karena takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Logikanya, jangankan manusia, ribuan atau jutaan jumlahnya, seekor kambing jika mati sia-sia karena tidak terurus, ikut dipikirkan, karena jika diabaikan, akan membawa bencana kelak di akhirat. Padahal, jarak pusat pemerintahan (Madinah) ke Irak kurang lebih 3.000 km.
Dari Abu Dzar al Ghifari dan Salman al Farisi – keduanya termasuk sahabat-sahabat utama Nabi Saw, Umar mendengar hadis tentang kondisi seorang pemimpin di Hari Kiamat. Pemimpin dunia itu, sebelum diperiksa amal perbuatannya, diberdirikan di atas jembatan Neraka Jahannam. Malaikat yang bertugas di situ, menggojlok tubuh pemimpin itu, hingga seluruh anggota badannya cerai-berai. Lalu dikembalikan lagi ke tempatnya. Utuh seperti semula. Baru diproses verbal. Jika ternyata baik dan jujur, akan selamat. Jika ternyata jelek dan khianat, langsung disungkurkan ke dasar neraka selama tujuh puluh tahun.
“Jika begitu, siapa yang akan mau menerima amanah tanggung jawab kepemimpinan?”tanya Umar dengan suara serak menahan tangis. Badannya gemetar ketakutan. Para sahabatnya menjawab : “Tidak ada, kecuali dengan paksaan.”
Suatu hal yang sangat aneh menurut kacamata zaman moderen. Tatkala semua orang berlomba-lomba ingin menjadi pemimpin. Setiap orang berusaha tampil tanpa diminta. Tak perlu dipaksa.
Dr. Mustafa Mahmud dalam buku “Abqariyah Umar bin Khattab” (1981), menyebutkan, Umar tinggal di rumah kecil sederhana. Ketika utusan Kaisar Romawi yang berpakaian dan berkendaraan mewah megah, datang berkunjung, Umar sedang tidur di bawah pohon kurma. Ketika bangun, pipinya penuh guratan jari-jari telapak tangan, karena ia tidur berbantalkan tangan saja. (Pada sumber lain, karena beralaskan pelepah kurma, yang ‘tercetak’ di wajah Umar saat itu adalah ‘jari-jari’ daun kurma—red).
Mengapa Umar merasa aman sendirian? Tanpa pengawal, tanpa perlindungan? Padahal ia seorang “raja” penguasa timur dan barat? Utusan Romawi justru yang menjelaskan : “Adalta fa amanta fanumta haitsu syi’ta, wa umarauna dlalmu fahtaju ilal husuni wal juyusyi”. Engkau berlaku adil sehingga merasa aman dan dapat tidur di mana saja engkau suka. Sedangkan para penguasa kami suka berbuat dzalim, sehingga mereka selalu berlindung di balik benteng yang dijaga kekuatan pasukan bersenjata.”
Dua ribu tahun lalu, telah ada pemimpin adil, jujur dan tegas seperti Umar. Sanggup membasmi KKN, mengayomi penduduknya. Termasuk seekor kambing di tempat sejauh ribuan kilometer dari pusat kekuasaan. Sehingga mereka aman sejahtera.
Seandainya, para pemimpin masa kini, mendapat “titisan” kepemimpinan Umar, tentu bangsa dan negara akan benar-benar subur Makmur, gemah ripah loh jinawi. Aman tenteram kerta raharja. Semua terwujud nyata. Bukan hanya dalam rencana, slogan dan janji-janji belaka. [ ]