Site icon Jernih.co

Mengonfirmasi Info Media Sosial 

Kalau suasana sudah keruh, mustahil anggota DPR bisa bersidang dengan kepala dingin, misalnya, menerima usulan pemakzulan Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka. Atau si pemengaruh ingin mendorong terbitnya peraturan tentang darurat militer di Indonesia.

Oleh     :  Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bisa bertanya. Dia bisa bertanya tentang dirinya, keberadaannya dan dunia di luar dirinya. Semua pertanyaan itu diajukan untuk memperoleh jawaban yang praktis, aplikatif dan filosofis. Tujuannya hanya satu: agar bisa hidup dengan nyaman.

Apa indikator hidup yang nyaman? Oh, banyak. Mulai dari sehat, puas, tenang, terpenuhi segala kebutuhan, bebas dari stres, hingga tidak menyesal.   Namun, tidak berarti orang yang hidup dengan nyaman tidak pernah mengalami kesulitan. Mereka punya kemampuan mengatasi kesulitan.

Tidak mudah memang mengatasi kesulitan. Sebab ia berkaitan dengan memaknai gejala yang muncul. Ambil misalnya, materi yang tersaji di media sosial. Apa pun yang tersaji tidak lepas dari pemengaruh, pemilik akun di media sosial. Sebagai pemengaruh, dia ingin semua pengikut (follower) mengikuti jalan pikirannya. Tidak jarang dia malah mendesak pengikut menerima pikirannya.

Taruh kata seorang pemengaruh punya 1,2 juta pengikut. Bisa dibayangkan jumlah orang yang akan terpengaruh oleh konten yang disiarkannya. Kalau konten itu mengandung ajakan berunjuk rasa dan mempengaruhi 0,1 persen pengikut saja, maka sudah terkumpul 12.000 yang siap berunjuk rasa.

Kalau pemengaruh di atas menjelek-jelekkan seseorang, bisa dibayangkan jumlah pengikut yang akan mengetahuinya. Kalau 1 persen saja dari pengikut itu menerima jalan pikiran si pemengaruh, sudah 120.000 pengikut yang akan menerima pikirannya. Luar biasa efektif media sosial bukan?

Itulah sebabnya, beberapa ahli menyarankan agar pengikut media sosial tidak reaktif. Pengikut media sosial tidak dikuasai oleh bawah sadarnya. Untuk itu, mereka mau tak mau mesti mengonfirmasikan info dari media sosial yang diterimanya. Mengonfirmasikan kemana dan untuk apa?

Mengonfirmasikan ke buku atau dokumen tertulis. Untuk mengetahui siapa sebenarnya sang pemengaruh. Dari konfirmasi itu, misalnya, diketahui si pemengaruh mendapat pesanan untuk mengeruhkan suasana di DPR. Kalau suasana sudah keruh, mustahil anggota DPR bisa bersidang dengan kepala dingin, misalnya, menerima usulan pemakzulan Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka. Atau si pemengaruh ingin mendorong terbitnya peraturan tentang darurat militer di Indonesia.

Sementara itu, gaya hidup manusia sudah berubah gegara ponsel pintar. Dia tidak hanya menghabiskan waktu berjam-jam menggerakkan layar ponsel pintar ke atas dan ke bawah (scrolling). Dia juga sudah berubah menjadi sosok yang reaktif. Mulai dari berkomentar tanpa dasar, agresif dan melantunkan ujaran kebencian (hate speech). Tegasnya dia tidak menggunakan ponsel pintar secara tepat.

Tanpa sadar manusia sudah terjerumus ke dalam lembah dehumanisasi. Manusia tidak lagi punya kemanusiaan. Perilakunya tidak lagi berdasarkan akal sehat. Akibat selanjutnya, terjadilah abnormalitas dalam masyarakat.

Kondisi begini, melahirkan ide untuk semakin manggalakkan literasi digital. Namun, literasi digital saja tidak cukup. Ia harus diikuti juga oleh literasi yang lain, mulai dari literasi politik, literasi keuangan, literasi lingkungan hidup, literasi surveilans kapitalisme (surveillance capitalism), literasi digital kapitalisme (digital capitalism), hingga literasi budaya. Semua ini, pada gilirannya nanti, akan membentuk kecakapan manusia dalam menapaki era digital seperti sekarang ini.

Namun, proses pembentukan kecakapan ini mesti melalui proses yang panjang. Tidak bisa tercipta mendadak sontak. Masalahnya lantas, bersediakah manusia sekarang menempuh proses yang panjang itu?

Entahlah! Yang jelas sekarang manusia sudah menjadi manusia serba cepat. Melakukan banyak hal dengan cepat dan efisien. Hasilnya? Mereka mudah stres dan lelah. Kualitas pekerjaan tidak optimal. Terjadilah kesalahan yang tidak diinginkan. Hidup pun terasa tidak nyaman lagi. Padahal, seperti sudah disebutkan di atas, salah satu tujuan manusia bertanya adalah untuk memperoleh jawaban demi kehidupan yang nyaman. [ ]

*Guru besar jurnalistik UGM

Exit mobile version