“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang mestinya dikuasai oleh negara, jatuh ke tangan penguasaan orang seorang dan modal asing, menjadikan rakyat banyak sebagai tindasan segelintir orang kuat…”
Krisis yang melanda bangsa ini telah menyerang segala jaringan pembuluh darah dan menembus kedalaman jantung kehidupan. Usaha menyembuhkannya tak cukup dengan rutinitas penyelenggaraan demokrasi prosedural. Harus dilakukan pembedahan mendasar untuk melenyapkan biang penyakit hingga ke akar-akarnya yang terdalam.
Pada garis besarnya, pemerintahan negara belum mampu menunaikan kewajibannya untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Pada basis material, perwujudan masyarakat adil dan makmur tercegat oleh pendalaman dan perluasan penetrasi kapitalisme predatoris. Usaha bersama berlandaskan semangat tolong-menolong (kooperasi) tertikam oleh usaha perseorangan yang saling mematikan. Kemakmuran masyarakat disisihkan oleh kemakmuran orang seorang. Kesenjangan sosial melebar, menjauh dari cita-cita keadilan sosial.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang mestinya dikuasai oleh negara, jatuh ke tangan penguasaan orang seorang dan modal asing, menjadikan rakyat banyak sebagai tindasan segelintir orang kuat. Begitu pun bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok kemakmuran rakyat, yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, semakin dikuasai oleh orang seorang bagi sebesar-besar kemakmuran segolongan kecil dan orang asing. Perampasan dan perusakan sumberdaya alam oleh pemodal kuat terjadi secara sistematis, massif dan terstruktur, menyisakan malapetaka ekologis, ketidakadilan, dan keterancaman kesinambungan pembangunan.
Pada langit mental, semangat ketuhanan yang mestinya menjadi bantalan etis, etos dan welas asih terdangkalkan oleh formalisme dan egoisme kegamaan. Kemanusiaan yang mestinya mengarah pada kederajatan, kemandirian, persaudaraan manusia, terlumpuhkan oleh individualisme, materialisme dan hedonisme, keserakahan menimbun, gila status dan kekuasaan. Keragaman yang mestinya memberi wahana saling mengenal, saling menghormati, saling belajar, saling menyempurnakan, serta saling berbagi dan melayani untuk menguatkan persatuan, justru menjadi wahana saling menyangkal, saling mengucilkan, saling meniadakan yang mengarah pada kelumpuhan dan kehancuran bersama.
Pada ranah politik—sebagai agen perantara dalam perubahan sistem sosial—konsentrasi kekuatan nasional bagi transformasi ranah material dan mental menuju perwujudan masyarakat Pancasilais yang berkekeluargaan dan berkeadilan, tercabik oleh pengadopsian model demokrasi yang tidak selaras dengan dasar falsafah dan kepribadian bangsa.
Perwujudan demokrasi permusyawaratan sebagai wahana penguatan negara persatuan (yang mengatasi paham perseorangan dan golongan) dan negara kesejahteraan (yang berorientasi keadilan sosial), tercegat oleh hambatan-hambatan kultural, institusional, dan struktural.
Pada tingkat kultural, politik sebagai teknik mengalami kemajuan; tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras—prosedur demokrasinya—terlihat relatif lebih demokratis; namun perangkat lunak—budaya demokrasinya—masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritoktasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang saja); perluasan partisipasi politik beriringan dengan perluasan partisipasi korupsi.
Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan pada kekuatan alokatif (sumber dana), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia). Demokrasi padat modal melambungkan biaya kekuasaan, mengakibatkan perekonomian biaya tinggi (high cost economy), dan merebakkan korupsi. Demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi “liberal” tanpa menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyakat Indonesia, justru dapat melemahkan demokrasi. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Situasi ini kian memburuk dengan menguatnya penetrasi neoliberalisme yang memperkuat individualisme dan memaksakan relasi pasar dalam segala bidang kehidupan. Kekuatan demokrasi perwakilan menjadi lumpuh ketika kepentingan minoritas pemodal lebih aktif dan ampuh mengendalikan politik daripada institusi-institusi publik. Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).
Dengan demikian, yang kita dapati di seberang jembatan emas kemerdekaan adalah jalan bercabang dua. Jalan yang satu adalah jalan mulus bagi segelintir orang yang hidup berkelimpahan; sama dapat, sama bahagia; sedang jalan yang satu lagi adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkekurangan; sama ratap, sama sengsara.
Semangat persaudaraan kebangsaan sejati hancur. Warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya pudar karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Semuanya berujuang pada kegelapan dan kebiadaban: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Alhasil, setelah 74 tahun Indonesia merdeka, keberadaan Pancasila—sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju kehidupan berbangsa dan bernegara–ibarat kitab suci dengan kertas yang rombeng. Dibuang takut kuwalat, dipakai tak lagi terbaca.
Terlalu lama terpajang sebagai hiasan seremonial, tanpa ketekunan perawatan, membuat Pancasila mengalami pelapukan. Untuk menghentikan proses degenerasi, cara melestarikan Pancasila harus keluar dari tendensi formalisme verbalistik menuju efektivitas operatif.
Apabila Pancasila dikehendaki kesaktiannya, kita perlu melakukan perubahan sikap kejiwaan (mindset), dengan meletakkan Pancasila dalam konteks perjuangan patriotisme yang lebih positif-progresif. Pengalaman marginalisasi, diskriminasi dan eksploitasi memang pantas disesali dan dimusuhi. Namun, manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan. Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics).
Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, melainkan juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya menjebol, melainkan juga membangun, memperbaiki keadaan negeri.
Meletakkan Pancasila dalam konteks patriotisme progresif menuntut pembumian nilai dan visi Pancasila secara efektif dalam tiga ranah peradaban: ranah tana nilai, tata kelola dan tata sejahtera; bersamaan dengan penguatan Pancasila pada tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.
Tata Nilai
Untuk dapat berkembang hebat, peradaban suatu bangsa harus tumbuh di atas landasan nilai. Meminjam ungkapan John Gardner, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak mengandung dimensi nilai moral guna menopang peradaban besar.”
Nilai itu cahaya petunjuk yang menerangi jalan menuju tujuan. Tanpa tuntunan nilai, sehebat apapun pembangunan fisik, kecerdasan dan keterampilan yang kita kerahkan tidaklah memberi nilai tambah yang signifikan, karena bisa tersesat di banyak tikungan.
Sebagai nilai inti moral publik, Pancasila bukanlah bahan hafalan, melainkan nilai hidup yang harus dialami dan dijalani penuh integritas, dengan menjaga konsistensi antara pikiran, perkataan, sikap dan perbuatan; antara keyakinan, pengetahuan, kebijakan dan tindakan.
Tata nilai Pancasila diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dengan nilai utamanya berlandaskan sila pertama, kedua, dan ketiga. Bahwa kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan “Yang Mahasuci”, yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran; welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab; welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa. Dengan spirit Ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan, dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif, serta sanggup menjalin persatuan (gotong-royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).
Pemangku utama yang mengemban urusan tata nilai ini adalah komunitas. Nilai Pancasila yang semula digali dari nilai-nilai hidup yang tumbuh di berbagai komunitas Tanah Air, sudah sepantasnya dikembalikan ke komunitas sebagai perawat utamanya. Ada sejumlah komunitas inti pembudayaan nilai Pancasila: komunitas sekolah, komunitas agama, komunitas pemukiman, komunitas kerja, komunitas media, komunitas orpol dan ormas, serta komunitas adat-budaya. Setiap komunitas tersebut memiliki titik tekan dan pendekatannya tersendiri dalam membudayakan nilai Pancasila, namun secara keseluruhan membentuk rantai nilai Pancasila secara holistik dan integral.
Dengan dikembalikan ke komunitas, lembaga-lembaga negara (non-persekolahan), ketimbang sibuk mengurusi sosialisasi Pancasila kepada masyarakat sebagai pemborosan sumberdaya yang tidak efektif, lebih baik mengurusi pembudayaan nilai di lingkungan komunitas kerjanya sendiri (penyelenggara negara). Hal itu sesuai dengan tuntunan pokok pikiran keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. “Negara berdasar atas ke-Tuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.”
Alhasil, sebelum mempancasilakan masyarakat, penyelenggara negara harus terlebih dahulu mempancasilakan dirinya sendiri. Perlu diingat, pejabat dan aparatur negara tidak selalu punya kredibilitas dan kewibawaan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat. Terlebih dalam kondisi kemarau moral di lingkungan penyelenggara negara, yang diperlukan malah pembalikan peran. Justru tokoh-tokoh panutan masyarakatlah yang pantas menanamkan nilai Pancasila kepada penyelenggara negara.
Adapun lembaga-lembaga negara dengan tugas pembinaan nilai kebangsaan, dalam menjalankan tugasnya harus bekerjasama dengan komunitas-komunitas tadi sesuai dengan kelompok sasaran. Tugas paling penting yang bisa dikerjakan lembaga-lembaga negara tersebut adalah membuat kerangka regulasi, pedoman dasar, fasilitasi, pengukuran dan monitoring, agar pembudayaan nilai yang dilakukan berbagai komunitas tadi memiliki irisan persamaann, koherensi dan jaminan mutu, sehingga secara serempak bisa memenuhi sasaran dan tujuan yang dikehendaki.
Tata Kelola
Setelah basis nilai diperkuat, peradaban suatu bangsa hanya bisa dimajukan dengan ketepatan tata kelola. Daren Acemoglu dan James A. Robinson, dalam bukunya, ‘Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty’ (2012), menengarai bahwa sebab pokok kegagalan suatu negara-bangsa bukan karena kurang adidaya atau sumberdaya, melainkan karena salah urus, alias salah desain kelembagaan dan tata-kelola pemerintahan.
Tata kelola sosial-politik Pancasila diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenep bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemedekaan, perdamaian dan keadilan.
Pemangku utama dalam urusan tata kelola pemerintahan ini adalah lembaga-lembaga kenegaraan. Adapun prioritas lembaga tersebut sebagai rejim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang. Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, namun harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara. Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola mental-kultural (tata nilai), tata kelola sumberdaya material (tata sejahtera), serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan.
Dalam kaitan dengan tata kelola demokrasi dan pemerintahan, berbagai elemen krusial harus mendapat perhatian yang serius. Beberapa diantaranya menyangkut penataan sistem hukum dan pemulihan kewibawaan otoritas hukum (nomokrasi) yang dapat menopang kesehatan demokrasi, persoalan institusi pemilihan yang padat modal, penataan ulang otonomi daerah, urgensi kehadiran pedoman direktif (haluan pembangunan) yang lebih solid, persoalan tumpang-tindih kewenangan insitusi-institusi negara, terlalu luasnya cakupan kelembagaan negara karena kehadirian beragam komisi negara serta pentingnya perampingan birokrasi negara untuk menghindari jebakan negara pegawai, urgensi pembenahan sistem perwakilan yang lebih inklusif dan representatif dengan kesanggupan mengakomodasi segala kekuatan sosial-politik, serta pentingnya memperbaiki rejim negara kesejahteraan yang bersemangat gotong-royong.
Tata Sejahtera
Pada akhirnya, peradaban maju ditentukan oleh kesanggupannya mengolah sumberdaya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam kaitan itu, setiap ideologi harus memiliki kerangka konseptual dan dan kerangka operatif tentang perwujudan masyarakat sejahtera yang diimpikan.
Pengembangan tata sejahtera dirahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utamanya berladaskan sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat koperatif), disertai pengusaan negara atas “karunia kekayaan bersama” (commonwealth) serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.
Pemangku utama dalam urusan tata sejahtera ini adalah dunia usaha dan rejim perekonomian, dengan prioritas utamanya mengembangkan perekonomian berbasis semangat tolong-menolong (kooperatif). Dengan semangat itu, politik anggaran harus lebih berorientasi pada kesejahteraan umum. Kemampuan negara untuk menguasai dan mengelola kekayaaan bersama (commonweath) serta cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan. Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai terkonsentrasi di satu tangan. Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong melalui pengembangan kewirausahaan dengan pengusaan teknologi dan terobosan inovatif.
Untuk mengatasi jebakan kelas menengah bawah dan defisit neraca perdagangan, Indonesia harus mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis industri (knowledge economy). Ukuran yang berkaitan dengan total factor productivity dan knowledge economy index menunjukan betapa rendahnya kontribusi nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi.
Arah kebijakan pengembangan teknologi dan industri kita bisa belajar dari bangsa lain, tetapi tidak perlu sama. Kita bisa memberikan prioritas pada pengembangan Iptek yang bisa memberi nilai tambah terhadap comparative advantage (kekhasan potensi) Indonesia. Lautan yang luas, menunggu sentuhan pengembangan teknologi dan industri kemaritiman. Tanah yang relatif subur, perlu bioteknologi dan agroindustri. Negeri yang indah perlu teknologi dan industri kepariwisataan. Jiwa estetik yang kuat, perlu teknologi dan industri kesenian. Kekayaan sumber energi terbarukan perlu pengembangan teknologi dan industri energi alternatif, dan seterusnya.
Dengan prioritas pengembangan teknologi dan industri seperti itu, lembaga pendidikan dan riset bisa menentukan area prioritas apa dan jenis SDM seperti apa yang menjadi prioritas pengembangan. Selain itu, keterkaitan antara aktivitas riset dengan dunia usaha juga perlu diperkuat. Problem riset Indonesia terlalu memusat pada lembaga riset negara. Kurang ada terobosan untuk membawa aktivitas dan hasil riset ke jantung masyarakat. Bagaimana pun juga, riset inovatif itu harus sampai ke pasar. Oleh karena itu, kegiatan riset mestinya menjadi bagian organik dari dunia usaha. Kebijakan yang harus ditempuh bukan dengan jalan terus menambah birokrasi baru lembaga riset negara, melainkan harus mendorong pembudayaan riset-inovasi di dunia usaha, dengan berbagai kerangka kebijakan fiskal (insentif pajak dan permodalan). Di Amerika, misalnya, anak-anak muda cemerlang dengan ide-ide teknologi inovatif bisa membangun start-up dengan pinjaman modal ventura. Memang tidak semua berhasil; tetapi selalu ada beberapa yang sukses mengembangkan perusahaan berbasis pengetahuan berskala global, seperti microsoft, apple, facebook, dan lain-lain.
Berkaca dari pengalaman negara-negara yang berhasil bertransformasi dari negara miskin menjadi negara makmur, seperti negara-negara Asia Timur, bisa ditarik kesimpulan bahwa lokomotif kemakmuran itu terletak pada usahawan inovator yang berhasil mengembangkan inovasi yang dapat menciptakan pasar baru (market-creating innovation). Usahawan inovator mengambil inisiatif memantik api terobosan inovatif, lalu pemerintah memperbesar bara api inovasi itu dengan memberikan dukungan kerangka regulasi, kebijakan dan infrastruktur yang diperlukan usahawan inovator dalam kerangka penciptaan pasar baru (baik lokal maupun global) yang dapat melambungkan kemakmuran bangsa.
Pembudayaan dimensi ideologi
Selain persoalan ruang lingkup pembumian di tiga ranah peradaban, kemanjuran pembudayaan Pancasila juga memerlukan proses aktualisasi tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Tantangan pertama dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana meyakinkan segenap warga negara bahwa nilai-nilai ideologi Pancasila itu cocok, relevan dan ampuh sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk. Dalam urusan keyakinan ini, seperti dalam keyakinan keagamaan, bahwa kendati tidak ada seorang pun di antara pemeluk agama (yang masih hidup), yang sudah memasuki sorga atau pun neraka, namun mereka yakin bahwa sorga dan neraka itu ada. Meyakinkan pemeluk agama akan adanya sorga dan neraka itu tidak mengandalkan penjelasan-penjelasan rasional, melainkan oleh pendekatan-pendekatan emotif (penghayatan) dengan mengandal daya pukau dan daya imajinasi dari kekuatan “mitos” (dalam arti positif). Pemupukan keyakinan dengan kekuatan mitos itu menggabungkan antara kekuatan narasi (kisah), daya-daya estetik, permainan, ritual dan simbol.
Pengaruh kisah (sejarah, sastra dan film) terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan merubah dunia. Dalam konteks pembentukan nasionalisme Indonesia sendiri, Bung Karno pernah menunjukkan secara canggih bagaimana mengembangkan berbagai mitos integrasi nasional dengan menautkan keindonesiaan dengan epos kebesaran Majapahit dan Sriwijaya. Dia juga acapkali mencuplik kisah-kisah pewayangan sebagai sumber teladan dalam menumbuhkan keyakinan kepada rakyatnya akan kemampuan bangsa Indonesia melalui berbagai tantangan.
Dimensi estetik dan simbolik dalam menumbuhkan kayakinan terhadap Pancasila itu kian penting dalam menjawab pertumbuhan generasi milineal. Suatu generasi yang lebih terbiasa menafsir dan merespon realitas melalui sarana-sarana simbolik dan ikonik. Dan Indonesia dengan kekayaan kulturalnya yang luar biasa bisa menjadi tambang emas untuk mengembangkan berbagai mitos berbasis ekspresi simbolik, estetik dan permainan dalam menumbuhkan dimensi keyakinan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Tantangan kedua dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana menjelaskan nilai-nilai Pancasila melalui pendekatan keilmuan secara multidisiplin, antar-disiplin dan trans-disiplin. Tujuannya agar setiap warga negara memahami keluasan dan kedalaman wawasan Pancasila serta konsekuensi-konsekuensi turutunannya ke dalam berbagai bentuk pranata dan lembaga sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila juga harus mewarnai segala aspek pendidikan kewargaan. Berbagai teori bisa digunakan untuk menjelaskan perspektif Pancasila mengenai hubungan manusia dengan kosmos, agama dan negara, hak-hak asasi manusia, konsepsi kebangsaan, demokrasi, sistem hukum nasional, keadilan sosial-ekonomi dan seterusnya. Dalam usaha ini, selain kita harus menggali khasanah pengetahuan-kearifan bangsa sendiri, perlu juga dilakukan berbagai studi komparatif dengan pengalaman sejenis di negara-negara lain, karena bagaimana pun juga nilai-nilai Pancasila memiliki dimensi-dimensi yang bersifat universal.
Tantangan ketiga dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana mendorong warga negara (khususnya peserta didik) untuk dapat mengembangkan laku hidup berdasarkan nilai dan konsepsi Pancasila. Pancasila tidak berhenti sekadar butir-butir hafalan, melainkan menjelma menjadi karakter yang mendarah-daging dalam perilaku warga dalam kehidupan publik. Selama ini, banyak guru mengajarkan pendidikan moral Pancasila seperti dokter yang memberi resep kepada orang sakit. Namun, petunjuk resep itu tak diamalkan oleh sang pasien dengan meminum obatnya; bahkan berusaha membeli obatnya pun tak sudi. Pendidikan karakter adalah ilmu amal (terapan) yang tidak diberikan kecuali untuk diamalkan. Guru mendidik (membudayakan) karakter dengan praktik keteladanan, murid mempelajari ilmu itu dengan mempraktikkan langsung laku terpuji. Pembelajaran Pancasila bisa dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok terbatas yang terdiri dari ragam identitias, lalu mendorong mereka untuk mengembangkan berbagai kegiatan dalam rangka pengamalan langsung sila-sila Pancasila.
Menguatkan titik temu
Last but not least, usaha membudayakan Pancasila itu memerlukan terang kesadaran tentang dasar ontologis Pancasila. Pada 1 Juni 1945, dalam mengawali uraiannya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan “bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”. Lantas ia katakan, “Kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”
Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari “persetujuan” dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang mejemuk.
Maka dari itu, setiap kali Pancasila disebut, setiap kali itu pula kita diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama, di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan.
Dalam kerangka mengupayakan titik-titik persetujuan itu, kita harus mengupayakan demokrasi yang tidak berhenti sekadar ritual perebutan kekuasaan lima tahunan dengan obsesi kemenangan sebatas mempecundangi lawan dalam kontestasi pemilihan umum. Kita harus mengembangkan demokrasi yang bisa memenangkan dan membahagiakan seluruh bangsa Indonesia, dengan meletakkannya dalam kerangka perwujudan cita-cita nasional: menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. [ ]
Tulisan ini dimuat pula dalam ‘Kasyaf’, Jurnal Populer Pemikiran Ekonomi Islam, Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNPAD, edisi Perdana, November 2019.