Site icon Jernih.co

Menyalakan Api Pancasila

Ilustrasi

Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi saat ini. Yang lebih buruk, pada titik genting krisis multidimensi ini, penyelenggara negara dan elit politik seakan kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Para pemimpin negara hidup dalam penjara narsisisme dengan lebih memedulikan manipulasi pencitraan ketimbang mengelola kenyataan.

Oleh   :  Yudi Latif

JERNIH– Memperingati momen kelahiran Pancasila seperti mengenakan baju kebesaran secara terbalik. Bangsa Indonesia boleh bangga memiliki konsepsi ideologi Pancasila dengan visi dan relevansi yang senantiasa aktual dengan perkembangan zaman.  Namun, operasionalisasi konsepsi Pancasila itu dalam penyelenggaraan negara, kian jauh panggang dari api.

Yudi Latif

Gerak politik kita ke masa depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Setiap saat, kapal republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya. Diskusi publik dilumpuhkan fiksi politik, perwakilan bermutu disisihkan keterpilihan semu, pemerintahan hukum dilumpuhkan personalisasi kekuasaan.

Usaha mengeluarkan bahtera republik dari situasi limbung harus dimulai dengan kejujuran. Kita tidak bisa menutup mata akan kebenaran dan kenyataan adanya berbagai krisis yang merongrong kehidupan bangsa. Kita tak bisa bersikap tenang-tenang saja, seolah keadaan bangsa ini baik-baik saja, tak ada masalah yang merisaukan.

Selain krisis perekonomian, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang ditengarai oleh Bung Karno pada 1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi pada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).

Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi saat ini. Yang lebih buruk, pada titik genting krisis multidimensi ini, penyelenggara negara dan elit politik seakan kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Para pemimpin negara hidup dalam penjara narsisisme dengan lebih memedulikan manipulasi pencitraan ketimbang mengelola kenyataan.

Peringatan hari lahir Pancasila semestinya tak berhenti sekadar menangkap abunya, tetapi harus bisa menggali dan menyalakan apinya.  Menghayati secara mendalam visi dan misi negara disertai komitmen bersama untuk menjadikan Pancasila sebagai “ideologi kerja” (bukan verbalisme “pepesan kosong”), yang dapat memformulasikan dan menggerakkan paradigma pembangunan di segala bidang dan lapis kehidupan. [  ]

Exit mobile version