Kini setidaknya ada empat masalah besar yang menghalangi kesejahteraan umum: kemiskinan, pengangguran, degradasi lingkungan dan bejibunnya utang luar negeri. Keempat masalah ini bisa diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo Subianto dengan menyantuni kecerdasan majemuk warga.
Oleh : Ana Nadhya Abrar*
JERNIH–Para guru di SD, SMP, SMA sudah lama memperjuangkan kecerdasan muridnya. Mereka mengeksplorasi kecerdasan khas yang dimiliki setiap murid. Bersamaan dengan itu, mereka bekerja keras menghilangkan hambatan lahirnya kecerdasan tersebut. Paling tidak untuk menjadikan muridnya bisa mengurusi diri mereka. Juga bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Para dosen di perguruan tinggi melanjutkan perjuangan para guru SD, SMP, dan SMA itu. Dengan cara yang berbeda tentu saja. Satu cara yang dipilih adalah konstruktivis. Mendorong mahasiswa membentuk pengetahuannya sendiri berdasarkan semua informasi yang diperoleh.
Kini warga memiliki kecerdasan. Ada kecerdasan bahasa, kecerdasan bahasa asing, kecerdasan matematis, kecerdasan arsitektur, kecerdasan lingkungan hidup, kecerdasan akuntansi, kecerdasan ruangan, kecerdasan budaya dan sebagainya. Hebatnya, ada warga yang memiliki lebih dari satu kecerdasan. Mereka disebut punya kecerdasan majemuk.
Semua kecerdasan majemuk itu hanya disantuni pemiliknya sendiri. Kalau dia seorang peneliti, dia bisa menghasilkan laporan penelitian yang bagus. Kalau dia seorang wartawan, dia bisa melahirkan laporan investigasi yang dalam. Kalau dia seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dia bisa merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat dalam jurnal bereputasi. Tegasnya, semuanya bisa menyelesaikan pekerjaannya sendiri.
Namun, hampir tidak ada pihak lain yang menyantuni kecerdasan majemuk itu. Hasil kerjanya dianggap biasa-biasa saja. Lumrah. Kasihan!
Kalau Indonesia memang negara demokratis, ia mesti menyantuni semua kecerdasan majemuk itu. Untuk apa? Paling tidak untuk memajukan kesejahteraan umum. Salah satu dari empat tujuan negara Indonesia.
Kini, setidaknya ada empat masalah besar yang menghalangi kesejahteraan umum: kemiskinan, pengangguran, degradasi lingkungan dan bejibunnya utang luar negeri. Keempat masalah ini bisa diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo Subianto. Dengan menyantuni kecerdasan majemuk warga.
Bagaimana caranya? Pertama, mengidentifikasi hasil kecerdasan majemuk setiap warga dalam bentuk dokumen. Kedua, memilih hasil yang potensial dilaksanakan. Ketiga, menulis ulang hasil itu menjadi rekomendasi kebijakan untuk pengambil keputusan (policy brief). Keempat, menyerahkan policy brief kepada setiap kementerian. Keenam, meminta menteri memilih alternatif yang pas buat dirinya.
Siapa yang melakukannya? Tentu saja pegawai setiap kementerian yang ada di pemerintahan Prabowo Subianto. Persisnya, mereka yang selama ini lebih banyak berhadapan dengan wartawan dan kementerian lain. Mereka sudah terbiasa dengan “urusan” luar.
Sebenarnya tidak sulit menemukan hasil kecerdasan manjemuk warga. Tentang tema yang berkaitan dengan kondisi terbaru masyarakat Papua misalnya. Ada laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berjudul “Reportase Tanah Papua: Konflik, Ketimpangan dan Harapan”. Buku ini memuat apa yang dirasakan, dialami dan dibayangkan oleh masyarakat Papua tentang pelaksanaan reforma agraria di Papua.
Tentang dampak negatif tambang nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Halmahera, ada laporan Jaringan Tambang (Jatam) mengenai operasi penambangan dan pegolahan nikel di sana. Laporannya lengkap. Menunjukkan penambangan besar-besar hanya bermanfaat untuk pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sementara kualitas kehidupan masyarakat di sekitar lokasi tambang semakin turun.
Kalau ingin mencari hasil penelitian tentang berbagai aspek kehidupan manusia, tinggal kunjungi perguruan tinggi. Pada 2024, google.com mencatat Indonesia memiliki 4.456 perguruan tinggi (PT). Jumlah PT negeri mencapai 125. Kalau dalam setahun setiap PT menghasilkan 10 laporan penelitian, berarti jumlah laporan penelitian per tahun mencapai 44.560 laporan. Jumlah yang sangat banyak. Temanya sangat bervariasi.
Di zaman yang penuh gejolak disrupsi dan turbulensi ini, setiap kementerian mesti bersinergi dengan pihak lain. Tidak bisa mengandalkan kemampuan sendiri. Setiap masalah punya beberapa faset. Tidak semua orang di kementerian memahami setiap faset yang ada.
Maka menyantuni kecerdasan majemuk menjadi sebuah keniscayaan. Egoisme tentang “saya paling hebat” harus ditinggalkan. Kebanggaan pada “kementerian saya yang paling mengerti” harus dilupakan.
Keduanya diganti dengan sikap bersinergi dengan warga. Orientasi kerja menjadi memenuhi kebutuhan rakyat secara bersama-sama, bukan menjadikan “kementerian saya sebagai kementerian yang super”.[ ]
*Guru besar ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada