Jernih.co

Menyelamatkan Hati

Para ulama shalafush shalihin, mengatakan,  walaupun ukuran hati, amat  kecil dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain, namun menjadi penentu baik buruknya perangai setiap manusia.  Hati adalah malikul a’dhaa (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan lain adalah rakyatnya.

Oleh    :  H.Usep Romli H.M.

Salah satu unsur dalam menambah pahala puasa, adalah menjaga mulut dari ucapan buruk, menjaga mata dari pandangan maksiat, menjaga telinga dari pendengaran tak benar. Pusat komando anggota tubuh itu, berada dalam hati.

Usep Romli HM

Organ tubuh bernama hati menjadi penentu penting kehidupan manusia. Nabi Muhammad Saw, bersabda : “Ingatlah ,di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati. ” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Nilai baik amalan badan seseorang, disertai  kemampuannya untuk menjauhi keharaman, dan meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya (syubhat), semua tergantung pada baiknya hati.  Para ulama shalafush shalihin, mengatakan,  walaupun ukuran hati, amat  kecil dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain, namun menjadi penentu baik buruknya perangai setiap manusia.  Hati adalah malikul a’dhaa (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan lain adalah rakyatnya.

Hadis Rasulullah Saw di atas menjadi dalil, hati adalah pusat akal, pikiran, dan kemampuan. Bukan pada otak seperti yang disangkakan kebanyakan pendapat. Demikian disimpulkan oleh  Imam Yahya an Nawawi rahimahullah.

Banyak rumusan mengenai hati yang baik. Namun intisarinya adalah rasa takut (takwa) kepada Allah SWT. Setiap langkah dimulai dengan niat ikhlas karena Allah. Semata-mata untuk  mendekat (taqarrub kepada Allah.Juga  meninggalkan maksiat,  semata untuk mencari ridha Allah,serta membesarkan cinta kepadaNya. 

Meminjam istilah  Syaikh Shalih Al Fauzan , dalam ‘Syarah Arba’in’ :“Baiknya hati adalah dengan takut pada Allah, rasa khawatir pada siksa-Nya, bertakwa dan mencintai-Nya. Jika hati itu rusak, yaitu tidak ada rasa takut pada Allah, tidak khawatir akan siksa-Nya, dan tidak mencintai-Nya, maka seluruh badan akan ikut rusak. Karena hati yang memegang kendali seluruh jasad. Jika pemegang kendali ini baik, maka baiklah yang dikendalikan. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh yang dikendalikan. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah meminta pada Allah agar dikaruniakan hati yang baik. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh urusannya. Sebaliknya, jika rusak, maka tidak baik pula urusannya.”

Nabi Saw, selalu meminta dalam do’anya, agar hatinya terus dijaga dalam kebaikan : “Ya Muqallibal qulub, tsabit qalbi ala dinika wa tha’atika.” (Wahai Maha Pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku dalam agamaMu dan ketaatan kepadaMu).”

Nabi Saw juga menyatakan :  “Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (riwayat Imam. Ahmad).

Al Quran, banyak mengungkapkan gelar-gelar indah terhadap hati yang  baik. Antara lain Q.S.Asy Syu’ara, menyebut “salim” (selamat), S.Qaff 33, menyebut “munib” (kembali), S.al Hajj : 54 menyebut “muhbit” (merendah), Al Mu’minun : 60, menyebut “wajal” (bergetar), Al Hajj : 32 “taqiy” (takwa), Taghabun : 11 “mahdiy” (petunjuk), Ar Ra’du : 28) “hayyu” (hidup).

Al Quran juga menyebut nama-nama untuk hati yang buruk. Antara lain “marid” untuk hati yang sakit (Al Ahzab : 32), dan “a’ma” untuk hati yang buta (Al Hajj : 46). 

Hal-hal yang menimbulkan kerusakan pada hati, menurut Syaikh Shalih Al Fauzan, antara lain, akibat terjerumus dalam  perkara syubhat,  maksiat dan  memakan benda haram, baik haram dzatiyah (haram zatnya, seperti daging babi, darah, bangkai, sesajen, minuman beralkohol, dsb), maupun haram afaliyah. Bendanya halal, namun diperoleh secara haram. Seperti  korupsi, berjudi, berzinah, jual beli minuman keras, menipu, merampok, dsb

Bahkan seluruh maksiat bisa merusak hati, walaupun hanya sekedar  memandang atau mendengar . Imam Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Aku tidak memandang dengan mataku, tidak mengucap dengan lisanku,  tidak menyentuh dengan tanganku, dan tidak bangkit untuk melangkahkan kakiku, sebelum aku meyakini, apakah sesuatu itu mengandung ketaatan kepada Allah, atau kemaksiatan kepadaNya. Jika dalam ketaatan, barulah aku mulai bergerak. Jika dalam maksiat, aku menolak.”

Ya muqollibal quluub, tsabbit quluubana ‘ala dinika wa  tha’atik .Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami dalam agamaMu dan ketaatan kepadaMu. [ ]

Exit mobile version