Jernih.co

Menyelami “Mens Rea” Polisi

Namun pertanyaan yang kini mengemuka dalam kasus-kasus yang berkembang di ruang publik di Indonesia adalah: bagaimana jika mens rea itu justru melekat pada aparat penegak hukum? Apa yang terjadi ketika polisi yang seharusnya menjernihkan persoalan malah menjadi sumber kegelapan? Di Indonesia, dua kasus yang belakangan mengemuka—kasus RRT (pencarian kebenaran tentang keaslian ijazah presiden) dan kasus Ira Puspadewi dalam akuisisi perusahaan kapal ASDP—memunculkan kecurigaan publik bahwa niat jahat tidak lagi hanya muncul dari para kriminal, tetapi juga dari mekanisme penyidikan itu sendiri.

Oleh     : Radhar Tribaskoro*

JERNIH– Dalam ilmu hukum pidana, mens rea berarti guilty mind, keadaan batin yang menyertai sebuah tindakan sehingga tindakan itu dapat dinilai sebagai kejahatan. Setiap perbuatan pidana umumnya dibangun dari dua unsur utama: actus reus, yakni perbuatan itu sendiri; dan mens rea, yakni niat atau sikap batin yang menyertainya. Tanpa mens rea, sebuah tindakan yang tampak melanggar hukum dapat berubah menjadi kesalahan administratif, kelalaian, atau bahkan bukan kesalahan sama sekali.

Pemahaman tentang mens rea biasanya diterapkan kepada pelaku kejahatan—koruptor, penipu, pembunuh, dan sejenisnya. Namun pertanyaan yang kini mengemuka dalam kasus-kasus yang berkembang di ruang publik di Indonesia adalah: bagaimana jika mens rea itu justru melekat pada aparat penegak hukum? Apa yang terjadi ketika polisi yang seharusnya menjernihkan persoalan malah menjadi sumber kegelapan? Dan bagaimana publik, yang awam terhadap teknis penyidikan, dapat mengenali tanda-tanda mens rea penyidik?

                                             ***

Dalam kerangka teori hukum klasik, terdapat pandangan yang sangat terkenal dari Louis Brandeis, Hakim Agung Amerika Serikat, bahwa “the government is the potent, the omnipresent teacher.” Bila pemerintah (dan aparatnya) bersikap adil, masyarakat belajar tentang keadilan. Tetapi bila pemerintah bertindak curang, rakyat belajar bahwa hukum adalah permainan kekuasaan. Pandangan ini membuka ruang bahwa mens rea bukan sekadar persoalan pribadi, tetapi juga persoalan institusional.

Di Indonesia, dua kasus yang belakangan mengemuka—kasus RRT (pencarian kebenaran tentang keaslian ijazah presiden) dan kasus Ira Puspadewi dalam akuisisi perusahaan kapal ASDP—memunculkan kecurigaan publik bahwa niat jahat tidak lagi hanya muncul dari para kriminal, tetapi juga dari mekanisme penyidikan itu sendiri. Bukan dalam bentuk kasar seperti pemerasan atau kekerasan, tetapi dalam bentuk yang lebih subtil: rekayasa bukti, keberpihakan terhadap narasi kekuasaan, dan pengabaian fakta yang tidak sesuai dengan skenario penuntutan.

                                             ***

Mens rea polisi sulit dideteksi, karena penyidikan berada di balik pintu tertutup. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Meski tidak ada literatur hukum Indonesia yang secara eksplisit membahas “mens rea penyidik,” beberapa pemikir hukum, termasuk Jerome Skolnick dalam “Justice Without Trial”, mengingatkan bahwa police discretion adalah ruang abu-abu yang memungkinkan “motivated errors”—kesalahan yang bukan kelalaian, tetapi hasil dorongan internal atau eksternal yang merusak objektivitas. Ini yang disebut Skolnick sebagai working personality: budaya kerja yang didorong oleh tekanan institusional dan kepentingan kekuasaan, yang sering menghasilkan tindakan yang tidak lagi murni legal.

Dari sinilah kita dapat menurunkan pemahaman bahwa mens rea penyidik dapat hadir dalam bentuk niat untuk:

1. memutarbalikkan alur bukti,

2. mengabaikan saksi yang tidak sesuai dengan tujuan penyidikan,

3. memaksakan interpretasi hukum untuk melayani narasi tertentu,

4. menjadikan penyidikan sebagai alat politik, bukan alat kebenaran.

Semua elemen itu tampak dalam berbagai kasus yang kini dipersoalkan publik.

                                             ***

Kasus RRT memperlihatkan sebuah paradoks moral. Publik melihat bahwa orang-orang yang mempertanyakan keaslian ijazah presiden—yang merupakan bagian dari hak sipil untuk memperoleh kebenaran tentang identitas pemimpinnya—justru dijadikan tersangka oleh polisi. Sementara inti persoalannya, yakni apakah ijazah itu asli atau tidak, tidak pernah dibuka secara transparan di pengadilan.

Pertanyaan sederhana timbul: bagaimana mungkin seseorang dituduh memfitnah tanpa terlebih dahulu membuktikan apakah yang dipersoalkan itu benar atau tidak? Bagaimana mungkin sebuah negara menjerat warganya karena mempertanyakan dokumen publik pejabat publik, padahal pembuktian keaslian dokumen itu tidak boleh didasarkan semata pada klaim sepihak lembaga penerbit atau keterangan polisi? Dalam konteks pembuktian, bukti dokumen harus diajukan di pengadilan agar masyarakat mengetahui dengan jernih apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika polisi menahan orang-orang yang mempertanyakan kebenaran, tetapi tidak menuntaskan pembuktian substansi persoalannya, publik melihat ada pola pikir yang cacat. Di sinilah bayangan mens rea itu muncul: sebuah niat untuk menutup penyelidikan terhadap isu substantif, sekaligus memukul pihak-pihak yang berusaha membukanya. Ada tujuan yang tersembunyi, bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk menghentikan percakapan publik dengan cara kriminalisasi.

                                             ***

Kasus Ira Puspadewi bahkan lebih mengkhawatirkan, karena menyentuh jantung integritas penyidikan ekonomi. Ira divonis empat tahun penjara karena sebagai direksi melakukan akuisisi perusahaan kapal yang menurut jaksa dan polisi “terlalu mahal.” Argumen polisi bertumpu pada seorang saksi yang menilai seluruh kapal operasional ASDP itu hanya bernilai scrap, besi tua. Padahal kapal-kapal itu, sekalipun tua, tetap beroperasi dan memberi keuntungan yang melebihi harga akuisisi itu sendiri.

Di sini publik bertanya: bagaimana mungkin nilai akuisisi sebuah perusahaan ditentukan berdasarkan nilai scrap, bukan nilai operasional? Bagaimana mungkin penyidik mengabaikan pendapat para ahli yang menilai akuisisi itu legal dan menguntungkan? Dan mengapa hanya satu narasi saksi yang dipakai, sementara saksi lain—yang lebih profesional dan relevan—diabaikan?

Dalam teori hukum, ini disebut selective evidence bias, kondisi ketika penyidik dengan sadar memilih bukti yang mendukung narasi yang ingin dibangun. Di titik ini, mens rea polisi tampak bukan sebagai ilusi, tetapi gejala institusional. Ada kehendak untuk menafsirkan data dengan cara yang merugikan seorang tersangka, meskipun fakta objektif menunjukkan hal sebaliknya. Tujuannya bisa macam-macam: kepentingan politik, kepentingan struktural, dendam birokrasi, atau sekadar kesetiaan pada narasi atasan.

                                             ***

Mendeteksi mens rea polisi bukan tugas yang mudah. Tetapi ada beberapa indikator yang dapat dijadikan pegangan publik dalam mencium adanya niat jahat penyidik.

Pertama, ketika proses hukum tampak berjalan terbalik. Dalam kasus RRT, bukannya kebenaran yang diperiksa, justru para pencari kebenaran yang dikejar. Ketika logika hukum terbalik, mens rea polisi patut dipertanyakan.

Kedua, ketika penyidik menolak atau mengabaikan saksi ahli yang kredibel, dan hanya mengangkat satu saksi yang mendukung skenario penuntutan. Dalam kasus Ira, ini terlihat jelas. Rekayasa bukti sering dimulai dari pemilihan saksi yang “tepat”—bukan yang benar.

Ketiga, ketika penyidikan berlangsung dalam gelap tanpa kejelasan metodologi. Mens rea penyidik sering bersembunyi dalam ruang-ruang tanpa akuntabilitas. Ketiadaan keterbukaan adalah alarm dini.

Keempat, ketika polisi memakai pasal-pasal yang elastis (pencemaran nama baik, fitnah, pelanggaran ITE) untuk menekan kritik, bukan untuk menjaga ketertiban. Ini adalah gejala mens rea struktural: penyalahgunaan kekuasaan melalui norma yang kabur.

Kelima, ketika waktu, kecepatan, dan prioritas penyidikan tidak proporsional. Mengapa kasus tertentu sangat cepat diusut, sementara kasus lain dibiarkan tenggelam? Ketidakwajaran ritme adalah tanda adanya kehendak tersembunyi.

                                             ***

Jika mens rea polisi adalah persoalan, apa yang bisa dilakukan? Jawabannya bukan hanya reformasi prosedur, tetapi juga reformasi budaya. Ini memerlukan depolitisasi penyidikan, pemisahan forensik dari penyidik, audit independen terhadap setiap proses yang dianggap janggal, serta penerapan standar pembuktian yang setara untuk kedua belah pihak. Tetapi lebih dari itu, publik harus sadar bahwa hukum bukan sesuatu yang bekerja otomatis. Ia adalah kerja manusia. Dan manusia membawa niat—baik atau jahat—ke dalam setiap tindakan mereka.

Publik harus melatih kepekaan itu. Sebab demokrasi hanya bertahan bila masyarakat tidak pasrah pada aparatus negara. Mens rea polisi bukan sekadar soal legal, tetapi soal kepercayaan. Begitu publik kehilangan kepercayaan kepada penyidik, negara kehilangan fondasi moralnya. Bukan karena hukum hilang, tetapi karena hukum berubah menjadi instrumen kekuasaan, bukan instrumen kebenaran.

Di momen itulah, kita harus berani bertanya: apakah yang bekerja adalah hukum, ataukah hanya bayang-bayang hukum yang digerakkan oleh tangan yang tidak lagi bersih? [ ]

Cimahi, 24 November 2025

*Ketua Komite Pengkajian Ilmiah Forum Tanah Air (FTA); Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)

Exit mobile version