Khotib yang faham dengan fenomena ini akan mengakhiri khutbah Jumat nya dengan do’a “Allohummaghfir lil muslimina wal muslimat wal mu’minina wal mu’minat al ahyaai minhum wal amwat ….” Untuk mendoakan ruh kaum Muslimin dan Muslimat yang berjejal di pintu masjid di hari Jumat.
Oleh : Ismail Solihin
Sebelum Islam datang, penamaan hari oleh bangsa Romawi masih sangat kental dengan tradisi penyembahan. Sisa-sisa penyembahan itu masih terasa pada nama beberapa hari di dalam Bahasa Inggris. Katakanlah nama Saturday yang dulunya didedikasikan untuk menyembah Dewa Saturnus. Demikian halnya hari minggu (Sunday), hari yang semula didedikasikan untuk menyembah Dewa Matahari dalam mitologi Yunani.
Sesudah Islam datang, nama-nama hari pun mengalami demitologisasi dan berubah menjadi bilangan saja. Maka muncullah penamaan hari berdasarkan bilangan sebagaimana kita kenal hari ini. Ada nama Ahad (hari pertama), Senin (hari kedua), Selasa (hari ketiga), Rabu (hari keempat), Kamis (hari ke lima) dan Sabtu (hari ke tujuh). Penamaan hari yang tidak menggunakan bilangan hanya terjadi pada hari keenam yang dinamakan hari Jumat (hari untuk berkumpul).
Hari Jumat dinamakan sayyidul ayyam (penghulunya hari hari) karena berbagai keistimewaan yang melekat pada hari tersebut. Pertama, pada hari Jumat, ummat Islam diwajibkan melaksanakan shalat Jumat. Syariat shalat Jumat mulai ditetapkan di Madinah setelah Hijrah.
Pada awal pelaksanaan shalat Jumat sempat terjadi kehebohan karena sebagian ummat Islam saat itu belum memahami aturan shalat Jumat. Mereka sempat meninggalkan Rasulullah tatkala beliau sedang berkhutbah hanya untuk memburu dagangan yang dibawa oleh para pedagang yang melintasi wilayah masjid. Saat itu yang disebut masjid belum memiliki dinding, sehingga jamaah di dalam masjid leluasa pergi ke luar masjid. Seiring waktu, pelaksanaan shalat Jumat semakin tertib sejalan dengan tuntunan Rasulullah mengenai tata caranya.
Kedua, hari Jumat merupakan hari berkumpulnya ruh orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup. Sehingga sebaik baik ziarah kubur adalah pada hari Jumat, di mana kita bisa bermuwajahah (bertemu muka) dengan orang yang sudah meninggal dan mereka mendengarkan ucapan kita loud and clear.
Perhatikanlah mengapa di Istana Maimun, Masjid Demak, serta di berbagai wilayah lainnya di Indonesia, para ulama dimakamkan di sekitar masjid agar memudahkan orang berziarah dan mendoakan mereka terutama di hari Jumat. Khotib yang faham dengan fenomena ini akan mengakhiri khutbah Jumat nya dengan do’a “Allohummaghfir lil muslimina wal muslimat wal mu’minina wal mu’minat al ahyaai minhum wal amwat ….” Untuk mendoakan ruh kaum Muslimin dan Muslimat yang berjejal di pintu masjid di hari Jumat.
Ketiga, hari Jumat pada awalnya dirancang untuk dijadikan sebagai sarana musyawarah ummat Islam yang bertujuan untuk mencari solusi bagi kemaslahatan ummat. Pada saat itu kaum Muhajirin hijrah dari Mekah ke Madinah hanya membawa harta alakadarnya, sehingga banyak diantara mereka menjadi miskin setibanya di Madinah.
Saat itulah Rasulullah Muhammad SAW menggunakan momen Jumat untuk mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar seraya membagi harta yang diberikan oleh kaum Anshar kepada Muhajirin dengan adil sehingga kaum Muhajirin bisa dijaga kehormatannya.
Saat ini shalat Jumat nampaknya mulai kehilangan ruhnya. Usai shalat Jumat tidak lagi dijadikan sebagai sarana bermusyawarah untuk mencari solusi bagi permasalahan ummat. Saat ini, Jumat hanya menjadi waktu untuk melaksanakan ritual shalat Jumat oleh orang-orang yang asing satu sama lain, dan bubar begitu saja setelah shalat Jumat selesai.
Mudah-mudahan masih ada spirit Jumat pada diri ummat Islam untuk berkumpul dan bermusyawarah mencari solusi bagi kemaslahatan ummat, meskipun musyawarahnya tidak dilakukan pada hari Jumat. [ ]
Sukapada, 8 Juli 2020