Sayang sekali, kebanggaan seperti itu kini semakin langka dan malahan seolah wishful thinking yang mustahil diraih lagi. Bisa menyaksikan presiden Indonesia berorasi gagah di forum resmi PBB itu sepertinya kian jadi harapan yang menggantang asap, atau malah mungkin impian yang musykil terealisasi. Sebabnya sederhana saja: bagaimana mau berorasi di mimbar paling bergengsi di seantero bumi ini, bila menghadiri pertemuannya saja sudah seolah tak sudi?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Setelah protokol resmi Sidang Umum PBB menyilakannya naik podium, dengan langkah tegap penuh wibawa Presiden Republik Indonesia pun tiba di mimbar. Satu dua jenjang di bawahnya, ratusan pasang mata pemimpin dunia menyorot dan mengungkungnya, menunggu lisan pemimpin negara besar di Khatulistiwa itu berucap.
Lalu, usai menyingkirkan kertas berisikan naskah yang sedianya dibuat untuk membantu dirinya, Presiden RI memulai pidato yang akan terus dikenang dan tercatat kuat dalam sejarah dunia tersebut. “Membangun Dunia Kembali [To Build The World a New], begitu judul pidato Presiden Soekarno di muka Sidang Umum PBB ke-XV, 30 September 1960 itu. Dunia kemudian tahu besarnya dada Soekarno, luasnya pengetahuan dan kedalaman intelektualnya; sebagaimana kemudian dunia tercengang akan luasnya Indonesia dan kedalaman samuderanya.
“Camkanlah kata-kata saya,”seruSoekarno dari atas mimbar PBB itu. “Janganlah memperlakukan masalah-masalah yang akan Tuan-tuan perbincangkan sebagai masalah rutin. Bila diperlakukan demikian, organisasi ini, yang telah memberikan kita suatu harapan untuk masa depan, suatu kemungkinan baik akan adanya persesuaian internasional, mungkin akan pecah. Ia mungkin akan lenyap perlahan-lahan di bawah gelombang pertikaian, sebagimana dialami oleh organisasi yang digantikannya. Bila hal ini terjadi, maka ummat manusia sebagai keseluruhan akan menderita, dan suatu impian yang agung, suatu cita-cita yang agung, akan hancur! Ingatlah, bukanlah hanya kata-kata yang Tuan-tuan hadapi. Bukanlah pion-pion di atas papan catur yang Tuan-tuan hadapi. Yang Tuan-tuan hadapi adalah manusia, impian-impian manusia, cita-cita manusia dan hari-depan semua manusia!”
Amanat Soekarno itu, hingga kini tercatat sebagai salah satu pidato terbaik yang pernah dilontarkan di PBB, diulas dalam buku masyhur “Speeches that Changed the World”, yang diberi pengantar oleh sejarahwan kelas dunia, Simon Sebag Montefiore.
Sayang sekali, kebanggaan seperti itu kini semakin langka dan malahan seolah wishful thinking yang mustahil diraih lagi. Bisa menyaksikan presiden Indonesia berorasi gagah di forum resmi PBB itu sepertinya kian jadi harapan yang menggantang asap, atau malah mungkin impian yang musykil terealisasi. Sebabnya sederhana saja: bagaimana mau berorasi di mimbar paling bergengsi di seantero bumi ini, bila menghadiri pertemuannya saja sudah seolah tak sudi?
TEMPO edisi 12 September lalu mencatat, sejak menjabat pertama kali sebagai presiden republik ini, 2014, Jokowi sudah delapan kali absen, alias tidak pernah menghadiri secara tatap muka perundingan tingkat tinggi tersebut. Di periode pertamanya, selalu saja Jokowi melepas hak itu untuk digantikan wakilnya, Jusuf Kalla. Presiden selalu lebih memilih berada di dalam negeri, menjalankan tugas-tugas keseharian yang juga tidak selalu lebih penting dibanding acara tahunan itu. Bukankah acara itu memungkinkan beliau bertemu, bertukar gagasan dan ide, mengambil pemikiran dan langkah strategis yang menjadi pengalaman para pemimpin dunia lainnya, rekan-rekannya sesama pemimpin bangsa?
Benar, Jokowi pernah ikut dalam acara UNGA atau Sidang Umum PBB ini. Namun yang dihadirinya pada 2021 itu adalah pertemuan daring, manakala COVID-19 masih merajalela dan PBB pun melakukan UNGA dengan membawanya ke dunia maya saja karena keterbatasan dan kendala yang ada. Sementara, manakala dunia sudah melangkah ke kondisi akhir pandemi, UNGA pun sudah dilaksanakan secara tatap muka, justru Jokowi kembali ke kebiasaan asli: ogah datang dan menghadiri.
Padahal, hampir setiap pengamat politik internasional memandang UNGA ke-77, yang dibuka 13 September lalu merupakan momen sangat penting. Pertemuan itu menandai dibukanya kembali pertemuan secara tatap muka sejak pandemic COVID-19 merajalela pada awal 2020, yang masih berkecamuk bahkan di tahun berikutnya, 2021. UNGA ke-77 tahun ini adalah pertemuan pertama para pemimpin dunia setelah sekitar dua tahun dunia dibelit persoalan COVID-19!
Pada momen penting itu, gampang diprediksi bahwa para pemimpin dunia akan berebut hadir untuk berlomba mengambil kesempatan terbaik bertemu, berbagi ide, bertukar inovasi dan pengalaman berharga dengan sesama rekan pemimpin bangsa. Mereka bisa dikatakan adalah para pemimpin yang tak hanya menilai PBB merupakan badan internasional yang signifikan dan penting dalam menciptakan serta mempertahankan perdamaian dunia, melainkan wadah paling tepat untuk membicarakan masalah-masalah dunia. Dari 193 negara anggota PBB, 100 di antaranya menyatakan siap hadir, sebagaimana penegasan yang masing-masing negara lakukan kepada PBB.
Ahli politik internasional yang juga peneliti Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Fitriani, menilai mangkirnya Jokowi tahun ini membuat Indonesia kehilangan dua hal. Pertama, kata dia, dirinya kehilangan kesempatan untuk mengkomunikasikan bahwa Indonesia mampu menjadi pemimpin dunia karena memiliki pemimpin yang bervisi dan mumpuni. Yang kedua, kehilangan kesempatan membangun kedekatan dengan negara-negara lainnya yang berada dalam posisi yang sama dalam menghadapi kondisi dunia yang tidak menentu karena krisis alam, krisis pangan, pandemi, dan konflik saat ini.
“Siapa yang mengukur pentingnya representasi pemimpin negara untuk hadir? Kalau Presiden Joko Widodo tidak hadir, maka beliau mungkin berpandangan bahwa kehadiran pemimpin negara tidak penting dalam Sidang Umum PBB,” kata Fitriani, akademisi lulusan Cranfield University, Inggris Raya, itu.
Pernyataan Fitriani itu dikuatkan peneliti ahli dan pengamat hubungan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nanto Sriyanto. Nanto secara terbuka menyayangkan ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam UNGA PBB tahun ini. Padahal, kata Nanto, agenda yang akan dibawa Indonesia ke Sidang Majelis Umum PBB itu sangatlah strategis. “Secara teknis itu memang bisa disampaikan oleh Menteri Luar Negeri, namun bobotnya akan sangat lebih bila disampaikan langsung oleh Presiden,”kata Nanto.
Apalagi, kata dia, Sidang Majelis Umum PBB kali ini pun sejatinya semacam pemanasan menjelang forum G20 di Bali, November mendatang. Nanto mewanti-wanti, seorang pemimpin sebaiknya mengambil manfaat dari berbagai event internasional, tempat ia bisa menyampaikan ide-ide dan berkonsultasi dengan para pemimpin lain yang ada.
Sebagaimana diketahui secara luas, sebelumnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, mengatakan, ada lima misi Indonesia pada pelaksanaan Sidang Majelis Umum PBB ke-77. Poin pertama adalah soal “Presidensi Indonesia dalam pelaksanaan KTT G20 pada November 2022 di Bali”. Poin kedua penguatan multilateralisme; poin ketiga mendorong peran PBB dalam penyelesaian permasalahan global, serta dua poin lainnya.
Hal lain, pada UNGA itu pun dibahas apa yang selama ini kekuatan Indonesia. UNGA telah direncanakan membahas pengajuan Presiden Palestina, Mahmud Abbas, untuk mengajukan negaranya sebagai anggota penuh PBB. Sejak 2012, Palestina baru berstatus sebagai negara peninjau. Mengklaim sebagai negara terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, Indonesia via Jokowi mestinya berpidato di podium sidang Majelis Umum PBB, memberikan dukungan kuat terhadap proposal Abbas itu.
Ironisnya, jauh-jauh hari, saat berpidato di Sidang Tahunan MPR, 6 Agustus 2022, Presiden Jokowi mengklaim Indonesia berada di puncak kepemimpinan global dengan status sebagai presidensi G20 tahun ini serta ketua ASEAN pada 2023. Jokowi mengatakan, dengan posisi tersebut, Indonesia mempunyai kesempatan besar untuk membangun kerja sama internasional.
Dan di era post-truth saat ini, wajar bila respons yang datang pun tidak senantiasa konstruktif. Tak kurang juga kadang hanya untuk mengisi kebutuhan status media sosial para selebritas politik. Politisi Partai Demokrat, Yan A. Harahap, misalnya, tatkala merespons kondisi berulangnya keputusan Jokowi untuk absen dari UNGA itu.
“Mungkin beliau belum pede,”kata Yan lewat akun Twitter pribadinya, Selasa 13 September lalu. Ia juga menulis, bahwa untuk hadir dan berperan tentu diperlukan kesiapan. “Memang sepertinya diperlukan kesiapan fisik, mental dan intelektual yang mumpuni untuk dapat hadir physically di event sekelas Sidang Majelis Umum PBB ini,” tulis dia di akun Twitter-nya, Rabu (14/9) lalu.
Sebenarnya, kebiasaan absennya Presiden Jokowi itu bukan tidak dipermasalahkan. Pada 2019 lalu, anggota Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, mulai melontarkan kritik tajam soal ketidakhadiran berulang Presiden pada UNGA itu. “Harus involve,”kata Effendi. “Kalau hanya Retno Marsudi atau Pak Jusuf Kalla, emosinya kan berbeda.“
Effendi juga mengatakan, wis wayahe Presiden Jokowi berani berpidato di sidang umum PBB, khususnya soal posisi Indonesia di mata dunia internasional. “Berani dong bicara satu dua menit di General Assembly, di UN sana. Sebutkan posisi kita. Itu nggak bisa kita wakilkan (kepada) Menlu, harus Presiden. Presiden saya kira punya kemampuan, sebenarnya,”kata dia.
Di tahun yang sama, bahkan mitranya saat itu, Wapres Jusuf Kalla, pernah mempersoalkan hal tersebut. Saat itu Jusuf Kalla berharap Presiden Jokowi dapat menghadiri sendiri rangkaian Sidang Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2020. Alasannya, kehadiran seorang kepala negara menjadi penting dalam acara terbesar di kancah internasional itu. Sayang, badai pandemic COVID-19 mulai menggulung dunia, membuat perhelatan tersebut hanya dilakukan via alam maya.
“Saya harap Pak Jokowi nanti hadir. Itu penting, karena bagaimanapun Presiden dan Wapres kan berbeda, dia punya tingkatannya. Belum lagi para kepala negara lain menanyakan,”Mana Pak Joko? Jadi yang ditanya Pak Jokowi,” kata Wapres JK, usai menyampaikan pidato menggantikan Jokowi, Jumat (27/9/2019) waktu New York. “Sekali lagi, penting bagi suatu kepala negara hadir di sini.”
Sejatinya, seperti pernah ditulis TEMPO, alasan ketidakhadiran Jokowi juga tidak selalu terang benderang. Berbeda misalnya, dengan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, yang tahun ini absen dari UNGA. Kishida absen seiring Jepang dihantam Topan Nanmadol Senin (19/9) lalu, topan dahsyat yang datang sebagai serangan topan ke-14 tahun ini. Topan yang dianggap terbesar dalam beberapa tahun terakhir iti menewaskan sedikitnya dua warga Jepang.
“Saya menunda keberangkatan saya yang dijadwalkan hari ini untuk memeriksa kerusakan dan mengambil semua tindakan yang mungkin untuk pemulihan,”ujar Kishida kepada wartawan, Senin malam. PM Kishida saat itu menambahkan bahwa dia akan pergi pada Selasa pagi jika kondisinya memungkinkan.
Oh ya, ada juga perkembangn terakhir yang membuat seharusnya Jokowi menghadiri momen penting PBB itu, tahun depan. Pengamat komunikasi politik asal Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, meyakini Jokowi cocok untuk menjadi sekretaris jenderal PBB.
“Saya menawarkan kepada Bapak Presiden, dan dia punya potensi untuk itu, karena potensi Pak Jokowi itu Sekjen PBB. Itu posisi yang paling pas untuk dia daripada wakil presiden,” ujar Emrus.
Artinya, senyampang kesempatan ada, sebaiknya digunakan segera. Tidak hanya elok buat negara, kehadiran di dua tahun ke depan itu pun bisa menguatkan cum Presiden Jokowi untuk menjadi modal berlaga memperebutkan posisi sekjen PBB tersebut, bukan? [INILAH.com]