Ada keyakinan bahwa letusan Mahameru membawa pesan spiritual. Dalam beberapa tradisi, letusan dianggap sebagai peringatan alam terhadap perilaku manusia yang mulai melenceng dari harmoni. Sebagian lainnya mengaitkan letusan dengan peristiwa besar seperti perang atau bencana lain yang akan datang. Contohnya, sebelum Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada 1825-1830, letusan Gunung Merapi dan mewabahnya kolera dianggap sebagai pertanda besar dari perubahan zaman.
Oleh : Rd Muhammad Subarkah
JERNIH– Gunung Semeru, atau Mahameru bagi sebagian orang, dikenal sebagai salah satu simbol keagungan alam Indonesia. Meski saat ini gunung tertinggi di Pulau Jawa itu tidak sedang mengalami erupsi, sejarah panjang dan mitologi yang melekat padanya selalu menjadi daya tarik tersendiri. Dalam catatan sejarah, Mahameru bukan hanya sebuah gunung, tetapi juga simbol spiritual, budaya, dan sosial bagi masyarakat Jawa.
Gunung Semeru mulai tercatat dalam sejarah letusannya sejak 1818. Dari masa ke masa, aktivitas vulkaniknya telah menciptakan beragam cerita, mulai dari kehancuran hingga ketakjuban. Gunung ini, dengan ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut, menjadi gunung tertinggi keempat di Indonesia setelah Puncak Jaya, Kerinci, dan Rinjani. Aktivitas vulkanik Semeru telah menjadi pusat perhatian ilmuwan dan masyarakat lokal, mengingat letusannya sering kali membawa dampak besar bagi kehidupan sekitar.
Dalam mitologi Jawa, Mahameru dianggap sebagai gunung suci. Nama “Mahameru” sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno: “Maha” yang berarti besar atau agung, dan “Meru” yang berarti puncak. Dalam ajaran Hindu, Gunung Meru dianggap sebagai pusat kosmos, dan Mahameru diyakini sebagai replikanya di bumi. Tak heran jika sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha, gunung ini memiliki tempat khusus dalam kepercayaan masyarakat. Mahameru sering disandingkan dengan Gunung Himalaya di India, sebagai tempat para dewa atau moksa para satria Pandawa dalam kisah “Mahabharata”.
Mahameru dalam Tradisi dan Seni
Keindahan Mahameru tak hanya memikat secara spiritual tetapi juga artistik. Gunung ini kerap menjadi inspirasi dalam berbagai karya seni. Dari lukisan klasik hingga lagu-lagu modern, Semeru seolah menjadi metafora keagungan dan ketenangan. Lagu “Ranu Pane” dari Gombloh dan “Mahameru” dari Dewa 19, yang dinyanyikan Ari Lasso, adalah sebagian kecil dari wujud kekaguman terhadap gunung ini.
Namun, tak hanya soal keindahan, masyarakat Jawa juga mengenal Mahameru sebagai simbol perubahan besar. Dalam wayang kulit, istilah “goro-goro” menggambarkan babak penuh kekacauan yang kemudian melahirkan tatanan baru. Fenomena alam seperti letusan gunung dianggap sebagai “pesan” dari alam yang sering kali dihubungkan dengan perubahan besar, baik dalam skala lokal maupun nasional. Goro-goro ini, menurut pandangan tradisional, adalah proses alami yang menandai berakhirnya sebuah zaman dan dimulainya era baru.
Cerita Rakyat dan Mitologi Mahameru
Cerita rakyat tentang Mahameru menjadi warisan turun-temurun yang memperkaya khazanah budaya Jawa. Salah satu kisah yang terkenal adalah legenda Empu Barada, seorang tokoh suci dalam ajaran Hindu yang dipercaya membagi kerajaan Prabu Airlangga menjadi dua wilayah: Janggala dan Kediri. Dengan kendi berisi air suci, Empu Barada terbang di atas Mahameru, dan air yang tertumpah berubah menjadi Sungai Brantas, pembatas alami kedua kerajaan tersebut. Kisah ini tidak hanya memperkuat kedudukan Mahameru sebagai simbol suci tetapi juga sebagai pusat transformasi politik dan geografis.
Masyarakat setempat juga memiliki keyakinan bahwa letusan Mahameru membawa pesan spiritual. Dalam beberapa tradisi, letusan dianggap sebagai peringatan alam terhadap perilaku manusia yang mulai melenceng dari harmoni. Sebagian lainnya mengaitkan letusan dengan peristiwa besar seperti perang atau bencana lain yang akan datang. Contohnya, sebelum Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada 1825-1830, letusan Gunung Merapi dan mewabahnya kolera dianggap sebagai pertanda besar dari perubahan zaman.
Cerita rakyat tentang letusan Mahameru menjadi warisan turun-temurun. Salah satu cerita berasal dari tahun 1955, ketika abu vulkanik dari letusan Mahameru membuat langit di kampung-kampung Jawa Tengah gelap gulita. Dalam suasana mencekam, mitos tentang kiamat sempat muncul di benak masyarakat. Namun, kearifan lokal hadir untuk menenangkan. “Kalau ada hujan abu berarti ada gunung ‘mbledos’ (meletus),” ujar seorang sesepuh kala itu, mengingatkan bahwa fenomena ini bagian dari siklus alam.
Di sisi lain, pengetahuan ilmiah telah membantu masyarakat memahami fenomena vulkanik dengan lebih rasional. Saat ini, teknologi pemantauan gunung berapi seperti seismograf dan drone telah memungkinkan peringatan dini, sehingga masyarakat dapat mengantisipasi dampak letusan dengan lebih baik. Namun, hal ini tidak mengurangi daya tarik mistis dari Mahameru di mata masyarakat lokal.
Mahameru dan Pandemi: Refleksi Zaman Modern
Meskipun Mahameru saat ini tidak meletus, mitos yang menghubungkan letusan gunung dengan tanda-tanda perubahan besar tetap relevan untuk direnungkan. Pandemi Covid-19 yang telah melanda dunia menjadi pengingat akan betapa rapuhnya manusia di hadapan alam. Seperti letusan gunung yang membawa dampak tak terduga, pandemi juga telah mengubah tatanan kehidupan global.
Namun, alih-alih melihat fenomena alam atau bencana sebagai pertanda buruk, mungkin inilah saatnya untuk mengambil pelajaran darinya. Mahameru mengajarkan bahwa di balik kekacauan selalu ada peluang untuk menciptakan harmoni baru. Seperti dalam kisah goro-goro, setelah kekacauan datanglah keseimbangan.
Mahameru bukan sekadar gunung. Ia adalah simbol kebesaran alam, keindahan seni, dan kearifan lokal. Dalam ketenangannya saat ini, Mahameru mengajak kita untuk merenung: apakah kita siap menghadapi perubahan besar yang mungkin datang, bukan karena letusan gunung, tetapi dari pilihan kita sendiri dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam?
Marilah kita melihat Mahameru sebagai pengingat, bahwa dalam setiap fase kehidupan, ada peluang untuk menemukan kedamaian dan harmoni baru. Tak perlu menunggu goro-goro untuk mulai berubah menjadi lebih baik. Seperti Mahameru yang berdiri tegak meski di tengah perubahan zaman, manusia pun dapat belajar untuk tetap kokoh menghadapi tantangan. [ ]
*Penyair nasional, jurnalis senior dan peminat mistik Jawa