Dalam perspektif sejarah, Indonesia didirikan oleh kekuatan Islam. Sehingga kontribusi tersebut, berbarengan dengan kontribusi perjuangan kaum nasionalis, menunjukkan hak historis Islam dalam menjunjung falsafah negara Pancasila. Islam dalam hal tersebut juga harus dimaknai sebagai jati diri bangsa. Artinya ajaran atau nilai-nilai Islam tidak dapat dipisahkan dari Pancasila, ketika falsafah bangsa itu digali secara historis oleh founding fathers kita.
Oleh : Syahganda Nainggolan*
JERNIH–Buku berjudul “Moderasi Keindonesiaan dalam Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Kritis Pemikiran Haedar Nashir” diberikan penulisnya, Muhammad Akmal Ahsan, ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Yogyakarta pada saya sudah enam bulan lalu. Buku ini, terbitan Suara Muhammadiyah, 2023, sangat penting untuk dibaca.
Sebab buku ini merupakan riset untuk keperluan tesis penulisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan menyangkut pikiran tokoh Islam utama di Indonesia, Haedar Nashir, ketua umum Muhammadiyah, sehingga mempunyai bobot akademis yang tinggi. Saya baru bisa memberikan komentar atau resensi dan kritik saat ini, karena baru ada waktu luang membaca buku yang berat ini.
1. Islam dan Muhammadiyah
Moderasi Islam, menurut Haedar Nashir, adalah sebuah upaya menempatkan “positioning” Islam dalam konteks kemajemukan bangsa Indonesia. Sebagai ideologi, Islam harus menjadi jati diri bangsa sekaligus memberi arah kemajuan. Namun, Muhammadiyah, melihat nilai-nilai keindonesiaan yang bersifat historis, faktual dan sosiologis merupakan nilai-nilai yang harus bersatu dengan nilai-nilai keislaman tersebut (h.37).
Nilai-nilai moderat dalam Muhammadiyah, menurut Haedar, berakar dari metode penafsiran sumber keislaman seperti Qur’an, Hadits dan ijtihad dengan pendekatan “bayani, burhani dan irfani“. Approaching ini memberikan peluang pada sinergi dengan ayat-ayat suci, akal dan pengalaman keilahian. Hal ini berbeda dengan kelompok Islam yang memaksakan penafsiran tunggal atas teks-teks Alquran dengan mengabaikan peranan akal atau ijtihad.
Amal sholeh merupakan bentuk praxis ideologi Muhammadiyah, di mana antara visi kemajuan diimplementasikan langsung kepada masyarakat luas. Sehingga Islam sebagai ajaran Rahmatan lil alamin terwujud.
2. Pancasila, Islam dan Keindonesiaan
Pemahaman Indonesia dan keindonesiaan dalam pandangan Haedar didekati dalam lima hal, yakni (1) perspektif sejarah, (2) kemajemukan bangsa, (3) karakteristik dan jati diri bangsa, (4) visi kebangsaan yang berkemajuan, (5) Membangun Indonesia dalam kerangka holistik, tidak sekedar fisik.
Dalam perspektif sejarah, Indonesia didirikan oleh kekuatan Islam. Sehingga kontribusi tersebut, berbarengan dengan kontribusi perjuangan kaum nasionalis, menunjukkan hak historis Islam dalam menjunjung falsafah negara Pancasila. Islam dalam hal tersebut juga harus dimaknai sebagai jati diri bangsa. Artinya ajaran atau nilai-nilai Islam tidak dapat dipisahkan dari Pancasila, ketika falsafah bangsa itu digali secara historis oleh founding fathers kita.
Haedar menjelaskan bahwa Muhammadiyah dan atau ummat Islam tidak dapat menegasi eksistensi Pancasila. Pancasila adalah ideologi bangsa.
3. Radikalisme
Radikalisme dalam pikiran Haedar Nashir harus ditempatkan secara tepat. Memang jelas ada ekstrimitas keagamaan yang berkembang dalam sebagian masyarakat dan dunia pendidikan. Namun, jikalau pendekatan multi-faktor diterapkan, maka radikalisme terjadi pada banyak aspek dan kelompok. Misalnya, radikalisme juga bisa ditemukan secara ekstrim pada kelompok liberal, yang ingin mengubah ideologi Pancasila menjadi liberal, maupun golongan ultra nasionalis yang memaksakan tafsir tunggal tentang keindonesiaan.
Radikalisme juga seringkali berhubungan dengan kegagalan bangsa kita dalam menerapkan sila-sila Pancasila secara utuh. Misalnya, ketimpangan sosial yang berlangsung terus menerus dan membiarkan segelintir orang menghisap sumberdaya alam secara rakus, akan berdampak pada rusaknya “social trust“, yang nantinya dapat juga menjadi “bara api” ekstremitas dalam masyarakat.
Penstigmaan radikalisme pada Islam dan orang-orang Islam adalah sebuah “misleading“. Radikalisme adalah persoalan non-sektarian. Moderasi keindonesiaan diperlukan kepada semua bentuk ekstrimitas. Jika stigmatisasi dipaksakan pada agama Islam, akan membuat kecurigaan ummat Islam bahwa ada upaya pengucilan terhadap Islam. Hal ini kontra produktif untuk membangun kebersamaan sebuah bangsa. Padahal, Indonesia dalam kemajemukannya membutuhkan manajemen persatuan bukan dominasi sebuah kelompok.
4. Pembangunan bersifat holistik
Pembangunan, menurut Haedar, harus holistik. Artinya, pembangunan itu bukan sekedar fisik melainkan pembangunan (karakter) manusia juga. Pembangunan fisik seringkali kelihatan megah namun sering kehilangan makna, seperti keserakahan manusia. Melalui pembangunan manusia, dengan menanamkan moral dan karakter, akan menciptakan manusia beriman dan sekaligus produktif.
Selain itu, pembangunan juga harus ditujukan kepada semua golongan dan lapisan masyarakat agar maknanya dapat dirasakan semua masyarakat.
5. Islam, Indonesia dan pendidikan
Pendidikan merupakan strategi kebudayaan, bukan sekedar perubahan kognitif. Selama ini, menurut Haedar, pendidikan telah menjadi sub-sistem kapitalisme. Dengan posisi itu, pendidikan akhirnya hanya alat untuk menghasilkan manusia-manusia yang melayani kepentingan pasar. Posisi ini membuat manusia kehilangan kemanusiaannya.
Untuk mengubah sistem pendidikan yang ada, negara harus memasukkan visi Iman dan Taqwa dalam pendidikan. Haedar mengkritik pemerintah yang menghilangkan aspek agama dalam Visi Pendidikan 2035. Seharusnya kita mencontoh keberhasilan barat yang bersandar pada etika Protestan, Cina bersandar pada Confusionisme, Jepang pada Tao dan Tokugawa, serta lainnya.
Selain itu, strategi kebudayaan juga dimaksudkan untuk membangun solidaritas sosial dan menjadikan pendidikan sebagai alat moderasi keindonesiaan.
Sedikit catatan kritis
Meskipun sedikit disinggung soal Islam Berkemajuan, sebagai paradigma Muhammadiyah, namun dalam buku ini tidak dikupas secara dalam perbedaan paradigma Islam Berkemajuan versus Islam Moderat, yang dipikirkan Haedar Nashir. Penekanan pada kosa kata moderasi menunjukkan pergeseran dari kosa kata berkemajuan, yang selama ini dikenal. Meskipun, boleh jadi prinsip-prinsip berkemajuan tetap tersampaikan dalam buku ini.
Hal lain adalah kosa kata moderasi sebagai upaya menggantikan diksi deradikalisasi dapat menjebak akan adanya penyebutan “Islam Moderat”, sebuah istilah yang menambah kebingungan atas diksi yang telah ada seperti ” Islam Liberal” dan “Islam Nusantara”. Mungkin, sebagai alat analisa hal tersebut dapat ditoleransi asalkan jangan menjadi label baru.
Demikianlah resensi buku ini. Semoga berkenan membeli buku tersebut. [ ]
*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle