Jernih.co

Napak Tilas “Prabu Siliwangi” di Hutan Sancang

“Maung Sancang” dianggap “maung kajajaden”. Harimau jadi-jadian. Tidak pernah muncul sembarang waktu. Namun dapat “dipanggil” melalui mediasi “kayu kaboa”. Sejenis kayu bakau yang banyak tumbuh di pantai Hutan Sancang

Oleh  : Usep Romli H.M.  

Hutan Sancang di Kec. Pameungpeuk. Kab.Garut, merupakan salah satu hutan legendaris di Tatar Sunda. Setara dengan Cikepuh, Kab.Sukabumi, dan Pangandaran, Kab.Ciamis. Bahkan mungkin dengan Ujungkulon, Kab.Lebak, Prov.Banten.

Usep Romli HM

Jika Ujungkulon berstatus Taman Nasional, karena dihuni badak cula satu, “Badak Sunda” (Rhinoecus sundaicus), hutan Sancang hanya setaraf suaka margasatwa. Hutan tutupan tempat perlindungan satwa langka. Di hutan seluas kurang lebih 3 ribu hektare itu, pernah hidup subur hewan jenis banteng. Juga jenis “Harimau Sunda” (Pantheratihgris sundaica), yang terkenal dengan sebutan “Maung Lodaya”.

Lebih dari itu, berdasarkan legenda dan mitos lokal, Hutan Sancang dihuni pula sejenis harimau yang merupakan penjelmaan dari balatentara Pajajaran. Menurut  catatan Panitia Tahun Buku Internasional 1972 Indonesia yang diselenggarakan UNESCO, Desember  1972,  berdasarkan ceritera rakyat (folklore) setempat, kawasan Sancang semula adalah kerajaan. Dipimpin oleh  Sang Raja Lewadewata, sahabat karib Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Ketika Pajajaran diserbu pasukan Kiansantang, Prabu Siliwangi, bersama ratusan pengikutnya,  lari ke Sancang. Di situ, bersama Lewadewata  “tilem” atau “ngahiang”. Lenyap tanpa bekas. Termasuk istana dan seluruh kawasan kerajaan berubah menjadi “leuweung ganggong simagonggong, leuweung si sumenem jati”. Hutan lebat, penuh tumbuhan raksasa, menjulang tinggi ke langit.

Setelah “ngahiang”, Prabu Siliwangi sesekali suka menampakkan diri. Tapi dalam bentuk seekor harimau putih. Ia suka ke luar dari persemayamannya di Guha Garogol, yang terletak di tengah-tengah Hutan Sancang. Naik ke puncak Karang Gajah yang terletak di sebelah timur muara Sungai Cipangisikan. Sebuah batu karang  tinggi besar dikelilingi ombak pantai selatan Lautan Hindia yang terkenal ganas dan garang.

Sedangkan para pengikutnya, suka menampakkan diri dalam bentuk “Maung Sancang”. Yaitu harimau belang memanjang. Berbeda dengan Maung Lodaya yang belangnya melingkar dari atas ke bawah.

“Maung Sancang” dianggap “maung kajajaden”. Harimau jadi-jadian. Tidak pernah muncul sembarang waktu. Namun dapat “dipanggil” melalui mediasi “kayu kaboa”. Sejenis kayu bakau yang banyak tumbuh di pantai Hutan Sancang. Terutama di muara Sungai Cipareang. Menurut kepercayaan, jika kayu kaboa dibakar, maka akan muncul harimau Sancang.   Keberadaan maung Sancang dan kepercayaan masyarakat terhadap “maung kajajaden” telah diteliti secara ilmiah oleh Dr.Robert  Wessing, sosiolog asal AS, dalam disertasinya berjudul “The Soul of Ambiguity : The Tiger in Shouteast Asia” (1986). Selama melakukan penelitian (1975-1978), Robert Wesssing tinggal di Bandung, dikenal dengan nama “Mang Obet”, dan akrab dengan beberapa seniman-budayawan Sunda yang membantu memberi data serta informasi tenang obyek yang ditelitinya.

Pemandangan pantai Hutan Sancang sangat indah. Sehingga dianggap sebagai obyek wisata unggulan di Kec.Pameungpeuk Garut, selain Pantai Santolo dan Sayangheulang. Apalagi sarana jalan ke situ, sudah cukup bagus. Terutama berkat adanya jalur lintas selatan yang menghubungkan kawasan selatan Kab.Cianjur-Garut-Tasikmalaya-Ciamis. Bahkan untuk pembangunan jalur lintas selatan tersebut, beberapa hektar Hutan Sancang terpaksa dikorbankan.

Akses kendaraan menuju Hutan Sancang, sekarang telah cukup mudah. Jarak 15 km dari kota Kec. Pameungpeuk, dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat, baik pribadi maupun angkutan umum hanya dalam hitungan menit. Areal wisata yang sudah tertata, terdapat di pesisir pantai Cijeruk. Selebihnya masih terhitung alami.

Berwisata ke Hutan Sancang, selain menikmati keindahan panorama, kekayaan flora (terutama aneka macam anggrek hutan) dan fauna(burung, kera, dan sekali-kali banteng atau harimau), juga menjelajah kekayaan legenda dan mitos turun temurun tentang hutan yang dikaitkan dengan Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran. Mungkin kurang meyakinkan dari sudut sejarah. Tapi cukup memperkaya pengetahuan tentang “local wisdom” yang mengandung “silib” (perumpamaan) dan “siloka” (perlambang). [  ]

Exit mobile version