Oleh : Atal Sembiring Depari*
Manakala Menko Polhukam Mahfud MD dengan ringan mengatakan salah ketik atas keganjilan pasal 170 RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang merupakan bagian dari Omnibus Law, sontak kita semua terhenyak. Ternyata, iklim yang menjadi atmosfer kekuasaan itu begitu kuat, sehingga figur terpuji pun tak jarang terhanyut dalam arus.
Bagi saya, ini bukan cerita tentang Pak Mahfud, atau Yasonna, atau Pak Wiranto, untuk sekadar menyebut beberapa nama yang pernah terseleo lidah, berkata seolah asal indera bicara terbuka. Tampaknya, ini telah menjadi bagian dari adat kekuasaan di negara kita. Alhasil, bila kita kurang-kurangnya bijak merespons, akan segera benak kita berpikir seolah banyak di antara pejabat kita yang lisannya belum cukup masa belajar. Seolah-olah benak mereka pun kurang padat dengan hikmah dan pelajaran.
Padahal tentu saja tidak. Bagaimana pun para selected few—meminjam istilah Arnold Toynbee, jumlah di bawah 100 orang terpilih dari 250 juta rakyat Indonesia, tentu memiliki kualifikasi tinggi, yang bagi rata-rata anak negeri kualitas itu masih sekadar mimpi.
Padahal, bila melihat jumlah gawalnya lidah dengan sekian banyak hikmah yang terucapkan, para pejabat kita pun pastinya tahu pasti hikmah yang dinyatakan sahabat Nabi SAW, Ali bin Abi Thalib. ”Lisan seorang cerdas itu,” kata beliau, “berada di belakang hatinya. Sementara hati orang yang bodoh itu berada di belakang lidahnya; ia akan katakan apa pun yang ia mau, tanpa peduli ada tidaknya manfaat perkataannya itu.”
Persoalannya kini, ternyata ada yang lebih penting sekadar mempersoalkan salah ketik. Apakah tidak mungkin kalau ‘salah ketik’ itu justru idiom penutup fakta krusial yang esensial di pasal 170 tersebut?
Dalam Pasal 170 ayat 1 BAB XIII RUU Cilaka, Presiden sebagai kepala negara memiliki kewenangan mencabut Undang-undang melalui Peraturan Pemerintah (PP) dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja. Selain itu, Presiden juga memiliki kewenangan mencabut perda yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya, melalui Perpres.
Bunyi pasal 170 itu jelas bertentangan dengan konstitusi dan konsep pemisahan kekuasaan negara. Pemberian kewenangan pemerintah untuk dapat mengubah undang-undang lewat peraturan pemerintah itu menabrak definisi dalam UU no 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Pasal 1 UU PPP menyatakan, peraturan pemerintah adalah peraturan yang dibuat pemerintah untuk melaksanakan undang-undang. Alhasil, kalau ada peraturan pemerintah menggantikan UU, itu berarti menabrak definisi peraturan pemerintah itu sendiri.
Di atas semuanya, kita sudah lama ingin negara ini dikelola lebih professional. Bila boleh kita merujuk dunia usaha, Guy Hendricks dan Kate Ludeman dalam ‘Corporate Mystic’ sudah lama mewanti-wanti. “Jika Anda ingin perusahaan Anda merajai abad 21 ini, jalankan perusahaan Anda dengan prinsip ‘orang-orang suci’,” kata keduanya. Dalam konteks negara, ganti saja kata ‘perusahaan’ dengan ‘negara’.
Salah satunya, jangan pernah membohongi warga, apalagi menipu mereka. Dan ketika kita mengkomunikasikan pesan yang dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain, menurut Sissela Bok dalam ‘Lying : Moral Choice in Public and Private Life’, termasuk katagori bohong itu. “Pengkhianatan paling besar adalah saat engkau menyampaikan informasi kepada saudaramu, yang mereka benarkan, padahal engkau sendiri berdusta,” kata Nabi dalam hadits beliau.
Bila memang urusan ‘salah ketik’ itu terjadi karena melencengnya niat, barangkali kita harus berkunjung ke masa lalu. Seorang pemikir Yunani kuno, Seneca, menyatakan, “action recta non erit, nisi recta fuerit voluntas”. Tindakan yang benar, hanya akan muncul dengan adanya kehendak yang benar.
Hanya betapa kasihannya rakyat kalau memang yang terjadi adalah niat yang mencong. [ ]
*Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)