Di balik data investasi yang tinggi, muncul kritik tajam dari akademisi dan think tank mengenai kualitas investasi dan dampak neokolonial. Kritik membangun yang muncul akibat kesadaran bahwa SDA strategis bisa “dibeli” negara lain dengan cara neokolonialisme baru.
JERNIH – Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment atau PMA) sering dielu-elukan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi modern. Kebijakan investasi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo secara konsisten menempatkan FDI sebagai prioritas utama pembangunan. Angka-angka yang dicapai sering dielu-elukan sebagai bukti keberhasilan.
Ketika hendak membangun IKN betapa Jokowi amat mengusung soal pembiayaan triliunan rupiah berasal dari asing. Kendati hingga hari ini investasi asing yang digemborkan itu belum kunjung tiba.
Membutuhkan PMA membuktikan dua sisi sebuah negara. Pertama, investasi diperlukan karena anggaran belanja dan pemodalan dalam negeri tak cukup. Kedua, investasi ditawarkan sebagai upaya untuk memberikan benefit kepada pemodal terutama untuk proyek-proyek yang menjanjikan cuan.
Namun, di sektor sumber daya alam (SDA) strategis, ia berpotensi berubah wujud menjadi neokolonialisme baru. Kolonialisme ekonomi. Ini adalah bentuk dominasi yang bukan lagi melalui modal, teknologi, dan instrumen hukum kontrak, yang secara halus menempatkan negara berkembang dalam posisi subordinat.
Iti dari neokolonialisme ekonomi ini terletak pada penguasaan aset-aset vital—mulai dari tambang, lahan perkebunan, hingga infrastruktur energi—oleh Perusahaan Multinasional (MNCs) atau entitas negara asing. Mereka mengendalikan SDA yang merupakan urat nadi kedaulatan ekonomi suatu bangsa.
Neokolonialisme dalam investasi SDA beroperasi melalui skema yang tampak legal dan menguntungkan. Menggunakan kacamata Teori Ketergantungan (Dependence Theory), negara berkembang (sebagai ‘pinggiran’) dipaksa mempertahankan model ekstraktivisme—menggali dan menjual bahan mentah. Sementara itu, negara maju yang dalam hal ini pemilik modal alias investor (sebagai ‘pusat’) menguasai rantai nilai tertinggi dan mendapatkan keuntungan terbesar. Keuntungan yang dimiliki oleh investor tentu saja tidak hanya berupa setoran modal. Namun mereka juga bisa menguasai mata rantai proses produksi bahkan proses bisnis yang berlangsung.
Secara rinci neokolonialisme gaya baru di sektor pemanfaatan dan pengelolaan sumer daya alam meliputi;
Penguasaan Kontrak Jangka Panjang: Investor asing menanamkan modal besar dengan imbalan konsesi puluhan tahun (misalnya, melalui Kontrak Karya/Perjanjian Kerjasama), yang menjamin akses dan hak eksklusif atas cadangan mineral atau lahan.
Klausul Arbitrase Internasional: Kontrak sering menyertakan klausul yang mengharuskan penyelesaian sengketa di lembaga arbitrase internasional. Ini secara efektif melemahkan kedaulatan hukum negara tuan rumah dan memberikan perlindungan berlebihan kepada investor.
Insentif dan Tax Holiday: Pemerintah lokal dipaksa memberikan insentif pajak yang masif (tax holiday) dan royalti yang rendah, yang mengurangi penerimaan negara secara signifikan dan memastikan keuntungan besar direpatriasi ke luar negeri.
Contoh yang paling telanjang dari praktik ini terjadi di beberapa negara Afrika, seperti kasus Angola, yang menjaminkan konsesi minyaknya sebagai imbalan atas pinjaman infrastruktur dari entitas negara tertentu. Pola ini menciptakan ‘diplomasi perangkap utang’ (debt trap diplomacy), di mana kegagalan membayar utang dapat berujung pada penyerahan kontrol atas aset strategis.
Indonesia adalah surga ekstraktivisme. Sektor yang paling menggiurkan bagi investor asing saat ini di antaranya:
Nikel dan Hilirisasinya: Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia menjadi pemain kunci dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global. Investasi besar, terutama dari Tiongkok, mengalir ke industri smelter nikel. Meskipun hilirisasi adalah kebijakan yang baik untuk nilai tambah, ia memunculkan risiko dominasi tunggal asing dalam ekosistem industri hulu-hilir, serta masalah lingkungan dan tenaga kerja.
Mineral Penting Lainnya: Termasuk bauksit, tembaga, dan emas, yang konsesinya seringkali dikuasai oleh MNCs dari Amerika Utara atau Australia.
Energi Terbarukan: Potensi energi panas bumi (geothermal) dan surya juga mulai dibidik, dengan risiko pola ekstraktivisme yang sama terulang di sektor energi transisi.
Investor mengharapkan profitabilitas tinggi dan jaminan keamanan aset jangka panjang, yang berarti mereka menekan pemerintah untuk mempertahankan regulasi yang pro-bisnis dan menstabilkan lingkungan politik.
Kisah nyata dari neokolinialisme zaman kini bisa disimak di film dokumenter bertajuk 300 Trillion – The Debt Trap (2022). Di sini digambarkan secara gamblang eksplorasi mendalam mengenai skala utang global yang mencapai 300 triliun dolar dan bagaimana mekanisme utang tersebut berfungsi sebagai perangkap (trap) yang tidak hanya menghancurkan kehidupan individu tetapi juga mengancam kedaulatan dan stabilitas ekonomi negara-negara.
Neokolonialisme ekonomi disebut-sebut sebagai motif dari jebakan tersebut: Bagi negara-negara, film ini mengeksplorasi secara eksplisit bagaimana utang yang tidak berkelanjutan (unsustainable debt) dapat menjebak mereka.
Dalam konteks neokolonialisme baru, utang menjadi cara bagi kekuatan ekonomi besar (negara atau lembaga keuangan) untuk mendikte kebijakan fiskal negara debitur, memaksa privatisasi aset publik, atau bahkan mengambil alih aset strategis (seperti yang terjadi pada Sri Lanka atau kasus serupa lainnya), sehingga mengurangi kedaulatan negara secara signifikan.
Tujuan utama dari film ini adalah untuk membuka mata publik terhadap sifat sistem utang global yang tersembunyi dan predator. Kemudian untuk menantang asumsi bahwa semua utang diciptakan secara setara atau bahwa utang selalu merupakan hasil dari kesalahan debitur semata.
Film ini pada dasarnya berargumen bahwa sistem finansial global dirancang untuk terus menciptakan utang dan mengalihkan risiko kepada yang paling lemah, memastikan bahwa kekayaan terus mengalir ke atas (kepada kreditor dan elit finansial).
Menghadapi tantangan neokolonialisme modern, peran lembaga think tank independen menjadi krusial. Lembaga yang diisi oleh orang-orang pemikir yang memiliki keberagaman berpikir. Keberagaman berpikir niscaya memperkaya khasanah perspektif hingga mendapatkan lebih banyak pilihan untuk menentukan kebijakan.
GREAT Institute, yang didirikan untuk menyuarakan “akal sehat” dan melakukan “perlawanan intelektual” terhadap dominasi kepentingan, memiliki beberapa peran penting. Umpamanya dengan menggelar riset kritis dan policy advocacy. GREAT dapat melakukan kajian mendalam (policy paper) tentang struktur kontrak SDA (misalnya, Kontrak Karya vs. Izin Usaha Pertambangan Khusus) dan dampak insentif pajak. Hasil riset ini harus menjadi basis untuk advokasi kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan nasional.
Kiranya perlu lebih kerap menggelar model pendidikan dan diseminasi publik. Bagaimana pun dan apapun bentuk PMA tersebut publiklah yang kelak menjadi target akhir dari kebijakan tersebut. Mengedukasi masyarakat dan elit politik mengenai risiko neokolonialisme yang tersembunyi dalam perjanjian investasi. Seperti yang sering disuarakan oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, “Negara ini membangun jalan tol ke mana-mana, tetapi kehilangan peta nilai yang seharusnya menjadi kompasnya. Perlawanan intelektual adalah kunci untuk memastikan kedaulatan ekonomi.”
Peran untuk memastikan bahwa setiap kebijakan investasi selaras dengan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) yang mengamanatkan bahwa SDA harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat juga mesti rutin dilakukan. Lembaga-lembaga kritis memiliki kapasitas untuk melakukan kontrol secara ilmiah dan logis.
Faktanya, arus modal global tidak dapat dihentikan, tetapi Indonesia harus bersikap tegas. Neokolonialisme modern hanya dapat diatasi jika negara memiliki keberanian ideologis dan kemandirian kebijakan.
Indonesia perlu menggeser fokus dari sekadar mengejar FDI besar menuju kualitas investasi yang mentransfer teknologi, membangun rantai pasok domestik yang kuat, dan menyisakan keuntungan yang adil di dalam negeri. Langkah-langkah seperti kewajiban hilirisasi dan divestasi saham adalah upaya menjaga kedaulatan, namun implementasinya harus diawasi ketat.
Neokolonialisme adalah ancaman yang terselubung. Tugas negara adalah memastikan bahwa kekayaan alamnya tidak hanya menjadi sumber keuntungan bagi korporasi asing, tetapi benar-benar menjadi pilar bagi kemakmuran dan kedaulatan abadi bangsanya.(*)
BACA JUGA: Transisi Energi, Bayang-bayang Kolonialisme Hijau dan Peran GREAT Institute
