Site icon Jernih.co

Pakaian Pejabat

“Aku hanya punya satu pakaian, “jawab Said di depan  Umar dan  para pengadu. “Tatkala  pakaian itu dicuci, aku harus menjemurnya seharian, karena tak punya pakaian ganti. Setelah  kering lalu kurapikan sendiri, karena aku tak punya pembantu. Itulah sebabnya, aku terpaksa bolos sehari dalam sebulan.” (“Hilyatul Awliya” Abu Nu’aim, jilid 1, hal.245)

Oleh   : Usep Romli H.M.

Suatu hari, Nasruddin Hoja menghadiri undangan kenduri. Ia berpakaian biasa saja. Sederhana tapi bersih. Namun di tempat kenduri tak disambut layaknya tamu. Ia tak diacuhkan. Tak ada yang mempersilakan duduk. Tak ada yang menyuguhinya hidangan.

Nasrudin segera pulang ke rumahnya. Mengganti pakaian dengan gamis satin, dirangkap jubah beledu. Mengenakan serban besar. Sekilas mirip guru besar madrasah negara.

Begitu datang kembali ke tempat kenduri, disambut ramah penerima tamu. Dipersilakan duduk di tempat para tamu mulia. Berbagai hidangan disuguhkan.

Nasrudin mengambil mangkuk sup. Diguyurkannya ke jubahnya. Sebotol minuman  diguyurkannya ke serbannya. Kepada orang-orang yang keheranan, Nasruddin berkata, “Suguhan ini hak jubah dan serban. Bukan buat aku. Tuan rumah menghormati pakaianku. Bukan menghormati aku.”[ ]

(“Arabian’s  Anekdotes”, Jonathan Ward, 1969)    

                                                      ****

Pada masa kini, sudah sangat lumrah para pejabat negara (eksekutif, yudikatif, legislatif), memperoleh aneka macam fasilitas. Mulai dari rumah, kendaraan, hingga pakaian kerja sehari-hari. Baik pakaian dinas kantor dan pakaian dinas lapangan, maupun  pakaian dinas upacara. Model dan coraknya diatur dengan UU, atau Peraturan Pemerintah. Tidak boleh sekeinginan sendiri, seperti rakyat kebanyakan yang tak terikat aturan protokoler.

Untuk biaya pakaian para perjabat dan wakil rakyat itu, disediakan anggaran khusus. Rata-rata Rp 300 juta- Rp 500 juta per tahun per orang.

Berbeda dengan sikap para “bapak bangsa” terdahulu, pada awal kemerdekaan. Banyak menteri dan pejabat tinggi negara, saat itu, hanya punya satu dua setel pakaian saja. Itu pun tidak baru lagi. Cindy Adams, penulis biografi Presiden RI Ir.Sukarno, dan George MacTurman Kahin, Indonesianis  yang akrab dengan para pembesar Indonesia sejak awal proklamasi, mengisahkan beberapa hal mengenai pakaian para menteri anak buah Presiden Sukarno.  Johannes Leimena, ketika diangkat menjadi Menteri Kesehatan RI, pada 1945, hanya punya dua setel pakaian. Satu setel pakaian praktek dokter, satu setel lagi piyama untuk sehari-hari di rumah. Walaupun seorang dokter, Leimana tak berpenghasilan tinggi. Maklum pasen-pasennya rakyat jelata, yang menderita akibat penjajahan Jepang (1942-1945). Praktik dokter Leimena, ibarat bakti sosial saja.

Haji Agus Salim, salah seorang penyusun pembukaan UUD 1945, bersama Sukarno, Hatta, Ahmad Subarjo, Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, Muhammad Yamin, Abikusno dan Maramis, sering sibuk menambal baju sendiri. Padahal ia menjabat menteri luar negeri. Rumahnya juga pindah-pindah, karena hanya ngontrak di sana-sini.

Demikian pula M. Natsir. Sebagai menteri penerangan RI pertama, ia selalu berupaya tampil percaya diri, walaupun ngantor mengenakan kemeja lusuh penuh tisikan.

Mungkin kondisi mereka tidak seberapa dibandingkan Khalifah Umar bin Khattab, yang lebih amat sederhana lagi. Dalam “Thabaqat Ibnu Sa’ad”, jilid 3 hal.273, dikisahkan, Umar pernah membagikan mantel kiriman dari Yaman kepada penduduk Madinah, seorang satu. Suatu hari, dengan mengenakan mantel pembagian itu, Umar berdiri di mimbar masjid, lalu berseru kepada jamaah hadirin :  “Wahai manusia, dengarlah dan patuhilah…..”

Tiba-tiba seorang jamaah menyela :“Tak perlu didengar dan dipatuhi !”

Umar terkejut, bertanya : “Mengapa, saudaraku ?”

“Karena engkau telah membagikan mantel Yaman secara tidak adil. Semua, setiap orang mendapat sebuah, dalam ukuran dan potongan sama. Tapi engkau mungkin mendapat lebih dari satu karena mantelmu tampak longgar pada tubuhmu yang tinggi besar.”

Umar meminta putranya, Abdullah, untuk menjelaskan. Maka Abdullah berkata :

“Demi Allah, Amirul Mukminin juga hanya mendapat satu mantel, seperti kita. Tapi karena kekecilan,  mantel bagianku kuberikan kepadanya. Kemudian diurus oleh seorang tukang jahit. Sehingga Amirul Mukminin mendapat mantel yang pas.”

Setelah mendapat keterangan Abdullah bin Umar, orang tadi berkata : “Wahai Amirul Mukminin, sekarang silakan Anda berpidato, Aku akan menyimak dan mematuhi.”

Khalifah Umar juga pernah menyidangkan secara terbuka Said bin Amir al Jamhi, gubernur Provinsi Hims. Said diadukan oleh penduduk Hims, karena sekali dalam sebulan selalu bolos ngantor. Umar meminta Said menjelaskan alasannya.

“Aku hanya punya satu pakaian, “jawab Said di depan  Umar dan  para pengadu. “Tatkala  pakaian itu dicuci, aku harus menjemurnya seharian, karena tak punya pakaian ganti. Setelah  kering lalu kurapikan sendiri, karena aku tak punya pembantu. Itulah sebabnya, aku terpaksa bolos sehari dalam sebulan.” (“Hilyatul Awliya” Abu Nu’aim, jilid 1, hal.245)

Suatu “hil yang mustahal” (meminjam istilah mendiang pelawak Asmuni Srimulat), untuk  situasi, kondisi, bahkan etika, zaman millennial.

Dalam soal pakaian, pengalaman Nasruddin Hoja abad 13, tampaknya masih berlaku.  [   ]         

Exit mobile version