Merupakan tugas kita untuk kembali mengangkat etika sebagai fondasi narasi media. Bukan dengan moralitas yang hipokrit, tetapi dengan keberanian untuk menyatakan bahwa tidak semua hal layak diberi panggung.
Oleh : Fileski Walidha Tanjung*
JERNIH– Di tengah gelombang deras era informasi, media seharusnya menjadi mercusuar etika dan intelektualitas publik. Namun, ketika layar kaca justru menjadi cermin kusam dari arus balik peradaban, kita patut khawatir: apakah media kini kehilangan kompas moralnya? Ketika sebuah stasiun televisi nasional menampilkan sosok guru yang tersandung kasus video syur dalam sebuah tayangan bertajuk ringan dan menggoda—“Bu Guru Salsa Mencoba Menyanyi”—kekhawatiran itu berubah menjadi kegelisahan eksistensial.
Mengapa seorang guru, figur sentral dalam proses transmisi nilai dan kebajikan, yang terlibat dalam tindakan asusila, justru diberi panggung? Mengapa media yang seharusnya menarasikan keutamaan, justru menormalisasi aib sebagai hiburan?
Saya ingin menyampaikan kritik yang tidak hanya bernada protes, melainkan menggugah pertanyaan-pertanyaan epistemologis tentang arah media kita. Apakah kita sedang menyaksikan proses banalitas kejahatan, sebagaimana pernah dikritisi Hannah Arendt saat mengamati pengadilan Eichmann? Ataukah kita sedang tergelincir ke dalam masyarakat tontonan seperti yang diramalkan Guy Debord dalam “La Société du Spectacle?”

Media, dalam banyak hal, telah menjadi ruang perjumpaan antara fakta dan fiksi, antara realitas dan konstruksi. Namun ketika konstruksi tersebut melanggengkan citra-citra yang merusak moral kolektif, maka media bukan hanya gagal sebagai pencerah, melainkan menjadi arsitek kegelapan baru. Sebuah tayangan televisi yang seolah mengangkat seorang guru pelaku tindakan tidak senonoh menjadi figur inspiratif, tak hanya melecehkan profesi pendidik, tapi juga mengabaikan luka sosial yang ditimbulkannya.
“Dalam masyarakat yang korup, hanya orang yang jujur yang terlihat seperti pemberontak,” tulis filosof Italia Antonio Gramsci. Kritik ini bukanlah gerutu nostalgia terhadap moral puritan, melainkan sebuah peringatan akan efek domino dari banalitas nilai. Media yang memberi panggung pada figur seperti ‘Bu Guru Salsa’ dalam bingkai narasi simpatik bukan hanya menyebarkan berita, tetapi juga menyisipkan pesan simbolik: bahwa popularitas lebih penting dari integritas, bahwa viralitas mengalahkan nilai, dan bahwa moralitas dapat ditunda demi rating.
Mungkin inilah yang disebut Slavoj Žižek sebagai fetishistic disavowal: “I know very well what I am doing, but still, I am doing it.” Media sadar betul bahwa yang mereka tampilkan adalah sensasi murahan, tetapi tetap melakukannya karena tahu publik akan menontonnya. Ini bukan sekadar soal etika pribadi, melainkan tentang struktur produksi media yang kian digerakkan oleh logika kapital, bukan nilai kebenaran.
Dan yang paling menyakitkan dari semua ini adalah ketika figur seperti guru—yang seharusnya menjadi simbol kebajikan dan pencerahan—dijadikan komoditas tontonan. Dalam khazanah Jawa, guru adalah digugu lan ditiru; sosok yang dipercaya dan diteladani. Namun kini, sang guru tak lagi diteladani karena keilmuannya, melainkan karena keberaniannya menanggalkan batas-batas etika. Sebuah paradoks yang getir.
Merupakan tugas kita untuk kembali mengangkat etika sebagai fondasi narasi media. Bukan dengan moralitas yang hipokrit, tetapi dengan keberanian untuk menyatakan bahwa tidak semua hal layak diberi panggung. Tidak semua popularitas patut dirayakan. Kita memerlukan media yang bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menyaring nilai. Sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Edward Said, media harus menjadi agent of resistance, bukan agen reproduksi nilai-nilai pasar yang dangkal.
Ketika seorang guru yang melakukan tindakan asusila dijadikan selebritas dadakan, kita tidak hanya sedang membicarakan satu individu. Kita sedang membicarakan arsitektur mental sebuah bangsa. Kita sedang membicarakan generasi muda yang menyaksikan tayangan itu dan mulai berpikir bahwa aib bisa menjadi tangga menuju ketenaran. Kita sedang membicarakan orang tua yang kelelahan membentengi anak-anak mereka dari paparan toksik media, hanya untuk menyaksikan stasiun televisi besar merobohkan tembok itu dalam satu malam.
Simone Weil pernah mengatakan, “Imajinasi dan keinginan, bukan logika, adalah akar dari hampir semua tindakan manusia.” Dan sayangnya, media telah lama menyadari ini. Namun, alih-alih menggunakan daya imajinatifnya untuk membentuk masyarakat yang bijak, media justru mengeksploitasi keinginan terendah manusia demi keuntungan sesaat.
Saya tidak menolak ruang untuk pengampunan, bahkan pada sosok seperti Bu Guru Salsa. Tapi pengampunan tidak sama dengan pengagungan. Memahami tidak berarti mempromosikan. Memaafkan tidak berarti mengaraknya di layar kaca seolah ia pahlawan. Di sinilah letak kegagalan media kita: tidak mampu membedakan antara hak untuk diceritakan dan hak untuk dielu-elukan.
Media bukan hanya cermin masyarakat; ia juga cetakan dari apa yang akan menjadi masyarakat kita. Maka, pertanyaannya kini: masyarakat seperti apa yang sedang kita bentuk, ketika panggung nasional diberikan kepada figur yang menginspirasi bukan karena kebajikan, tetapi karena skandal. Dan apakah kita masih sanggup menonton tanpa merasa bersalah.
Barangkali, inilah saatnya kita bertanya bukan hanya tentang siapa yang pantas tampil di televisi, tetapi lebih jauh: apa yang sedang kita kultuskan sebagai nilai dalam masyarakat? Ketika sensasi menggantikan substansi, ketika kontroversi lebih dihargai daripada kontribusi, apakah kita masih bisa berbicara tentang kemajuan kultural, atau justru sedang mengabadikan keburaman moral sebagai norma baru?
Apa yang kita tonton, sejatinya adalah apa yang sedang kita wariskan. Dalam kesunyian setelah siaran berakhir, ketika lampu studio padam dan layar kembali gelap, tersisa satu pertanyaan sunyi yang menggema dalam hati nurani kita masing-masing: apakah tontonan itu membuat kita menjadi manusia yang lebih baik, atau justru lebih kebal terhadap nilai?
Plato, dalam “The Republic”, mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga jiwa dari racun yang mengaburkan kebajikan. Ia menekankan, bahwa negara yang baik dibangun oleh individu-individu yang memiliki kendali atas jiwanya. Jika demikian, maka ruang-ruang media hari ini adalah sekolah kebajikan atau, sebaliknya, pabrik kebingungan batin. Kita perlu menengok kembali, siapa yang kita beri mikrofon, siapa yang kita beri kamera, dan siapa yang kita biarkan membentuk tafsir moral anak-anak kita.
Apa yang ingin kita ajarkan pada mereka—bahwa keberanian untuk menjadi terkenal, meski dengan cara yang merusak diri dan profesi, lebih penting daripada keberanian untuk setia pada integritas? Bahwa harga diri dapat ditukar dengan panggung, dan bahwa skandal adalah jalan pintas menuju popularitas?
Seandainya tokoh seperti Mahatma Gandhi hidup hari ini, barangkali ia akan menyebut ini sebagai bentuk baru dari kekerasan kultural: kekerasan yang tidak menumpahkan darah, tetapi mengikis makna. Ia pernah berkata, “The roots of violence are wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character.” Maka kita bisa menambahkan satu akar baru dalam daftar itu: sensasi tanpa etika.
Kita hidup di zaman yang memuja kecepatan—viral dalam hitungan detik, terkenal dalam semalam. Tapi barangkali yang kita butuhkan sekarang bukanlah kecepatan, melainkan kedalaman. Kedalaman untuk merenung sebelum menilai. Kedalaman untuk bertanya sebelum mengangkat seseorang ke panggung publik. Kedalaman untuk menyadari bahwa apa yang kita soroti akan membentuk apa yang akan kita teladani.
Dalam dunia yang semakin riuh, barangkali tugas kita bukan untuk berteriak lebih keras, tetapi untuk mendengar lebih jernih: suara nurani, suara nilai, suara akal sehat.
Dan pada akhirnya, pertanyaan yang perlu kita simpan baik-baik adalah ini: Apakah kita masih sanggup menciptakan ruang publik yang bermakna, di mana integritas tidak kalah oleh viralitas, dan di mana kebajikan tidak dibungkam oleh algoritma rating? Jika jawabannya masih “ya,” maka kritik ini bukan sekadar amarah. Ia adalah bentuk cinta: cinta kepada generasi yang akan datang, cinta pada profesi guru yang mulia, dan cinta pada media yang seharusnya tercerahkan.
Karena pada titik terdalam dari semua ini, yang sedang kita pertaruhkan bukan hanya reputasi sebuah stasiun televisi, tetapi kemanusiaan kita sendiri. [ ]
*Fileski Walidha Tanjung, penulis dan penyair kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis artikel, cerpen dan puisi.