Site icon Jernih.co

Pasca-Banjir Sumatera: Tantangan Manajemen Kesehatan dan Komunikasi Publik

Dalam bencana berskala besar, manajemen layanan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari strategi komunikasi pemerintah. Manajemen rumah sakit bukan hanya sebagai pusat pelayanan klinis, tetapi juga simpul kepercayaan publik. Ketika masyarakat melihat rumah sakit tetap berfungsi, tenaga kesehatan hadir, dan layanan berjalan meski dengan keterbatasan, maka rasa aman sosial akan terbangun. Oleh karena itu, health system resilience harus ditopang oleh komunikasi yang konsisten, transparan, dan empatik.

Oleh     : Perdana Wahyu Santosa*

JERNIH– Banjir dahsyat yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak berhenti sebagai krisis lingkungan dan sosial saja, tetapi segera bertransformasi menjadi tantangan serius bagi layanan kesehatan publik khususnya di daerah terdampak. Dalam perspektif manajemen bencana, fase pasca banjir merupakan periode paling krusial karena dampaknya tidak selalu kasat mata.

Ketika debat status bencana nasional masih memanas, di sisi lainnya ancaman penyakit menular berbasis air, memburuknya penyakit kronis akibat terputusnya layanan rutin, gangguan kesehatan mental, hingga meningkatnya risiko kematian tidak langsung menjadi beban nyata yang harus diantisipasi secara sistematis.

Ujian Manajemen Rumah Sakit dan Kesehatan Publik

Rumah sakit dan puskesmas di wilayah terdampak menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi, lonjakan pasien dengan kasus trauma ringan hingga berat, diare akut, infeksi saluran pernapasan, penyakit kulit, dan leptospirosis harus segera ditangani. Di sisi lain, sebagian fasilitas kesehatan juga terdampak langsung oleh banjir—akses terputus, pasokan listrik terganggu, alat kesehatan rusak, serta tenaga medis yang ikut terdampak secara personal.

Kondisi ini menuntut penerapan hospital disaster plan yang adaptif, termasuk pengaturan ulang alur pelayanan, prioritas triase, dan mobilisasi sumber daya lintas fasilitas.

Di Aceh, wilayah dengan sebaran geografis yang luas, tantangan utama terletak pada aksesibilitas layanan kesehatan bagi pengungsi di lokasi terpencil atau sulit dijangkau. Di Sumatera Utara, kepadatan penduduk memperbesar risiko penularan penyakit di tempat pengungsian yang belum sepenuhnya memenuhi standar sanitasi. Sementara di Sumatera Barat, kombinasi banjir dan longsor meningkatkan kebutuhan layanan rujukan gawat darurat yang harus bergerak cepat melintasi medan sulit.

Dalam konteks ini, koordinasi antara rumah sakit daerah, Dinas Kesehatan, TNI-Polri, serta Kementerian Kesehatan menjadi faktor penentu keberhasilan respons.

Pemerintah sejatinya telah mengaktifkan berbagai mekanisme tanggap darurat kesehatan seperti pengiriman tim medis, pendirian pos kesehatan dan rumah sakit lapangan, distribusi obat-obatan esensial, serta penguatan surveilans epidemiologi. Namun, kompleksitas situasi di lapangan sering kali tidak sepenuhnya terartikulasikan kepada publik. Ketika informasi mengenai kapasitas layanan, ketersediaan tenaga medis, dan langkah pencegahan penyakit tidak tersampaikan secara utuh, ruang persepsi publik mudah diisi oleh kekhawatiran berlebihan dan narasi negatif di media sosial hingga media nasional.

Menjaga Kepercayaan di Ruang Publik

Dalam bencana berskala besar, manajemen layanan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari strategi komunikasi pemerintah. Manajemen rumah sakit bukan hanya sebagai pusat pelayanan klinis, tetapi juga simpul kepercayaan publik. Ketika masyarakat melihat rumah sakit tetap berfungsi, tenaga kesehatan hadir, dan layanan berjalan meski dengan keterbatasan, maka rasa aman sosial akan terbangun. Oleh karena itu, health system resilience harus ditopang oleh komunikasi yang konsisten, transparan, dan empatik.

Penerapan sistem komando kesehatan (health emergency operation center) menjadi kunci untuk memastikan distribusi pasien, rujukan antar rumah sakit, dan pemanfaatan sumber daya berjalan efektif. Informasi ini perlu disederhanakan dan disampaikan ke publik melalui satu narasi terpadu, sehingga masyarakat memahami bahwa layanan kesehatan tetap tersedia dan terkoordinasi. Komunikasi yang baik tentunya bukan berarti menutupi keterbatasan, melainkan menjelaskan konteks dan solusi yang sedang dijalankan.

Media sosial memainkan peran ganda di bencana ini. Di satu sisi, ia menjadi sarana cepat untuk menyampaikan edukasi kesehatan: pencegahan penyakit pasca banjir, pentingnya air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan jiwa. Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola, media sosial dapat memperkeruh situasi melalui informasi yang tidak terverifikasi. Di sinilah pemerintah perlu hadir secara aktif, bukan sekadar reaktif. Penyampaian data yang rutin, visual yang informatif, serta narasi yang menenangkan akan membantu menstabilkan psikologi publik dan meredam politisasi bencana di ruang digital.

Lebih jauh, pelayanan kesehatan pasca bencana juga harus dilihat sebagai investasi jangka panjang. Penguatan layanan kesehatan primer, pemulihan fasilitas rumah sakit, dan dukungan psikososial bagi korban merupakan fondasi pemulihan sosial-ekonomi. Ketika masyarakat melihat negara hadir secara konsisten dalam aspek paling mendasar—kesehatan—kepercayaan terhadap pemerintah akan tumbuh secara alami, tanpa perlu retorika berlebihan.

Penutup

Banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menguji ketangguhan sistem layanan kesehatan Indonesia. Tantangan di lapangan nyata dan kompleks, namun respons yang terkoordinasi, adaptif, dan komunikatif menunjukkan bahwa sistem kesehatan nasional memiliki kapasitas untuk bertahan dan pulih. Kunci keberhasilan ke depan terletak pada integrasi manajemen rumah sakit, layanan kesehatan publik, dan komunikasi pemerintah yang efektif.

Dengan memastikan layanan kesehatan tetap berjalan dan informasi disampaikan secara jernih, pemerintah tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga menjaga stabilitas sosial dan kepercayaan publik di tengah situasi krisis. Pendekatan inilah yang menjadi fondasi penting bagi pemulihan pasca bencana dan penguatan ketahanan nasional di masa mendatang. []

*Profesor Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Riset GREAT Institute dan CEO SAN Scientific

Exit mobile version