Suatu zaman yang lebih mementingkan isi perut dan kepentingan pribadi atau golongan. Suatu zaman yang menempatkan sikap patriotisme sebagai simbol kejayaan dan kebanggaan pribadi atau kelompok. Yang makna dan kegunaannya sangat terbatas di sekitar pribadi atau kelompok itu sendiri.
Oleh : Usep Romli H.M.
Nabi Ibrahim AS seorang patriot. Pencinta tanah air. Tapi bukan patriot sempit yang hanya memperjuangkan lingkup sempit sebatas teritorial tempat tinggal.
Patriotisme Nabi Ibrahim as adalah patriotisme dalam arti luas. Yang memperjuangkan kemanusiaan secara lengkap dalam suatu kerangka ideologi jelas. Ideologi Tauhid. Untuk mencapai ridha Allah swt. Patriotisme Nabi Ibraim as adalah patriotisme dunia akhirat.
Beliau memohon kepada Allah agar Mekkah menjadi negeri subur, makmur, aman, sentosa, dan penduduknya beriman dan bertakwa kepada Allah swt (Q.S Al Baqarah: 126). Beliau membangun Baitullah sepenuh kesadaran sebagai sarana kebaktian kepada Allah Swt. Sebagai saran amal soleh kepada sesama manusia, yang mampu di pertanggung jawabkan kepada Allah Swt.
Doa Nabi Ibrahim yang termasyhur, di antaranya, “Rabbana taqbbal minna innaka antas samiul alim.” (Q.S Al Baqarah: 127). Ya Rabb kami, terimalah (amalan) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui.”
Doa itu diucapkan setelah beliau bersama anaknya Ismail, selesai merenovasi Kabah Baitullah. Begitu pekerjaan beres, beliau tidak lantas sibuk mengitung laba dan komisi. Menghitung sisa-sisa bahan yang tak terpakai yang dapat di manfaatkan di rumah. Tapi beliau sujud. Merunduk merendah dihadapan Allah Swt. Memohon agar pekerjaannya diterima. Agar anak cucunya menjadi orang yang tunduk patuh kepada Allah Swt. Agar diberi pengetahuan untuk melaksanakan manasikul haji yang sempurna, serta diampuni segala dosa (Q.S Al Baqarah : 128).
Tulus ikhlas, tanpa pamrih, tanpa ingin mendapat popularitas. Begitulah sikap Nabi Ibrahim. Seorang Nabi, yang digelari “Bapak Tauhid” dan leluhur para Anbiya wal Mursalin.
Mungkin sosok Ibrahim, sangat kontras jika ditinjau dari kacamata zaman sekarang. Suatu zaman yang lebih mementingkan isi perut dan kepentingan pribadi atau golongan. Suatu zaman yang menempatkan sikap patriotisme sebagai simbol kejayaan dan kebanggaan pribadi atau kelompok. Yang makna dan kegunaannya sangat terbatas di sekitar pribadi atau kelompok itu sendiri. Sehingga, ketika dihadapkan kepada persoalan-persoalan mendasar dan luas, patriotisme itu lenyap tanpa bekas. Hilang sirna disapu besih aneka macam kepentingan yang hanya beguna bagi pemenuhan kepuasaan pribadi atau kelompok belaka.
Tidak seperti patriotisme Nabi Ibrahim as. Wacana Ilahiah yang beliau canangkan sebelum, selama, dan sesudah merenovasi Baitullah, mampu menembus ruang dan waktu. Menembus kekasaran jasad. Mengelus kelembutan kalbu. Dan berlaku bagi orang yang sadar, yang mau mendengar dan menerima seruan Allah SWT bersama para Rasul-Nya yang mulia.
Mereka—insya Allah kita termasuk di dalamnya – adalah golongan yang mengha-rapkan taufik dan hidayah Allah. Yang mengharapakan rahmat, karunia, dam ampunan Allah. Yang menginginkan keturunannya, anak, cucu, cicit, dan sanak keluarga, menjadi orang-orang yang tunduk dan patuh kepada Allah swt. Generasi dainunah lillahi wahdah.
Nabi Ibrahim memberi contoh, betapa orangtua harus bertindak hati-hati menjaga anaknya agar tidak menyimpang dari jalan lurus. Beliau tidak membagi keuntungan material dengn Ismail. Tapi mengajaknya ruku dan sujud, bermunajat kepada Allah swt. Menyerahkan segala pekerjaan kepada Yang Maha Mengetahui, sambil meminta ampun apabila di dalamnya terdapat kesalahan.
Tidak mementingkan pewarisan nilai-nilai konsumtif material yang diperhi-tungkan secara bisnis dan keuntungan. Lepas jauh dari pertimbangan dosa dan ketakutan kepada Allah SWT. [ ]
“Percikan Hikmah” (1999)