Puncaknya pada tahun 1984 produksi padi meningkat 8,04% dari tahun sebelumnya sehingga produksi beras dapat menutupi konsumsi beras domestik hingga mencapai surplus 963,91 ribu ton. Tahun itu, Indonesia untuk pertamakalinya berswasembada beras dan Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO.
Oleh : Prof Dr Yuddy Chrisnandy
JERNIH– Furnival dalam karyanya “Netherland India, A Study of Plural Economy” mengemukakan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) adalah negara agraris yang kaya raya, dimana sektor pertanian telah berabad- abad menjadi daya tarik dan penopang ekonomi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial menempatkan sektor perkebunan sebagai komoditas ekspor andalan, dimana kebijakan cultur stesel (tanam paksa) dipaksakan pada kaum pribumi untuk memenuhi pasar Eropa yang membutuhkan produk-produk perkebunan, seperti rempah- rempah, lada, kopi, tebu, nila, tembakau, kapur barus dan lain-lain.
Melalui proses evolusi berabad-abad dan didukung oleh kondisi ekologis yang ada, sektor pertanian menjadi sangat berkembang dengan dua sistem pertaniannya, sistem persawahan dan sistem perladangan. Kedua sistem tersebut telah mapan sebelum datangnya kolonialisme Belanda yang menurut Geertz pembagian tersebut dapat dibedakan kedalam sejumlah ciri. Sistem perladangan ditandai dengan beragamnya tanaman pertanian, hutan, tanah tertutup dan keras serta pengelolaannya yang karena intervensi manusia atas lahan yang ada maka kebutuhan tenaga kerja pada model sistem perladangan tidaklah banyak. Sistem ini berkembang di luar Pulau Jawa yang wilayahnya berpenduduk sedikit.
Sistem persawahan justru sebaliknya, ekologinya buatan manusia, mengandalkan satu produk pertanian yaitu padi, pengelolaannya yang rumit dan kompleks namun produktivitasnya stabil dan membutuhkan tenaga kerja yang banyak dalam pengelolaannya. Sistem persawahan ini berkembang di Pulau Jawa yang berpenduduk besar yang seiring dengan waktu sistem persawahan juga berkembang pesat ke wilayah-wilayah lain di Nusantara.
Karena itu sebenarnya Indonesia kaya akan panganan pokok lokal selain beras yang awalnya lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia di bagian barat. Namun di wilayah-wilayah yang lain seperti wilayah timur Indonesia; Maluku dan Papua, sejak berabad-abad lampau mereka mengkonsumsi sagu, umbi-umbian dan ketela sebagai makanan pokok. Demikian pula di Sulawesi yang masyarakatnya lebih banyak mengkonsumsi jagung. Namun diversivikasi makanan pokok masyarakat Indonesia lambat laun mengarah pada konsumsi tunggal beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia.
Swasembada beras 1984
Pembangunan sektor pertanian telah dijalankan pemerintah sejak era pemerintahan Presiden Soekarno hingga kini, yang puncaknya sering dicatat ketika Presiden Soeharto pada tahun 1984 dianugerahi sebuah medali yang bertuliskan “from rice importer to self sufficiency” oleh Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma. Banyak hal yang telah dikerjakan pemerintahan Orde Baru dalam membangun sektor pertanian-yang semuanya berlandaskan pemahaman bahwasanya sektor ini merupakan tulang punggung pembangunan.
Indonesia adalah negara agraris yang berpenduduk besar, karena itu disain pembangunan di awal-awal pemerintahan Orde Baru sebagaimana yang tercermin dalam sasaran Repelita I, II, III dan IV diarahkan pada pembangunan sektor pertanian. Berbagai kebijakan diambil untuk mendukung pembangunan sektor pertanian seperti pembangunan waduk dan irigasi yang di masa pemerintahan Orde Baru berjalan cukup intensif dan hasilnya kita nikmati hingga sekarang. Kebijakan lainnya yang populer hingga kini di sektor pertanian ada pada apa yang kita kenal sebagai “Revolusi Hijau”.
Revolusi Hijau sendiri merupakan modernisasi sektor pertanian dengan penggunaan teknologi agar hasilnya dapat lebih besar. Kemudian diperkenalkanlah ekstensifikasi dan intensifikasi dalam pembngunan sektor pertanian. Ekstensifikasi adalah memperluas areal pertanian (persawahan) yang ada untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang menurut Malthus bergerak berdasarkan deret ukur. FAO mencatat kenaikan jumlah penduduk di negara- negara berkembang seperti Indonesia mencapai 4 persen padahal kenaikan produksi tanaman pangan tercatat satu persen saja.
Untuk itu pada PELITA II (1974-1979) pemerintah membuka areal-areal persawahan dari 4,3 juta hektare menjadi 6 juta hektare termasuk program pembukaan lahan yang dikaitkan dengan program transmigrasi dan pembukaan perkebunan- perkebunan beras diluar Pulau Jawa. Sedangkan intensifikasi adalah memperbesar produktifitas areal pertanian yang ada melalui pengaturan irigasi, pemupukan, teknik pengolahan lahan pertanian, penemuan dan penggunaan beberapa varietas unggul dan pemberantasan hama.
Revolusi Hijau yang diintensifkan sejak awal PELITA I mulai memperlihatkan hasilnya. Sepanjang tahun 1980-1989 produksi padi mengalami pertumbuhan 3,86 persen per tahun atau rata-rata 24.911, 75 ribu ton. Pertumbuhan produksi padi juga diikuti peningkatan luas areal panen sebesar 1,84% per tahun, sehingga pertumbuhan produksi padi dapat ditingkatkan menjadi 5,55% per tahun. Puncaknya pada tahun 1984 produksi padi meningkat 8,04% dari tahun sebelumnya sehingga produksi beras dapat menutupi konsumsi beras domestik hingga mencapai surplus 963,91 ribu ton. Tahun itu, Indonesia untuk pertamakalinya berswasembada beras dan Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO.
Namun untuk membangun ketahanan pangan tentu para sarjana pertanian telah mengingatkan bahaya dibalik ketergantungan pada hanya satu komoditas pertanian, sebagai bahan pokok pangan masyarakat Indonesia yaitu beras. Pemerintah seharusnya dapat keluar dari jebakan tersebut dengan mengarahkan kultur diversifikasi panganan pokok yang sebenarnya sudah ada sejak berabad-abad yang lampau kembali digalakkan agar tidak hanya bertumpu pada beras saja.
Hari ini fakta menyebutkan bahwa 96% rakyat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya dan bahan makanan yang lain seperti jagung, gandum, singkong, sagu, talas, kentang, ganyong atau tanaman sejenis lainnya sebagai bahan makanan pokok, kurang dikembangkan sehingga tingkat produktivitasnya tidak begitu banyak bertambah, tidak seperti pada beras. Hal ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah agar mulai mengembangkan tanaman pokok yang lain, dan mendorong diversivikasi pangan rakyat Indonesia. Dengan demikian, ketergantungan pada beras dapat dikurangi.
Kebijakan di sektor pertanian
Seperti yang telah diramalkan para pakar bahwa penduduk dunia dari tahun ke tahun semakin bertambah melebihi dari kapasitas ideal hunian bumi itu sendiri dan tingkat produktivitas pertanian sebagai sumber pangan manusia. Dari data yang ada, pada tahun 1800 total penduduk bumi baru sebanyak 1 miliar orang, tahun 1930 meningkat menjadi 2 milyar orang, dan tahun 1960 naik lagi menjadi 3 milyar orang. Sejak saat itu angka pertumbuhan penduduk bumi meroket tak terkendali yang tidak sampai 15 tahun jumlahnya meningkat pesat. Pada tahun 1975 menjadi 4 miliar orang, tahun 1987 menjadi 5 milyar orang, tahun 1999 menjadi 6 miliar orang, tahun 2011 penduduk bumi telah berjumlah 7 miliar orang dan pada tahun 2019 maka telah berjumlah 7,5 miliar orang. Diperkirakan pada tahun 2035 bumi telah dihuni oleh 11 miliar manusia yang padahal idealnya bumi menyediakan kebutuhan pangan dan alam yang cukup bagi sekitar 4 miliar manusia saja. Disaat bersamaan ledakan penduduk juga terjadi di Indonesia. Data yang ada menunjukan pada tahun 1980 penduduk Indonesia sudah berjumlah 146,9 juta jiwa, tahun 1990 berjumlah 178,6 juta jiwa dan pada tahun 2000 berjumlah 205,1 juta jiwa. Sedangkan pada sensus tahun 2010 penduduk Indonesia telah berjumlah 237,6 juta jiwa. Data Bank Dunia menyebutkan jumlah penduduk Indonesia tahun 2019 sebanyak 261,1juta orang.
Penduduk Indonesia yang besar ini tentu berimplikasi pada kebutuhan pangan yang besar, karena itu ada beberapa kebijakan di sektor pertanian yang harus segera diambil pemerintah, yaitu: Pertama, diversivikasi pangan harus kembali ditekankan untuk mengurangi ketergantungan kita hanya pada satu komoditas pangan saja, yaitu beras. Komoditas pangan lokal seperti umbi-umbian, ketela, jagung, singkong, talas, kentang, gandum, kacang-kacangan dan sagu sebenarnya telah dikenal masyarakat Indonesia hanya saja dalam perkembangannya tanpa terasa beras didorong untuk menjadi bahan pangan pokok tunggal, semua itu harus kembali kita kembangkan menjadi kebutuhan produksi pangan untuk konsumsi lokal.
Setiap wilayah tanah air yang memiliki tanaman pangan khas daerahnya, perlu dikembangkan kembali, seperti di wilayah Jawa dan Sumatera, singkong dan umbi- umbian. Di wilayah Sulawesi dan Kalimantan, tanaman pangan jagung. Di Papua dan Maluku ada sagu. Diversivikasi tanaman pangan menjadi produksi hasil pangan yang masif di setiap wilayah kembali digalakkan, untuk mengurangi ketergantungan pangan pada hasil produksi beras.
Kedua, penyuluhan pertanian. Penyuluhan pertanian ini penting untuk memberikan pendampingan pada para petani agar cara, metode dan praktek-praktek pertanian yang benar agar lahannya bisa menjadi produktif dan dapat lebih ditingkatkan dengan jenis tanaman pangan yang variatif yang tumbuh subur di tanah pertanian tertentu.
Ketiga, dukungan pembiayaan Bank Pemerintah dalam mengembangkan sektor usaha tanaman pangan. Pembiayaan dan kemudahan petani untuk mengakses lembaga-lembaga perkreditan rakyat sebagai modal bertani, tentu dengan bunga yang sangat kecil sebagai insentif yang merangsang para pengusaha sektor industri pertanian terlibat.
Keempat, mengeluarkan sejumlah kebijakan di bidang pertanian yang menjamin ketersediaan hasil produksi pangan yang memadai, agar produksi yang terjangkau oleh daya beli rakyat serta tetap memberikan kesejahteraan bagi para petani dan semua pihak yang terlibat dalam sektor ini. Kebijakan larangan alih fungsi lahan produktif, kebijakan luas areal pertanian minimal, kebijakan lingkungan alam, kebijakan irigasi, kebijakan penetapan harga produk pertanian, kebijakan perlindungan
hasil produksi pertanian lokal-nasional, merupakan instrumen yang dimiliki pemerintah untuk membangun sektor pertanian yang handal. Data Bank Dunia tahun 2019, menunjukan bahwa hasil produksi pertanian Indonesia yang tanahnya subur makmur serta luas terbentang, belum begitu cemerlang. Kita kembali menjadi importir beras sekitar 1 juta ton, karena produksi pertanian kita menurun hingga 36,858 juta ton sementara konsumsinya mencapai lebih dari 37,800 juta ton.
Kelima, memanfaatkan hasil riset pertanian dan mengembangkannya hingga mampu menjadi eksportir hasil- hasil produk pertanian dan surplus produksi pangan secara berkesinambungan. Pemerintah perlu menetapkan Grand Design pembangunan sektor pertanian, khususnya pangan utama, disusul oleh produk pertanian lain sebagai bahan makanan utama seperti; sayuran, buah-buahan, daging, telur, susu, gula, kopi, teh, cokelat, dengan target surplus produksi dalam kurun waktu 5-10 tahun kedepan, merubah posisi penerimaan sektor agricultural dari importir menjadi eksportir. Jika kita fokus melakukannya, yakinlah Indonesia akan memiliki sistem ketahanan pangan yang kuat dan berkesinambungan, dalam waktu tidak lebih dari 10 tahun ke depan. [ ]
*Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Ukraina, Georgia dan Armenia