Site icon Jernih.co

“Pemindahan Ibu Kota akan Menjadi Beban Fiskal yang Mahal dan Berkelanjutan”

JAKARTA—Setelah sekian lama—sejak Presiden Soekarno, berhenti di wacana dan kata-kata, pemindahan ibu kota menjadi topik yang diseriusi Jokowi di periode keduanya. Dengan anggaran Rp 466 triliun, Jokowi akan memindahkan pusat pemerintahan ke Kalimantan, sementara pusat bisnis tetaplah Jakarta.

Meski banyak kalangan—terutama para supporter dan relawan Jokowi, mendukung gagasan tersebut, tak kurang pula yang keberatan dengan ide yang tengah diaktualkan tersebut. Para pendukung melihat hal itu menjadi cara mengatasi banyak persoalan di Jakarta―termasuk kemacetan lalu lintas dan fakta kian tenggelamnya kota itu secara harfiah. Merka juga melihat pemindahan akan membuat Indonesia menjadi tak terlampau ‘Jawa-sentris’.

Tetapi harapan itu ditepis banyak kalangan lain, terutama para pengamat. Alyssa Leng dan Roland Rajah dalam The Interpreter menulis bahwa harapan itu terlalu muluk. Menurut mereka,  pemindahan ibu kota tidak akan memperbaiki masalah Jakarta dan mengatasi masalah social kronis yang diderita kota itu. Pasalnya karena hanya 180 ribu pegawai negeri dari 10 juta penduduk dan 141 ribu dari  17 juta kendaraan pribadi terdaftar yang akan pindah ke Kalimantan pada 2024. Dengan pengurangan beban yang terlalu sedikit itu, menurut keduanya mana mungkin  Jakarta mengalami perubahan.

“Jakarta tak akan kemana-mana,” kata ekonom Paul Burke dan Martin Siyaranamual dalam kalimat yang hampir sama awal tahun ini. Jakarta tidak akan kemana-mana―demikian pula polusi, penggalian sumur ilegal, juga kemacetan.  

Sementara dari kaca mata Kalimantan, Leng dan Rajah melihat jelas akan adanya dampak lingkungan dan social akibat pembangunan ibu kota baru, terutama bagi masyarakat asli Dayak Paser. “Masyarakat asli berpotensi menghadapi penggusuran dan marjinalisasi lebih lanjut,” kata mereka. Meskipun ibu kota baru itu akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dipastikan hanya sedikit warga Kalimantan Timur yang akan bekerja di pemerintahan, karena sebagian besar kantor pemerintahan akan mengirim birokrat berpengalaman dari Jakarta.

Leng dan Rajah juga menulis, pemindahan pemerintah pusat tidak akan membantu meningkatkan tata kelola. Sistem Indonesia sudah menjadi salah satu yang paling terdesentralisasi di dunia. Dengan 508 pemerintah daerah setingkat kabupaten, yang menerima minimal 26 persen dari pendapatan domestik bersih pemerintah pusat dan bagian dari pendapatan sumber daya nasional. Menurut mereka, tidak jelas bagaimana memindahkan lokus kegiatan birokrasi pusat akan membuat pemerintah menjadi lebih responsif terhadap rakyat.

Sebaliknya, yang terbayang justru peluang terjadinya tata kelola yang kian buruk. “Memaksa ASN meninggalkan kenyamanan Jakarta dan pidah ke ‘hutan’ akan mempersulit rekrutmen ASN yang dibutuhkan Indonesia menghadapi persaingan ketat dari sektor swasta,” kata mereka.

Yang paling menjadi kekuatiran keduanya adalah biaya peluang (opportunity cost) di periode kedua Jokowi. Jokowi berisiko menyia-nyiakan modal politik dan energinya pada proyek simbolis yang tidak pasti manfaatnya, sementara mengabaikan masalah kebijakan penting seperti kesehatan, pendidikan dan investasi, yang menjadi persoalan nyata di depan mata.

Alyssa Leng dan Roland Rajah menekankan, pemindahan ibu kota akan menjadi beban fiskal yang mahal dan berkelanjutan, bahkan setelah periode Jokowi berakhir. Biaya yang pada saatnya akan mendesak mundur prioritas pengeluaran yang lebih penting. Skenario terburuknya adalah, saat sejumlah besar modal telah dicurahkan untuk pemindahan ibu kota baru, gagasan ibu kota baru malah ditinggalkan oleh presiden selanjutnya.

Semua itu mereka dasarkan pada asumsi proyek tersebut benar-benar gagal. Konstruksi seharusnya dimulai pada 2020, tetapi studi persiapan dasar masih belum lengkap―menurut konsultan McKinsey, sebagaimana dikutip The Interpreter. Desain untuk ibu kota baru hanya akan diputuskan setelah kontes desain internasional dan domestik berakhir pada Maret 2020. Banyak BUMN yang diperkirakan akan mendanai dan membangun banyak gedung baru, kendati memiliki utang yang menumpuk sebagai bagian dari ambisi infrastruktur periode pertama Jokowi.

Belum lagi orang harus mempertimbangkan keterlambatan, transparansi, dan korupsi yang sering mengganggu proyek-proyek besar di Indonesia. [ ]

Sumber : Theinterpreter, matamatapolitik

Exit mobile version