Jangan umat dibodohi dengan pemahaman keliru yang tendensinya menabrakkan Islam dan negara. Seolah berislam secara benar itu mengurangi rasa cinta dan loyalitas kepada negara. Akibatnya mereka yang merasa cinta dan loyal kepada negara harus menempatkan diri seolah anti-Islam. Ini bentuk pembodohan yang sangat berbahaya. Tidak saja membahayakan umat Islam, tapi sekaligus bagian dari upaya terselubung untuk melemahkan negara.
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH– Ada kekeliruan sebagian orang tentang keputusan para pendiri bangsa dan perumus Pancasila untuk menghapus tujuh kata dari sila pertama Pancasila. Atau boleh juga sengaja disalahpahami sebagai bentuk pengaburan bahkan penyesatan tentang makna syariah di dalam tatanan beragama (Islam).
Semua kita paham bahwa pada semua agama itu ada aturan-aturan yang mengikat untuk dikategorikan sebagai pemeluk agama tertentu. Agar Anda disebut Kristen, Anda harusnya mengikuti aturan-aturan Kristiani yang disebut “canon” atau dalam bahasa Arabnya: “al-qanuun” (hukum). Agar disebut Yahudi, Anda harusnya mengikuti aturan-aturan ajaran Yahudisme yang disebut “Chalachah”. Bahkan kata “Taurat” itu sendiri berkonotasi hukum.
Begitu juga dengan umat ini. Untuk dikategorikan sebagai penganut agama Islam maka aturan-aturan yang mengikat dalam agama harus ditaati. Kebetulan saja memang aturan-aturan itu terangkum dalam satu kata “syariah”. Sebuah kata yang tidak saja banyak disalahpahami, tapi juga sengaja ditampakkan oleh sebagian dengan wajah yang menyeramkan.
Mungkin ini ilustrasi sederhana saja tanpa bermaksud menyamakan. Agar Anda dikategorikan warga negara Indonesia, harusnya Anda menerima dasar dan konstitusi (aturan-aturan yang mengikat) dari negara itu. Jika Anda sudah ragu dengan, atau bahkan mengingkari konstitusi negara, berarti Anda mengeluarkan diri dari kewarganegaraan secara tidak langsung. Walau mungkin Anda masih ber-KTP RI.
Saya tidak bermaksud berbicara tentang syariah kali ini. Tapi saya secara singkat ingin mengatakan bahwa sangat disayangkan, masih ada saja–bahkan dari kalangan yang mengaku Muslim tapi alergi dan secara terbuka mengingkari syariah. Padahal sekali lagi, syariah adalah aturan-aturan yang mengikat dalam beragama. Agama tanpa syariah itu bukan agama (minimal dalam Konsepsi Islam).
Ketika Anda bersyahadat sebagai aturan untuk Anda menjadi Muslim, itu syariah. Anda shalat lima waktu sebagai kewajiban, itu syariah. Anda puasa, zakat, berhaji, itu juga syariah. Bahkan ketika Anda makan yang halal dan menghindari yang haram, itu syariah. Ketika Anda ingin menyalurkan hawa nafsu dengan menikah, atau untuk menghindari perzinahan yang haram, itu juga syariah.
Anda menjalani kehidupan sosial Anda, termasuk bertransaksi secara benar, tidak manipulatif dan mengkhianati orang lain, itu syariah. Bahkan ketika Anda baik dan tersenyum kepada tetangga, itu juga karena sadar syariah. Lebih jauh, sesungguhnya menjadi warga negara yang baik juga karena itu aturan syariah. Bahwa Islam menghendaki keamanan, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu ada dalam tatanan aturan syariah.
Dan semua yang disebutkan itu terangkum dalam kata “berislam”. Maka seseorang yang berislam tidak mungkin menghindar dari jangkauan syariah. Karenanya, pengakuan berislam tapi mengingkari syariah itu adalah bentuk berpikir paradoks.
Saya melihat pemikiran seperti ini sering terjadi karena kesalahpahaman dalam memahami kata dan posisi syariah dalam beragama. Juga karena ada tendensi ketidak jujuran kepada syariah dan agama itu sendiri. Ketidakjujuran ini biasanya karena dorongan “liyasytaru bihi tsamanan qaliila” (kepentingan sesaat atau duniawi).
Penghapusan tujuh kata
Ketika para pendiri bangsa (founding fathers) bersepakat untuk menentukan bentuk dasar atau falsafah negara bernama Pancasila, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam dalam menyikapi sila pertama saat itu, yakni “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Kata “kewajiban menjalankan syariat Islam” menjadi sesuatu yang mengganjal di kalangan sebagian pendiri negara karena dianggap sudah bersifat spesifik (untuk umat Islam). Padahal negara ini–dan tentunya Pancasila–adalah milik dan diperuntukkan semua warga negara.
Setelah melalui perdebatan sengit tapi penuh kedewasaan dan lapang dada, mereka sepakat untuk menghilangkan kata-kata itu dengan menyepakati pasal pertama dengan hanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagi saya pribadi hal ini sangat luar biasa bahkan dahsyat. Ada dua hal penting yang harus digaris bawahi. Pertama, keputusan untuk menetapkan kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu sangat cerdas dan mengena. Karena kata ketuhanan dapat ditafsirkan berdasarkan ajaran agama masing-masing pemeluk agama. Kalau saja pasal itu dikaitkan dengan “syariat” maka dengan sendirinya pasal itu mengandung konotasi “ketuhanan” dalam keyakinan Islam.
Kedua, keputusan ulama-ulama untuk menerima bentuk sila pertama tanpa kata “syariat” menunjukkan lapang dada dan wujud toleransi umat ini. Bayangkan, dengan komposisi mayoritas mutlak umat bisa saja memaksakan kehendak untuk tetap memakai kata “syariah” di sila pertama Pancasila.
Dilemanya kemudian adalah adanya pernyataan yang sebagian orang sering sampaikan seolah dengan menghapus kata “syariah” dari sila pertama, sekaligus menandakan bahwa syariah telah terhapus dan ditiadakan dari bumi Indonesia. Pernyataan seperti ini sangat menyesatkan dan memiliki tendensi yang jahat.
Menghapus tujuh kata dari sila pertama tidak ada kaitannya dengan eksistensi syariah dalam tatanan kehidupan umat Islam Indonesia. Dengan kata lain, penghapusan kata syariat dari sila pertama bukan berarti menghapus syariat dari bumi Indonesia dan kehidupan umat Islam Indonesia.
Apalagi seperti yang sering kita dengar akhir-akhir ini adanya upaya memisahkan syariah dan Islam itu sendiri. Seolah Islam “yes”, tapi syariah “no”.
Sekali lagi Islam dan syariah (tentu dengan pemahaman dan penafsiran yang benar dan utuh) tidak akan bisa dipisahkan. Dengan demikian, selama Islam masih diakui di Indonesia, syariah dengan sendirinya eksis di negeri ini.
Jangan umat dibodohi dengan pemahaman keliru yang tendensinya menabrakkan Islam dan negara. Seolah berislam secara benar itu mengurangi rasa cinta dan loyalitas kepada negara. Akibatnya mereka yang merasa cinta dan loyal kepada negara harus menempatkan diri seolah anti-Islam.
Ini bentuk pembodohan yang sangat berbahaya. Tidak saja membahayakan umat Islam, tapi sekaligus bagian dari upaya terselubung untuk melemahkan negara. Ingat, umat ini minimal 85 persen dari keseluruhan warga negara.
Coba kita renungkan. Kalau saja umat secara keseluruhan taat berislam berarti seluruhnya taat menjalani syariat. Dan kalau taat syariat dianggap ancaman kepada negara, berarti 85 persen penduduk negeri ini tidak cinta dan tidak loyal kepada negaranya. Masihkah negara itu eksis?
Hanya orang yang kehilangan akal pikiran akan memahami demikian. Wallahu a’lam! [ ]
Manhattan City, 28 Oktober 2021
* Presiden Nusantara Foundation