Ia masih tampak angkuh: sibuk dengan dirinya sendiri.
Tak mau menyapa ketaksaan semesta, malah asyik mencari kenikmatan di tengah kekaburan.
JERNIH—Saudaraku,
Di pagi itu, langit masih mendung. Ditemani suara kilat mendentum di setiap sudut jendela pojok rumah. Udara belum bisa menyapa bumi dengan tersenyum.
Tapi, jangan khawatir. Habis gabak biasanya hujan.
Menyirami kerikil-kerikil tanah yang kering kerontang.
Pun bebatuan yang terhampar di bukit-bukit. Menyingkirkan debu-debu kehidupan.
Bentala masih gelap. Secercah cahaya yang diharapkan meneranginya masih asyik diam di istana sunyi. Menikmati keterasingan.
Ia masih tampak angkuh: sibuk dengan dirinya sendiri.
Tak mau menyapa ketaksaan semesta, malah asyik mencari kenikmatan di tengah kekaburan.
Ketika aku mencoba menghampirinya di suatu ruang.
Oh, ternyata dia sedang melukis puisi kehidupan. Ya, denyut yang gelap. Mengancar-ancar bayang-bayang kuasa tanpa cermin.
Usai hujan, acap bukan hanya datang kedamaian. Tapi singgah pula rona pelangi.
Tebaran warna yang memikat, ciptakan sejuta rasa untuk semesta. Mewarnai sebutir harapan.
Meskipun singkat,
tapi untaian pelangi itu membentang di sepanjang hamparan hati
yang setia pada keagungan cinta. Menerangi dunia. [Deden Ridwan]