Aku ingin menghiasi tanah dengan pernak-pernik kisah yang bersemi tiada henti. Lahir, mati, datang, pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Begitu selalu dari zaman ke zaman. Roda sejarah berputar.
JERNIH—Saudaraku,
Dalam ruang-sangkala, aku ada dan berkelindan. Aku adalah anak-anak batas yang meruang bersamamu.
Melanting pesan-pesan langit: menyapa para penghuni bumi di tengah kebisingan. Aku ingin menghiasi tanah dengan pernak-pernik kisah yang bersemi tiada henti. Lahir, mati, datang, pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Begitu selalu dari zaman ke zaman. Roda sejarah berputar. Menating kabar masa lalu ke hari ini demi melukis masa depan.
Ketahuilah. Berdasar hal ikhwal itu. Aku tumbuh membesar, lalu ditembuskan orang-orang setelahku. Aku ingin mereka terinspirasi oleh rekamku, dan orang-orang bijak panutanku. Benar, sunnatullah ini berlaku di setiap masa. Menjadi preseden dari berkembangnya sebuah peradaban. Di mana dan kapan pun. Pasti hadir.
Aku sadar. Proses ini berlangsung secara tinular. Ketika nasihat atau petuah terbang bersama debu di bawa angin menyusuri bukit-bukit kerdil. Kemudian mendarat di suatu ufuk. Membentuk medan-titik, tempat para pecinta merayakan kehidupan penuh gembira.
Maka, aku mesti terus beredar—menjaring matahari. Mengandalkan kekuatan pena, gambar, bunyi. Mengikat makna: melahirkan cerita dan spectacle yang selalu menemanimu selagi menyemai kebaikan. Menempa denaiku abadi. Karena aku ingin tikasku tetap bertunas: dibincangkan sambung-sinambung sepanjang waktu tanpa punah. [Deden Ridwan]