Nasihat menggetarkan itu masih terasa di bantinku. Membekas. Tak akan punah. Bukan sekadar kata-kata indah. Sang perempuan hebat itu berhasil membuktikannya. Ia makbul mendidik kelima anak-anaknya dengan keringat cinta.
JERNIH–Saudaraku,
Di hari ibu ini, aku tiba-tiba teringat sosok amat tangguh: perempuan desa beraura cantik. Bertubuh langsing. Berkulit bersih. Bertahi lalat di sebelah kiri. Bermata tajam, menadaburkan pendar bagai matahari menerangi ruang-angkasa.
Memantulkan rasa keikhlasan. Menemani setiap nafas: beranjak mengikuti ke mana pun angin bertiup, menebarkan kelembutan. Tatkala tersenyum-manis, terasa ada getaran cinta menyapa sarwa. Tak aneh, bila kaum lelaki penghuni dusun dibuat terpesona olehnya.
Dialah perempuan maya. Pemimpi fantastis, melawan ketaklaziman. Padahal, ia tak tamat sekolah dasar. Tak punya kuasa atau banda pula. Namun, percayalah. Sang perempuan megah itu pasti punya cinta. Dengan bekal kekuatan cinta, ia menerobos kebekuan yang dipagari tembok-tembok raksasa. Membekali anak-anaknya tentang makna sewatak pendidikan.
“Anak-anakku, kalian harus sekolah tinggi-tinggi, sampai sarjana. Hanya dengan sekolah itu, kamu bisa naik kelas, naik derajat,” tegasnya.
Nasihat itu sengaja diucapkan berkali-kali di setiap kesempatan. Melalui cerita atau obrolan singkat. Menusuk lubuk hati terdalam. Menjelma menjadi kekuatan positif demi membuktikan tekadnya: menyekolahkan anak-anak.
“Mata rantai kemiskinan anak-anak kampung hanya bisa diputus dengan sekolah,” lanjutnya, memecahkan keheningan.
“Tak cukup hanya dengan masantren. Tapi, kamu harus dibarengi dengan sekolah. Kamu akan hidup di zaman berbeda,” ungkapnya, menegaskan.
Nasihat menggetarkan itu masih terasa di batinku. Membekas. Tak akan punah. Bukan sekadar kata-kata indah. Sang perempuan hebat itu berhasil membuktikannya. Ia makbul mendidik kelima anak-anaknya dengan keringat cinta.
Saudaraku. Dialah Ibuku. Kini sudah menghdap ilahi. Kebaikannya tak bisa kubalas sampai kapan pun… [Deden Ridwan]