Dialah al-muhith. Cahaya di atas cahaya. Melingkupi segala dimensi kehidupan. Menerobos ruang. Melintasi waktu. Menjelajah batas.
JERNIH–Saudaraku,
Tuhan itu sungguh sangat dekat. Sedekat urat nadi. Dia selalu bersemai dalam setiap jiwa manusia. Ke mana pun kita bergerak, Tuhan selalu hadir. Tuhan tak pernah tidur. Tuhan ada di mana-mana: di warung kopi, di balik meja editor, di balik kursi “sakral” sutradara, di darat, di laut, di udara, bahkan di ujung coin. Tuhan selalu tersenyum. Menyapa sang hamba di saat suka maupun duka.
Dialah al-muhith. Cahaya di atas cahaya. Melingkupi segala dimensi kehidupan. Menerobos ruang. Melintasi waktu. Menjelajah batas. Karena Dia sungguh zat tak terbatas. Cuma manusia saja suka melampaui batas.
Tuhan secara eksistensial selalu dekat dengan diri kita. Kendati tidak semua manusia merasakan dan menyadarinya. Manusia selalu merindu pada zat Mahacinta. Kerinduan azali yang dibawa setiap insan sejak mengada. Sesekali rasa rindu itu kerap menipis dibujuk iblis, tapi tak bisa hilang sama sekali dari dirinya.
Inilah potensi ruhaniah manusia. Dengan potensi hebat itu, manusia cenderung kepada kebaikan (hanif). Menjelma menjadi makhluk positif. Manusia tak mungkin dipisahkan dari nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi konsep insan kamil dalam tasawuf dan filsafat Islam mempertegas pandangan itu. Islam menghargai manusia sekaligus kemanusiaan. Mencintai kehidupan.
Ketahuilah. Melawan kemanusiaan berarti melawan “kodrat” Tuhan.
Peradaban yang kita hendak bangun tak berjarak dengan Tuhan. Tuhan selalu melekat dalam setiap artepak, lorong-lorong ikon sebuah kota, karya seni.
Sadarlah. Jika kita hendak membuang Tuhan, berarti manusia menistakan potensi ruhaniah yang dibawanya sejak lahir. Akibatnya, manusia hanya sebatas raga tanpa jiwa; hanya sebatas fikir tanpa zikir (hati); hanya sebatas kerangka minus makna—yang justru belakangan disadari sebagai malapetaka manusia modern. [Deden Ridwan]