Tanpa pembiasaan, kebajikan paling banter mewujud lukisan kata-kata indah. Dibingkai dalam bentuk pigura, ditempel di dinding tembok-tembok rumah. Memanjakan mata, memiskinkan rasa.
JERNIH– Saudaraku,
Aku tahu.
Nilai-nilai kebajikan adalah kebutuhan jiwa yang berjalan seiring kebiasaan di atas pentas keramaian.
Tanpa itu, jiwaku kering-kerontang: kehilangan kepekaan dalam merespon kehidupan tatkala kepalsuan menguasai jalan pikiran.
Aku yakin.
Nilai kebajikan tidak cukup dipelajari di bangku-bangku sekolah, kampus-kampus beken, rumah-rumah megah, atau gedung-gedung bertingkat, lalu diujikan di atas kertas.
Tanpa pembiasaan, kebajikan paling banter mewujud lukisan kata-kata indah. Dibingkai dalam bentuk pigura, ditempel di dinding tembok-tembok rumah. Memanjakan mata, memiskinkan rasa.
Aku percaya.
Setiap manusia, sadar atau tidak, selalu merindukan kesempurnaan dalam setiap gerak hidupnya. Dan, sadarlah kesemestaan tertinggi itu hanya ada pada Tuhan, Sang Mahacinta.
Tanpa impian itu, aku menjelma menjadi pribadi-pribadi terasing minus makna. Aku bagaikan kapal berlayar di gelombang lautan bengis, terombang-ambing karena kehilangan kompas tak bisa menepi menuju jalan pulang.
Ketahuilah. Menjadi manusia bijak bukan dilihat berdasarkan banyak tidaknya buku yang engkau baca atau seberapa tua usiamu. Bukan pula ditentukan jumlah kekayaan, gelar-gelar mentereng, atau bintang-bintang penghargaan berjejer sehingga engkau punya kapling kuburan di taman makam pahlawan berdasarkan keputusan penguasa. Bukan!
Ingatlah. Kebijakan hanya akan mengalir deras. Menghiasi setiap langkah dan benakmu. Ketika engkau yakin hidupmu terikat dengan ikatan ilahiah. Dalam pertalian itu, engkau terus ikhtiar dengan penuh antusias, mencari kebenaran yang memancar dari langit kemudian betebaran di muka bumi.
Renungkanlah. Aku benar-benar meyakini kehadiran Tuhan. Maka, aku punya kesadaran, benar saja tidak cukup dalam laku-lampahku. Aku harus begerak menjadi orang bijak, sesulit apa pun tetap kuikhtiarkan dengan mengalir. Setelah kebenaran, aku mengangankan kebijaksanaan.
Saudaraku, kebenaran lebih berada pada wilayah rasionalitas. Sementara kebijakan berakar pada kerendah hatian dan kejujuran: berangkat dari kesadaran ilahi. Jika demikian, tidak cukup menakar kebijakan hanya pada selembar kertas sewaktu ujian. Takarlah kebijakan dalam arus-deras hayatmu; bahkan sekarang pun! [Deden Ridwan]