Site icon Jernih.co

Percikan Agama Cinta: Membincangkan Omong Kosong di Dunia Maya

Ilustrasi: semua urusan taik kucing

Ajaklah umat Muslim agar lebih hati-hati menerima informasi: mengolahnya terlebih dahulu sebelum bersikap. Supaya masyarakat Islam Indonesia tak lagi mudah diadu-domba. Hanya dengan cara itu, umat Islam menjadi lebih cerdas dalam bermedia-sosial.

JERNIH—Saudaraku,

Di suatu waktu, sepasang tetangga. Kebetulan mereka sama-sama Muslim. Minus sadar, mereka bertengkar di salah satu jejaring sosial. Meributkan setangkup berita viral: tentang sosok anak muda. Menendang sesajen di lereng Gunung Semeru.

Benar. Mereka sebenarnya bertetangga. Rumahnya berdampingan. Cuma masing-masing menggunakan nama akun alias. Jadi, tanpa siuman, mereka tak saling kenal.

Deden Ridwan

Bedanya, salah seorang dari mereka punya pengetahuan yang baik terkait sajen. Ya, akronim dari istilah: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Istilah itu mungkin terasa asing. Maka, kehebohan pun dimulai.

Padahal, puncak dari ilmu Nusantara memang bersemayam dalam Sastra Jendra. Ia adalah petuah untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan: demi meraih kemuliaan hidup dunia-akhirat melalui olah batin dan rasa.

Ketahuilah. Laku lampah masyarakat Nusantara yang tercermin dalam khazanah Sastra Jendra tersebut sungguh serupa-sejajar dengan konsep ajaran Islam: tazqiyatun nafs (penyucian jiwa).  Sebenarnya tak perlu diperdebatkan.

Simaklah. Perkelahian antartetangga itu menjadi tak terelakan karena keawaman-kebodohan. Bahkan, pertengkaran itu melebar kemana-mana: kehilangan arah dan makna. Ya, menyinggung perkara takhayul, bid’ah, khurafat. Memalukan!

Sebelum menjadi debat kusir, si tetangga yang kolot alhasil acap kali terdiam. Manakala lawan diskusinya memberitahu jika internet yang mereka gunakan juga bisa dikenakan hukum “bid’ah” karena Rasulullah SAW tak menggunakannya semasa beliau hidup.

Serangan mental itu, mengenai sasaran. Demi mengetahui itu, tokoh kita ini seketika dirundung kegalauan akut. Ia bingung sejadi-jadinya.

Ia tak menyangka jika selama ini telah hidup dalam kerancuan beragama. Baru setelah diberi pengertian lebih lanjut, ia mafhum di titik mana pikirannya mengalami kebuntuan.

Tak berselang lama, perbalahan itu mereda. Lantaran “sang pelaku” yang telah diamankan pihak berwajib, mengaku tak sengaja menyengggol sesajian itu hingga terjatuh ke kaldera.

Pengakuannya itu diikuti oleh kesaksian beberapa orang yang ada di lokasi. Tapi karena ulah sekelompok orang yang memang berniat merusak keharmonisan kehidupan berbangsa-bernegara, perbuatannya itu seolah menjadi sebuah penistaan pada sebuah agama–dengan upaya pemutarbalikkan fakta.

Saksikanlah. Malam hari saat duduk ronda. Dua tokoh kita ini kemudian tersadar. Nyaris setengah hari mereka meributkan soal yang tak jelas: terlibat pertikaian di media sosial tanpa civilized. Padahal mereka telah hidup bertetangga sekian lama. Meskipun mungkin mereka hidup tanpa guyub.

Saudaraku, nilai apa yang mesti engkau ambil pelajaran dari pertengkaran itu? Engkau mesti terus-menerus menyadarkan umat Islam. Jangan mudah sekali tersambar isu murahan di media sosial yang tak jelas juntrungannya. Karena sikap semacam itu, membuat suasana bertambah runyam dan tuna-adab. Pun bertentangan dengan akal-sehat dan peradaban medsos.

Ajaklah umat Muslim agar lebih hati-hati menerima informasi: mengolahnya terlebih dahulu sebelum bersikap. Supaya masyarakat Islam Indonesia tak lagi mudah diadu-domba. Hanya dengan cara itu, umat Islam menjadi lebih cerdas dalam bermedia-sosial. [  ]

Exit mobile version