Egomu tak bisa ditundukkan semata dengan zikir-zikir atau ibadah-ibadah ritual di tengah keheningan malam. Namun egomu justru bisa engkau rontokkan dengan bergulat dalam kehidupan sehari-hari bersama kebengisan. Itulah pertarungan menuju syuhada sejati!
JERNIH– Saudaraku,
Di tengah hiruk-pikuk tragedi kemanusiaan itu, aku tiba-tiba teringat peristiwa perang badar. Aku ingin menggali makna mendasar dari afair itu demi hari ini.
“Ah, aku jadi rindu sosok syuhada sejati.”
Yakinlah. Bicara tentang perang pertama dalam sejarah besar Islam itu, engkau bisa menarik sebuah pelajaran berharga dari apa yang pernah terjadi pada masa awal Islam. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya kembali dari medan perang, dan memasuki pintu gerbang Madinah dengan gegap gempita, beliau berpesan bahwa, “Kita baru saja kembali dari perang kecil dan sedang menuju perang yang lebih besar.”
Tatkala mendengar itu, para sahabat sontak bertanya, perang besar apakah yang dimaksud wahai kekasih Allah? Lalu, baginda Nabi SAW pun menjawab, “Perang menghadapi nafsu sendiri.”
Mari kita cermati sabda Nabi SAW ini secara mendalam. Bukankah dalam keseharian, bahkan dalam skala detik, kita kerap kali berhadapan dengan gejolak yang terjadi di dalam diri? Nafsu amarah, nafsu lawamah (kerakusan), nafsu sufiyah (bersenang-senang), nafsu kuasa (sewenang-sewenang), nafsu muthmainnah (kebaikan) kita, bekerja tanpa henti.
Kita cenderung memarahi anak yang tak mau menurut. Kendati ia sendiri tak tahu: apa arti menuruti perintah kita. Pernahkah kita benar-benar merasa puas dalam menjalani kehidupan? Apakah yang telah diberikan Allah selama ini membuat kita menjadi manusia yang bersyukur, atau sebaliknya?
Sewaktu kita masih hidup susah, kepengin merasakan senang. Sudah hidup senang, eh ternyata masih susah hati dan pikiran. Lantas kita mau apa sebenarnya? Malah, nafsu yang mengarah pada kebaikan saja masih menjebak kita ke dalam jurang riya. Seperti bersedekah tapi berharap dipuji. Bukankah Rasulullah SAW telah memberitahu, apabila tangan kananmu memberi, tangan kiri sebisa mungkin tidak perlu tahu?
Ketahuilah. Sekelumit contoh tersebut, bisa kita lebarkan sendiri guna belajar mengenali diri sendiri: melalap ego. Berjihad dalam konteks kiwari, sejatinya mudah saja. Apabila kita tidak membiarkan diri berada dalam ranah kemaksiatan, kebencian, dan kegaduhan, itu sudah cukup sebagai bukti.
Kita ingin menjadi Muslim bermartabat sekaligus bermanfaat. Menaklukan dunia, melayani sarwa. Memuliakan manusia. Menyejukkan ruang-semesta. Demi itu, engkau berhadapan dengan egomu sendiri. Percayalah, egomu tak bisa ditundukkan semata dengan zikir-zikir atau ibadah-ibadah ritual di tengah keheningan malam. Namun egomu justru bisa engkau rontokkan dengan bergulat dalam kehidupan sehari-hari bersama kebengisan. Itulah pertarungan menuju syuhada sejati! [Deden Ridwan]