Alasan di balik itu semua adalah, sang syaikh merupakan murid langsung dari Syaikh Mahfudz at-Tarmasi ketika ia masih belajar di Makkah pada dekade pertama abad 20. Inilah yang membuat sang syaikh merasa berkewajiban memperlihatkan rasa hormat sekaligus terima kasih kepada semua orang Indonesia.
JERNIH– Saudaraku,
Daku teringat kisah Kiai Ilyas, mantan Menteri Agama RI. Kisahnya begitu menginspirasi. Tentang berkah memuliakan guru.
Alkisah. Pada medio 1935, sang kiai kembali ke Indonesia dari Makkah melalui India dan Malaysia, untuk melakukan studi banding tentang sistem pendidikan Islam. Di India, ia mengunjungi beberapa kota dan universitas. Pun tokoh-tokoh ulama penting di sana. Ketika berada di Bombay (Mumbai), ia berjumpa dengan salah seorang ulama berpengaruh sekaligus mufti: Syaikh Sa’dullah al-Maimani.
Dari tokoh ini, Kiai Ilyas menerima penghargaan istimewa: diundang ikut makan siang bersama rombongannya. Semula, Kiai Ilyas tidak tahu menahu kenapa syaikh ini memberi perhatian dan pelayanan sedemikian rupa kepadanya. Meskipun mempunyai banyak pelayan, namun syaikh lebih senang melayani sendiri tamunya itu. Ketika Kiai Ilyas hendak bertolak meninggalkan New Delhi, sang syaikh pun mengantarkannya ke stasiun kereta. Bahkan turut menemaninya hingga kereta berangkat.
Memang, jadi tuan rumah yang baik adalah hal semestinya dilakukan oleh seorang Muslim. Namun yang mengherankan, sang penyambut sekaligus pelayan ini adalah seorang mufti agung. Hal ini menyebabkan Kiai Ilyas bertanya-tanya: mengapa sang syaikh melakukan itu semua padanya.
Dua bulan kemudian rasa penasaran tersebut terungkap, ketika Kiai Ilyas pergi ke Calcuta dan bertemu dengan Zainuddin, santri Jawa yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Zainuddin menuturkan padanya bahwa ia juga menerima pelayanan serupa dari Syaikh al-Maimani. Bahkan sang syaikh juga akan memberi pelayanan terbaik tak hanya bagi mereka berdua saja, melainkan kepada semua orang yang berasal dari Indonesia.
Ketahuilah. Alasan di balik itu semua adalah, sang syaikh merupakan murid langsung dari Syaikh Mahfudz at-Tarmasi ketika ia masih belajar di Makkah pada dekade pertama abad 20. Inilah yang membuat sang syaikh merasa berkewajiban memperlihatkan rasa hormat sekaligus terima kasih kepada semua orang Indonesia. Lantaran ia memeroleh pengetahuan keislaman, dari orang Indonesia pula. Subhanallah.
Simaklah. Syaikh Mahfudz at-Tarmasi al-Jawi lahir di Desa Tremas pada 1285 H/1842 M, dengan nama Muhammad Mahfudz at-Tarmasi bin Kiai Abdullah bin Kiai Abdul Manan bin Demang Dipomenggolo I (Ketok Jenggot)—pembabat alas salah satu wilayah Pacitan yang kini dikenal bernama Tremas (patrem [semacam keris] emas).
Semasa mengajar di Makkah bersamaan dengan Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfudz dilantik menjadi imam besar dan mahaguru bergelar Allamah, al-Muhadits, al-Musynid, al-Faqih, dan al-Usuly wa l-Muqri.
Catatlah. Sebelum hijrah ke Makkah, beliau sempat menimba ilmu pada Syaikh Muhammad Soleh bin Umar as-Samarani (Soleh Darat). Lalu setiba di Tanah Haram, Mahfudz muda menjadi murid dari Syaikh Ahmad al-Minsyawi, Syaikh Amr bin Barkat asy-Syami, Syaikh Musthafa bin Muhammad bin Sulaiman al-Afifi, Al-Imam al-Hasbi wa al Wari’ an Nasib as Sayyid Husein bin Muhammad bin al Husein al Habsyi, Syaikh Sa’ad bin Muhammad Bafasil al-Hadrami, Syaikh Muhammad as Sarbini ad Dimyati, Syaikh al-Jalil Sayyid Muhammad Amin bin Ahmad Ridlwan al-Daniyyi al Madani, dan guru yang paling berpengaruh pada karirnya, Syaikh Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Satha’—yang juga menjadi sanad guru dari Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Renungkanlah. Bersama Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz at-Tarmasi menjadi tonggak keilmuan Islam tradisional terpenting di bumi Makkah. Sebuah pencapaian luar biasa yang kini belum lagi terulang pada era kita. Beberapa santri Syaikh Mahfudz, kemudian hari juga menjadi pelanjut tongkat estafet keulamaan di Nusantara adalah Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Chasbullah, Kiai Raden Asnawi Kudus, Kiai Bisyri Syansuri (kakek dari Gus Mus). Atas jasa besar beliau, mari kita hadiahkan bacaan surah al-Fatihah. [Deden Ridwan]