Aku ingin menatap tahun baru seraya merayakan keislaman-keindonesiaan dalam satu tarikan nafas. Ungkapan indah sebagai bangsa toleran harus terus engkau ikhtiarkan tanpa henti. Itulah cita-cita luhur para pendiri bangsa. Sebagai bagian realisasi dan refleksi dari ajaran Islam rahmatan lil ‘âlamîn.
JERNIH– Saudaraku,
Di penghujung tahun ini, aku merenung sejenak. Menatap langit di sanding becak. Pelan-pelan kupejamkan mataku. Menitik sebuah bucu. Meneteskan rasa kesedihan mendalam. Melongok para penghutbah yang mendengking lantang di layar kaca. Melabeli orang-orang sembari sebutan kotor: iblis, setan, kafir, lonte.
Aku termangu. Siapa sesungguhnya teladanmu? Karena setahuku, Rasulullah Saw. tak pernah mengajarkan itu. Keangkuhan tiba-tiba mengganas: bersembunyi di dalam ego dirimu. Menyampah ruang-waktu.
Singkirkan sampah-sampah itu. Aku ingin menatap tahun baru seraya merayakan keislaman-keindonesiaan dalam satu tarikan nafas. Ungkapan indah sebagai bangsa toleran harus terus engkau ikhtiarkan tanpa henti. Itulah cita-cita luhur para pendiri bangsa. Sebagai bagian realisasi dan refleksi dari ajaran Islam rahmatan lil ‘âlamîn.
Aku rindu Islam cinta. Menyantuni pluralitas. Menakzimkan manusia. Hadir sebagai perekat kehidupan bangsa. Tujuan engkau bersama. Sesama anak bangsa. Maka, hal itu mesti selalu melekat di hatimu. Tertanam abadi. Terpatri di sanubari. Sepanjang masa. Tetap setia. Tak boleh punah ditelan debu. Lantas engkau bergerak menuju titik tumpu dan tuju satu: demi merawat pesan-pesan keislaman yang penuh kedamaian.
Sampai kapan pun Islam cinta ini tetap aku dorong. Meskipun rintangan, tantangan, hambatan, bahkan ancaman, terus merorongrong. Hatiku tetap jatuh cinta. Pada pelukan ibu pertiwi, tanah air beta. Tak akan goyah walau dihantam badai para pembenci. Tak mungkin pindah ke lain hati, meskipun propaganda terus mengintai.
Pastilah. Ruh Islam cinta, aku rawat, tumbuhkan, sebarluaskan melalui kanal-kanal media kreatif. Supaya tetap meruang: menerangi perjalanan umat dan bangsa ini ke depan. Menuju cahaya di relung-relung keadaban. [Deden Ridwan]