Nilai-nilai tersembunyi di balik huruf-huruf itu abadi dan adaptif. Jika manusia terus merawatnya dengan membaca. Membumikan budaya literasi.
Nilai-nilai tersembunyi di balik huruf-huruf itu abadi dan adaptif. Jika manusia terus merawatnya dengan membaca. Membumikan budaya literasi.
JERNIH–Saudaraku,
Pernahkah bertanya: mengapa tongkat Musa AS berubah jadi ular raksasa?
Pernahkah bertanya: mengapa Isa AS menghidupkan fosil-fosil yang sudah musnah ditelan bumi?
Pernahkah bertanya: mengapa Ibrahim as. bersahabat dengan api?
Pernahkah bertanya: mengapa Muhammad Saw. hanya dibekali huruf-huruf atau abjad-abjad indah yang suci?
Katakanlah,
karena Musa, Isa, Ibrahim
menyapa bumi yang gemar suara dan gambar,
maka Tuhan pun turunkan mukjizat spectacle!
Katakanlah,
karena Muhammad SAW diperintahkan membaca kehidupan,
maka Tuhan pun membekalinya sebuah kertas suci
yang di atas huruf-hurufnya
tersimpan jutaan mukjizat aksara-aksara, kata-kata, kalimat-kalimat.
Tapi,
masihkah huruf-huruf itu lebih mulia ketimbang bunyi atau gambar? Ah, kenapa aku pertentangkan itu? Pikirku, sambil terus bertanya.
Apakah gumpalan kertas itu masih menyimpan mutiara cinta?
Sampai kapan tinta-tinta itu tetap melekat di atas tumpukan kertas menyimpan misteri cinta?
Atau justru tenggelam ditelan waktu,
digilas benda-benda kosong
yang tak mungkin bersahabat dengan kertas?
Katakanlah,
Tuhan selalu berfirman dengan bahasa cinta kaumnya. Muhammad SAW mengindra kumpulan huruf-huruf sesuai karakter manusia yang ingin dibangun. Di balik abjad-abjad, peradaban lahir, bukan berasakan tumpukan kertas. Karena daluang-daluang itu mungkin busuk ditelan waktu.
Katakanlah,
nilai-nilai tersembunyi di balik huruf-huruf itu abadi dan adaptif. Jika manusia terus merawatnya dengan membaca. Membumikan budaya literasi. [Deden Ridwan]