Apalagi, jika ruh dan nilai dari Pancasila itu, terutama sila kelima, bisa kita tegakkan. Karena akar masalah dari riuh-rendah kehidupan akhir-akhir ini sungguh bermula dari ketidakadilan.
JERNIH–Saudaraku,
Aku terlintas sosok anakku. Anak muda yang baru diterima kuliah di kampus beken. Karena pandemi, dia masih kuliah online. Belum bisa menikmati keasrian kampus kebanggaannya di kota Bandung. Cuma kali ini, aku tak akan bercerita tentang anakku. Tidak! Aku hanya terbayang, di pundak anak-anak muda semacam anakku, nasib masa depan bangsa ini ada.
Wahai anak-anak muda. Peganglah teguh prinsipmu. Jangan sekali-kali kalian melepaskan jati diri. Teruslah berpikir untuk maju, tanpa harus menjadi Barat. Kita punya Pancasila, saripati kepribadian tinggi bangsa. Jadikan Pancasila sebagai pandangan hidup kalian. Hadirkan terus Pancasila dalam diri kalian. Rasakan langsung manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Maka, silakan maknai Pancasila itu sesuai jiwa kalian!
Ketahuilah. Berlandaskan ruh dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, niscaya kalian akan bisa menggenggam dunia. Dengan Pancasila, kita yang berpusparagam ini bisa disatukan. Jangan benturkan keislaman dan keindonesiaan. Persoalan itu sudah lama tuntas. Ada kalimatun sawa’ yang memadukan kita. Itu makna sejati dari Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda, tetapi tetap bersaudara. Apalagi, jika ruh dan nilai dari Pancasila itu, terutama sila kelima, bisa kita tegakkan. Karena akar masalah dari riuh-rendah kehidupan akhir-akhir ini sungguh bermula dari ketidakadilan.
Syukurilah. Indonesia kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini adalah anugerah. Perbedaan bukanlah petaka. Justru sebaliknya, karunia tiada tara dari Tuhan Yang Mahacinta. Jaga itu, syukuri itu. Saling menghormati di antara kita sesama anak bangsa. Hapus intoleransi. Kebencian. Kecurigaan. Kesaling-tidak-percayaan. Apalagi dibungkus bahasa-bahasa agama. Tak boleh ada yang merasa paling benar sendiri, paling unggul sendiri. Kalian semua sama, anak-anak negeri. Buat bangga ibu pertiwi.
Sadarlah. Kini, kalian hidup di era mutakhir, dengan berkah kemajuan teknologi informasi. Nyaris, tak ada hari tanpa bermedia sosial. Ada Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan banyak lagi. Jadikan itu untuk mengasah diri, menimba banyak ilmu, berjejaring, tanpa sedikit pun mencerabut akar jati diri.
Renungkanlah. Kalian harus memberikan teladan: cara bermedsos yang berbudaya di era kebohongan (post-truth). Berbasiskan kesadaran literasi tingkat dewa. Bagai kalian berjalan di atas duri, ke mana pun bergerak mesti ekstra hati-hati: tak mudah me-like dan menyebarluaskan informasi sebelum benar-benar diteliti secara cerdas-bijak. Saring sebelum sharing. Jika tidak demikian, dalam sekejap kebohongan akan mengudara di angkasa hingga penjuru dunia.
Ingatlah. Kalian harus tetap menjadi anak-anak muda Indonesia yang kritis, santun, dan beradab. Pengikut jalan pecinta, punggawa kedamaian. Tak boleh saling mencaci, atau mengebiri. Tetaplah menjadi anak yang manis, dan terkasih. Tempat menitipkan impian untuk memajukan negeri. [Deden Ridwan]