Tersekap, dalam istilah agama, hubbud dunya. Berlomba-lomba mengumpulkan kepeng dalam kedunguan.
JERNIH–Saudaraku,
Dia sosok perempuan desa. Bersahaja. Sebut saja namanya: Imas. Dia tinggal di kampung. Di pinggiran gunung batu. Pantai selatan, Jawa Barat. Dia memang asli orang desa itu. Pendidikannya hanya Sekolah Rakyat (SR). Itu pun tidak tamat. Lalu berkenalan dengan seorang santri. Buah kenalan itu akhirnya jatuh di pelaminan. Menjadi istri seorang ajengan. Menjadi ibunya anak-anak. Lima laki-laki bersaudara.
Suasana kampung bebatuan. Tandus dan keras. Penduduknya sangat padat dan miskin. Hampir semua warga desa itu tak mampu mengenyam pendidikan. Walaupun sekadar Sekolah Dasar. Menyedihkan. Akibatnya, kesadaran warga terbentuk sangat kuat. Membekas di sanubari. Ya, pendidikan tidaklah penting. Sekolah dianggap sia-sia. Mubazir. Hanya buang-buang waktu. Habis-habiskan uang saja. Tak berarti.
Sebaliknya, di benak mereka tertanam satu hal: hidup adalah mencari uang. Tak aneh. Banyak anak-anak usia sekolah lebih memilih merantau. Menyebrang nan jauh ke daratan sana. Menjelajah belantara Sumatra, Sulawesi, Kalimantan bahkan hingga Papua. Mengelilingi Indonesia. Menerobos pulau ke pulau. Berjalan kaki setiap hari. Hingga tembus ratusan kilometers. Berkedai roti. Memikul sandal. Demi segepok arta.
Namun sungguh ironis. Kesuksesan material yang mereka raih itu dirayakan dengan hura-hura. Hidup boros, poya-poya. Pamer kesuksesan. Berlebihan. Di auranya tak terpancar. Sedikit pun. Rasa syukur pada Tuhan. Zat Mahacinta.
Imas tumbuh dan besar dalam lingkungan semacam itu. Menyaksikan anak-anak dusun terperangkap dalam kebodohan. Mengucilkan faedah pendidikan. Mengerdilkan makna hidup. Memuja kekayaan. Tersekap, dalam istilah agama, hubbud dunya. Berlomba-lomba mengumpulkan kepeng dalam kedunguan.
Dia termenung di sudut waktu. Menyelami pergulatan batin. Hatinya menangis sendu. Tak rela kedunguan anak-anak nagari terus merajalela. Tertanam suatu kesadaran: mesti bangkit. Di tengah serba keterbatasan. Energinya membuncah. Mesti memberikan anutan. Membesarkan kelima anak-anaknya dengan penuh cinta.
Perempuan tangguh itu terus bergerak. Keliling dari dukuh ke dukuh. Menyebrang sungai. Jualan pakaian. Sempat ada kejadian. Dia terbawa arus. Namun akhirnya selamat. Ditolong seorang petani.
Peristiwa itu tak menyulutkan nyalinya. Bahkan semakin bersemangat. Demi biaya anak-anak sekolah. Sebab di benaknya tertanam amat kuat. Hanya pendidikanlah yang bisa membuat anak-anak kandang bisa naik kelas. Hidup bermartabat. Sejajar dengan anak-anak lain di perkotaan.
Walhasil dia sukses. Mengantarkan anak-anaknya menikmati pendidikan tinggi hingga ke luar negeri berkat kekuatan cinta. Bahkan menjadi guru-guru besar di kampus-kampus ternama. Tanpa mengabaikan makna penting pendidikan agama dalam gerak-langkah hidup. Mendobrak kebekuan. Memberikan contoh arti pentingnya perjuangan hidup tanpa kenal menyerah.
Sungguh kisahnya sangat menggetarkan. Jejak hidupnya kini diabadikan sebagai simbol lembaga pendidikan yang mengayomi anak-anak miskin lewat program sekolah gratis. [Deden Ridwan]