Islam semacam ini sering kali diucapkan. Mudah dikhutbahkan. Diteriakkan para demagog di atas podium. Menggelegar. Di pelbagai sudut dan waktu. Tapi pada saat bersamaan justru dinistakan dari kehidupan sehari-hari. Tanpa mewujud nilai-nilai kehidupan. Tuna perbuatan.
JERNIH–Saudaraku,
Aku rindu Islam rahmatan lil ‘âlamîn. Islam sebagai ajaran kasih sayang pada semua makhluk: manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, air, tanah, api, udara. Islam untuk semua. Melampaui sekat-sekat.
Namun, aku juga kadang jengkel. Islam semacam ini sering kali diucapkan. Mudah dikhutbahkan. Diteriakkan para demagog di atas podium. Menggelegar. Di pelbagai sudut dan waktu. Tapi pada saat bersamaan justru dinistakan dari kehidupan sehari-hari. Tanpa mewujud nilai-nilai kehidupan. Tuna perbuatan.
Aku sadar. Secara normatif, konsep rahmatan lil ‘âlamîn ini, sesungguhnya, merupakan tafsir dari ayat 107 Surah Al-Anbiyâ’ (21), “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Aku yakin. Konsep ini lahir dari inti ajaran Islam: akidah, ibadah, akhlak. Keyakinan harus melahirkan tata rabbani. Ya, kehidupan yang sesuai dengan aturan Tuhan. Menumbuhkan tujuan hidup mulia, takwa, tawakal, ikhlas. Aspek iman ini harus memantulkan sikap emansipasi. Mengangkat harkat dan martabat manusia. Menyadarkan masyarakat tentang pentingnya sikap hidup adil, terbuka, demokratis. Menyantuni keragaman. Harmoni dalam perbedaan. Tegak merayakan kebahagiaan di atas semua wangsa.
Aku percaya. Islam rahmatan lil ‘âlamîn itu bukan sekadar kata-kata indah. Ia bersifat historis. Bisa digali dan dibuktikan. Pun dirasakan. Selamilah. Praktik ajaran Islam sebagaimana dicontohkan baginda Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya generasi pertama. Nabi Muhammad Saw senantiasa berpihak kepada kaum mushtad’afîn, kepedulian sosial, fakir, miskin, dan orang-orang terkena musibah. Mereka mesti hidup aman, nyaman, tentram. Bagiku, cukuplah ini bukti. Islam sungguh menjamin terpeliharanya hak-hak asasi manusia.
Aku coba membaca kembali Piagam Madinah. Banyak sekali studi tentang itu. Benar, piagam ini dibuat oleh Nabi Muhammad Saw semasa di Madinah. Disepakati oleh seluruh perwakilan komunitas penduduk Madinah. Isi Piagam Madinah yang sebanyak 47 pasal itu antara lain mengandung visi etis, solidaritas, persatuan, kebebasan, pengakuan supremasi hukum, keadilan, serta kontrol sosial untuk mengajak kepada kebaikan dalam mencegah kemungkaran.
Aku terperanjat. Dalam sejarahnya, Nabi pernah memerintahkan mengasihi tawanan Perang Badar secara lebih baik, seperti yang dilakukan terhadap Abu Azis. Ia seorang tawanan Perang Badar yang diberi makanan bergizi. Sungguh kualitas makanannya jauh lebih baik dari makanan orang-orang yang menawannya. Nabi Muhammad Saw juga tidak pernah kehilangan rasa kasih sayang karena mendapatkan perlakuan buruk dari musuh-musuhnya. Di hadapan Nabi, orang yang jahat dibalas dengan kebaikan.
Aku teringat. Dalam sebuah riwayat tercatat, nama Suhail bin Amr. Diusulkan oleh Umar bin Khattab agar ditarik lidahnya supaya berhenti menyebarkan fitnah dan melakukan perlawanan pada Nabi. Namun Nabi berkata: “Aku tidak akan memutilasinya, atau Tuhan akan memutilasiku walau aku seorang Nabi.”
Aku bangga. Begitu mulia ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw, bahkan kepada pembenci Islam sekalipun. Karena di benak Nabi Saw tak ada ruang secuil pun bagi kebencian. Itulah wujud Islam rahmatan lil ‘âlamîn. [Deden Ridwan]