Al-Ghazali membiarkannya. Lalat pun minum sampai puas. Rupanya itulah satu-satunya amalan al-Ghazali yang diterima dan diridhai Allah.
JERNIH– Saudaraku,
Mungkinkah seluruh ibadah yang pernah kita jalani diselubungi riya di hadapan manusia? Jawabannya: sangat mungkin. Dari kisah al-Ghazali berikut ini, kita bisa mengambil hikmah.

Suatu ketika, seorang waliyullah menziarahi pusaranya. Belum lama ia duduk di sisi pusara, tampak olehnya jiwa al-Ghazali turun dari langit. Merasa takjub dengan pemandangan itu, ia pun menghampiri Sang Hujjatul Islam. Lantas mereka terlibat sebuah perbincangan kecil.
Al-Ghazali bertutur. Tak lama setelah ia dimakamkan, jiwanya dipanggil menghadap Allah. Lalu ditanya perihal apa yang telah ia persembahkan selama hidupnya. Al-Ghazali pun menjelaskan tentang seluruh karya yang ia tulis. Semua ibadah yang ia lakukan. Sebentuk persembahan terbaik untuk-Nya. Namun, ternyata semua itu ditolak Allah mentah-mentah. Demi mendengar itu, al-Ghazali jatuh tersungkur. Tangisnya meledak. Tak tertahan. Ia terguncang hebat.
Allah pun menghibur al-Ghazali. Mengingatkannya tentang suatu masa ketika ia pernah mengarang kitab: tinta potlotnya tumpah. Setetes tinta yang jatuh di kertas itu, kemudian diminum oleh seekor lalat. Al-Ghazali membiarkannya. Lalat pun minum sampai puas. Rupanya itulah satu-satunya amalan al-Ghazali yang diterima dan diridhai Allah.
Mengetahui akhir cerita tersebut, sang awliya pun tak mampu berkata barang sepatah. Diam seribu bahasa. Termenung di titik sudut. Menyelami kisah metaforis yang penuh makna itu.
Bagaimana dengan kita? [Deden Ridwan]